"Selamat siang bu dokter," sapa Firman setalah membuka pintu ruang kerja dokter Aisyah.
"Walaikumsalam. Mari, silahkan masuk," balas dokter Aisyah. Bibir merahnya menyunggingkan senyum ketika melihat Umar dalam gendongan Firman tampak berbeda dari kemarin. Baju baru bermotif kartun 'tayo' dan juga wajah bocah itu pun lebih ceria dari kemarin. "Wah, Umar pakai baju baru, ya? Siapa membelikan?" tambah dokter Aisyah sengaja menggoda bocah 2 tahunan itu.
Umar tersenyum malu-malu sambil membenamkan wajahnya di dada bidang Firman.
"Malu dia bu dokter," kata Firman. Di intipnya wajah Umar yang tertawa kecil di dadanya. Botol susu masih erat di pegang bocah itu.
Merk susu formula yang di beli Firman malam tadi juga atas saran dari dokter Aisyah. Pemuda itu mana mengerti masalah persusuan, yang ada susu ibu hamil yang di ambilnya.
"Mari bang Firman, silahkan duduk." Firman mengerutkan kening sasaat, sebelum berjalan dan melabuhkan duduk di depan dokter muda itu.
"Tidak apa-apa kan, saya panggil 'abang'?" tanya dokter Aisyah memastikan. Seakan tau apa yang ada dalam pikiran Firman saat ini.
"Ya," balas Firman kikuk. Pelan saja kepalanya di anggukkan.
Senyum dokter Aisyah semakin lebar melihat gelagat malu-malu Firman. "Ohya, di rumah, bang Firman tinggal dengan siapa saja?" tanya dokter Aisyah. Ada rasa kagum dengan cara Firman merawat Umar. Sampai rambut bocah itu pun berminyak dan di sisir rapi.
"Saya tinggal di rumah kontrakan dengan teman-teman, bu dokter." Agak malu Firman memeberitahukan hal itu.
"Teman-teman bang Firman tahu tentang Umar?" Dokter Aisyah kembali bertanya.
"Ya, Meraka semua tau. Tapi, hanya Jack yang selalu menolong saya, ini itu. Kalau yang lain, cuek saja," jawab Firman.
"Jack?" Dokter Aisyah mengerutkan kening.
"Ya, dia teman baik saya. Sekarang sedang menunggu saya di depan klinik ini."
Dokter Aisyah mengangguk kecil sebelum berdiri. Pertanyaan tadi ia sudahi, takut Firman tidak nyaman. "Bang Firman, mari kita mulai bersihkan luka Umar."
Firman segera berdiri. Umar di baringkan diatas ranjang pasien tempat biasa. Sementara ia sendiri duduk di sebelah bocah itu.
"Luka Umar sudah semakin kering," ucap Dokter Aisyah setelah memeriksa luka di kaki bocah itu. "Kalau jalan, masih sakit gak kakiknya?" tanya dokter muda itu lagi.
"Selama ini saya selalu gendong dia ke mana pun pergi," jawab Firman sambil memperhatikan yang di lakukan dokter Aisyah.
"Setelah ini, bang Firman sudah bisa biarkan Umar berjalan lagi."
"Berjalan?" Firman mengerutkan kening. Kemarin ia lupa membelikan Umar sepatu. Hari ini pun jadwalnya padat mengantarkan barang pesanan pelanggan. Tidak sempat lagi ia singgah untuk membeli sepatu untuk bocah itu.
"Di rumah saya banyak pakaian anak kecil. Kalau bang Firman mau, bang Firman bisa datang kerumah. Lagian pertumbuhan anak kecil itu cepat, tanpa bang Firman sadar, Umar sudah tumbuh besar dan pakaian yang bang Firman beli jadi tidak muat lagi."
Firman melihat arloji di pergelangan tangan, sudah hampir pukul sebelas. "Bu dokter, sudah selesai, kan? Saya harus pergi sekarang juga, karna sebentar lagi harus pergi kerja," balas Firman.
"Eh, tapi ini belum selesai." Merona pipi dokter Aisyah menyadari dirinya terlalu banyak bertanya pada Firman.
"Hm, kalau boleh tau bang Firman kerja apa?" tanya dokter Aisyah berbasa-basi untuk menghilangkan kecanggungan. Perban baru direkatkan ke betis Umar.
Hari ini Umar tidk manangis kesakitan seperti kemarin, mungkin karna bocah itu sibuk meminum susu dari botol dotnya.
"Adalah, usaha kecil-kecilan. Cukup untuk makan minum dan membeli satu dan dua steal baju Umar," jawab Firman berdalih.
"Di rumah saya banyak pakaian anak kecil. Baju, celana, sepatu dan lainnya. Kalau bang Firman ada waktu luang, datanglah kerumah. Siapa tau ada yang cocok untuk Umar?" ucap dokter Aisyah sambil berjalan ke meja kerjanya mengambil stetoskop. Alat tersebut di tempelkan ke dada Umar untuk mendengar detak jantung Umar.
Ternyata benar ada bunyi aneh yang menandakan ada kelainan pada detak jantung bocah itu.
"Jadi begini bang Firman, tadi malam saya sudah hubungi dinas kesehatan dan membicarakan masalah jantung Umar ini. Tapi sebelum itu saya perlu memastikan dan mendiagnosa dulu keadaan jantung Umar. Kita akan melakukan pemeriksaan echocardiograph sekarang. Pemeriksaan ini mungkin akan menyita waktu bang Firman sedikit. Bagaimana? Apa bang Firman setuju?"
Arloji di pergelangan tangan di lihat Firman lagi. Mata di pejamkan sesaat. Ia tahu resiko apa yang akan di terimanya nanti.
"Baiklah, saya akan tunggu," jawab Firman kemudian.
.
.
.
***
Satu pukulan hinggap di wajah Firman hingga membuat tubuhnya hampir roboh. Untung saja tangannya sempat berpegangan pada meja biliard.
Gigi gerahamnya di katup rapat. Cairan merah bercampur air liur di tahannya di dalam mulut.
"Mana Jack?" tanya Togar. Aduan pelanggan tentang keterlambatan Firman mengantarkan barang telah sampai ke telinganya. Makanya tadi Togar menyuruh Firman segera datang menemuinya.
"Dia pergi mengantar barang," jawab Firman singkat. Rasa geram di hati hanya bisa di tahannya bersama rasa sakit menahan bibir yang pecah.
"Kemarin kau telat mengambil barang. Sekarang kau malah telat mengantar barang pada pelanggan? Mau kau apa sebenarnya? Kau mau semua pelangganku lari?" bentak Togar dengan mata membulat menatap Firman.
Namun, tidak sedikitpun membuat Firman merasa takut. Raut wajahnya biasa saja.
"Aku tidak tau apa masalah yang sedang kau hadapi dan aku juga tidak ingin tahu. Tapi akhir minggu ini, kau tahu kan ada pelanggan penting."
"Ya, aku tau." Firman mengangguk pelan.
Togar mendekati Firman dan membisikkan sesuatu ketelinganya. "Bagus. Ingat, sekali lagi aku dengar ada keluhan dari pelanggan. Tau sendiri apa yang akan kau terima." Kemudian Togar tersenyum manis sambil merapikkan kerah kaos polo yang di gunakan Firman.
"Sekarang kau boleh pergi. Kalau kau butuh apa-apa, katakan padaku," tambah Togar. Kedua bahu Firman di pijatnya sedikit.
Firman mengangguk sebelum berbalik badan pergi meninggalkan ruang bawah tanah itu.
Suasana dalam restoran sudah biasa bagi Firman. Mungkin dulu ia begitu bersemangat jika melihat gelas berisi wine mahal yang di hidangkan pelayan restoran untuk para anggota 'King Cobra', tapi sekarang ia tidak begitu menikmati minuman memabukkan itu.
Di ujung sana tampak seorang pelayan berjalan mendekati Firman dengan seutas senyum. Namun, senyum pelayan itu pudar ketika melihat sudut bibir Firman yang berdarah.
"Man, bibir lo kenapa?" tanya pelayan itu dengan kening yang berkerut.
Pertanyaan pelayan itu tidak lah di tanggapi Firman. Ia terus saja berjalan ke arah pintu keluar restoran dengan gaya cool.
Setelah berada di luar restoran. Ponsel canggih di keluarkannya dari saku celana ketika mendengar notif pesan masuk.
"Jack ganteng?" Firman mengerutkan kening. Sejak kapan nama kontak itu burbah?
Man, sekarang kau dimana? Pesan dari Jack ganteng.
Segera Firman mengetik balasan.
Jemput aku di McDinald.
Pesan di kirim dan tidak lama di balas Jack.
McDonald yang mana?
Dekat rostoran kita makan tadi malam.
Oh, oke. Tunggu aku di sana.
Ponsel di simpan Firman ke dalam saku setelah membalas pesan singkat Jack. Kaki di ayunkan berlali ke tempat di mana ia menunggalkan Umar sebelum pergi ke restoran ini. Ia berharap bocah itu tidak pergi kemana-mana dan tetap setia menunggunya.
Rasa perih di sudut bibir masih bisa di rasa Firman, tapi itu hal biasa baginya. Ini termasuk hukuman ringan yang di berikan Togar. Dulu pernah jari kelingkingnya yang di patahkan Togar, karna di tuduh menggelapkan uang penjualan barang.
Tidak lama Firman tiba di sebuah tempat bermain anak-anak. Di dalamnya penuh dengan pelanggan lain.
Dari kejauhan Firman sudah bisa melihat bocah kecil yang duduk membelakanginya. Firman tersenyum. Lega hatinya melihat bocah itu masih setia menunggunya. Firman berlari kecil menapaki karpet hijauyang terbentang di area permainan mini itu. Bahu Umar yang sedang duduk di atas kuda mainan di usapnya pelan.
"Yayah." Mata Umar berbinar-binar melihat kehadiran Firman di sana.
Firman malah tertawa kecil melihat wajah belepotan bocah itu terkena eskrim coklat yang dibelinya sebelum pergi. Kerucut es krim masih di genggam bocah itu, walau isinya sudah tumpah sebagian ke baju.
"Adik memang pintar?" puji Firman sambil mengusap kepala bocah itu. Ia tidak menyangka anak itu begitu patuh pada perintahnya. Padahal sudah lebih satu jam, Firman meninggalkan anak itu di sana. Sedikitpun anak itu tidak beranjak dari kuda mainan yang di dudukinya. Padahal di sana banyak permainan lain, tapi sedikitpun tidak menggoyahkan anak itu beranjak dari sana.
"Yayah dali mana?" tanya Umar polos.
"Tadi ayah ada keperluan sebentar. Es krimnya masih mau adik makan?" Firman memandang kerucut eskrim di tangan Umar.
"Ini untuk yayah."
Firman membuka mulutnya, membiarkan tangan kecil Umar menyuapkan kerucut es krim padanya.
"Holeee... Yayah hebat." Umar bertepuk tangan melihat Firman menghabiskan kerucut eskrim itu dengan cepat.
Firman tersenyum. Ia merasa terhibur dengan tingkah bocah itu. Kemudian baju Umar di bukanya, lalu tubuh kecil itu di bawanya ke kamar mandi. Banyak pasang mata yang memperhatikannya, namun tidak di pedulikan oleh Firman. Pemuda itu terus saja berjalan sambil menggendong Umar yang tidak berbaju.
Wajah Umar di bersihkan dari sisa coklat yang menempel, pipi leher, bibir di bersihkan dengan air kran, lalu di keringkan dengan tisu yang di sediakan di sana. Senyuman tidak luntur melihat wajah ceria Umar.
Pipi Umar yang telah bersih dari coklat di elus Firman. Tak berkedip matanya memperhatikan wajah itu seakan berubah menjadi sosok yang begitu di rindui.
"Raihan," bisik Firman. Di usap juga kepala Umar dengan senyum yang bergetar. Kerinduan hatinya begitu dalam pada anak kecil yang dulu pernah di sayanginya.
Umar hanya diam membisu, saat Firman mencium keningnya. Kemudian tubuh kecilnya sudah berada di dalam pelukan Firman.
Tanpa di sadari, cairan bening mengalir menuruni pipi. Isak tangis itu keluar begitu saja.
"Yayah, kok angis?"
Firman tersadar. Pelukan pada tubuh kecil Umar di lerainya. Wajah di palingkan ke arah lain sambil menyeka air mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments