bab 15~PPH

"Mbak, mbok ya di rem lo! Walah ...." Naning semakin berteriak, saat Rania malah tambah mengencangkan gasnya, karena merasa gugup.

BRUK!

motor mereka masuk kedalam got sawah, atau lebih sering disebut parit yang berada dipinggir sawah.

"Waduh ... Iki nanti kepiye kalau dimarahin Nek uti, Ning?" ujar Rania saat badanya sudah basah setengah lumpur, dengan beberapa luka di lutut dan sikunya.

Sementara Naning. Karena posisinya si belakang. Dia terjungkal agar berjarak dengan Rania, yang dimana lumpurnya lebih pekat, hingga wajah beserta rambutnya tampak penuh dengan lumpur tersebut.

Tawa Rania pecah, kala melihat sepupunya mulai berdiri.

"Kamu disuruh ngerem, lha malah gasnya tambah di kencengin ... Kepiye to 'Mbak!" rengek Naning sambil menyeka lumpur tadi.

"Heh! Dasar bocah-bocah ya. Kalau ndak bisa naik motor itu jangan lewat jalan sempit kayak gini!"

Pria berusia 25 tahun itu berkacak pinggang, sambil menajamkan mata kearah Rania dan Naning. Dia adalah kakak dari teman sekolah Rania dulu semasa TK. Namanya~mas Dimas. Rumahnya bertetangga dengan Nenek Fatonah, berjarak 3 rumah saja.

~Dimas Dwi Yatmoko~

"Awas saja, kalian berdua bakal ta bilangin sama, Mbah Nah!" celetuk pria itu kembali.

Naning menajamkan matanya. Dia lantas mendekat, setelah membantu Rania menaiki jalanan kembali.

"Bukanya di bantuin, malah marah-marah ndak jelas! Dasar bujang lapuk!" cibir Naning, walaupun wajahnya sekarang penuh dengan lumpur sawah.

Dan kebetulan tadi, mas Dimas membonceng sang adik. Pria remaja itu mendekat, lalu mulai membangunkan kembali motor Naning, yang tadi sempat ambruk.

Rania hanya diam, karena dia takut jika nanti mas Dimas akan memberitahu sang Nenek dan Mamahnya.

"Lain kali sing ati-ati ya Ran, kalau bawa motor-!" celetuk adik mas Dimas sambil menahan tawa.

"Kalau mau ketawa, ndak usah di tahan, Den! Seneng wong loro iki mesti, Mbak! Puas, deleng awak dewe nyungsep kaya iki!" cerca Naning dengan tatapan tajamnya.

"Lha salah e awakmu, to! Uwis paham sedelok maneh buka puasa, lah iki malah podo nyeleweng ... Sok-sokan koyo pembalap!" balas mas Dimas, bagai tikus dan kucing jika bertemu dengan Naning.

"Wis ayo mbak, kita pulang saja! Nda usah di dengerin kalau bujang lapuk ini berdalil."

Sebelum pulang, Naning turun kebawah sebentar untuk mencuci wajahnya dengan air yang masih agak jernih. Lalu dengan cepat, dia menarik lengan Rania. Merasa muak dengan tetangganya itu, sehingga Naning agak mengencangkan suara gas motornya, seolah sedang mengejek pria dewasa itu.

"Ew ... Dasar bocah-bocah gemblung-"

"Wislah, ayo Mas! Ibu mengko marah, es campure gak lek ndang teko!"

Dimas hanya mengangguk, dan juga pergi dari sana.

Begitulah Flashbak 13 tahun lalu~Rania.

"Aku ndak mau bawa Ning. Mending kamu aja yang bawa! Nanti takut kaya kejadian 13 tahun lalu, awak dewe nyungsep bareng!"

Naning mendesah dalam. Setelah itu hanya menuruti sang sepupu, mengambil alih stan kemudinya.

Sessui rencana, sore ini Naning mengantarkan Rania menuju rumah bu Darmini~Ibunda Rania.

Dan kebetulan, rumah Nadia berada di sebelah rumah mas Dimas, karena ibu Nadia adalah adik dari ibu Dimas, pria dewasa yang dulu pernah memarahi Rania dan juga Naning.

TOK! TOK!

"Permisi-"

Sudah beberapa kali Rania mengetuk pintu rumah Nadia, namun sekalipun tidak ada jawaban dari dalam.

Dan han itu rupanya membuat pendengaran seseorang yang berada didekat rumah Nadia terganggu.

Seorang pria muda kini tengah keluar dari rumah megah klasik, yang terbuat dari kayu jati tua bewarna coklat, dengan khas gaya joglonya. Dengan papan nama di sisi halaman yang bertulis~Kepala Desa.

Degh!

Pria itu menghentikan langkahnya spontan, namun tatapanya menyirat rasa keterkejutan dalam, dengan kedua mata sedikit terbuka lebar.

'Rania? Apa benar itu dia?'

"Woi ...! Lhah kok malah meneng wae, kepiye to bocah iki! Nang ngendi bu Darmini?" teriak Naning yang saat ini tengah melihat adik Dimas sedang ngalamun menatap Rania

~Nasyila Ningrum~lebih familiar di panggil, Naning.

Karena posisi Naning yang masih menunggu di tepi jalan, duduk di jok motor, sehingga membuat fokus Rania teralihkan.

Wanita berusia 28 tahun itu masih bersikap seperti dulu, selalu ceplas ceplos tanpa peduli dengan sekitarnya.

Sementara Rania, dia kembali menatap belakang, dan mengikuti arah pandang sang sepupu, yang kini menatap rumah sebelah bu Darmini.

Karena melihat ada seorang pria muda agak mendekat, Rania lantas segera beranjak untuk menanyakan keberadaan ibu Nadia.

"Maaf, permisi Mas! Apa sampeyan tahu dimana yang punya rumah ini?"

'Ya ALLAH, Rania ndak mengenaliku'

"Kok malah ngalamun, Mas? Ibunya Nadia kemana?" Rania mengubah bahasanya, mengira pria muda didepanya mungkin agak bingung dengan ucapanya.

"Ran ... Sampeyan wis lali sama aku?" ucap pria muda itu begitu lirih.

Degh

"Apa kamu-"

"Aku Raden, Ran! Sahabatmu dulu pas masih TK!"

Rania sontak terkekeh pelan, karena merasa pangkling dengan sahabat kecilnya itu.

"Maaf ya Den! Aku pangkling sama kamu. Mungkin dulu kita masih kecil ya ... Lha iki lama nda pernah ketemu, malah kamu wis sebesar ini," kekeh Rania sambil memegang kepalanya.

~Raden Tri Yatmoko~

Raden Tri Yatmoko~pria muda yang dulu pernah menjadi sahabat kecil Rania beberapa tahun, sebelum model cantik itu diajak pindah oleh kedua orang tuanya. Raden saat ini tengah menggeluti dunia kuliner, karena dia memiliki 4 cabang rumah makan khas jawa, yang sudah tersebar di 4 kota daerah Jawa tengah. Karena sikapnya yang sederhana, banyak orang tidak begitu tahu, jika bungsu dari pak Yatmoko itu diam-diam seorang pemuda sukses di usianya sekarang.

Pria berusia 25 tahun itu terkenal pendiam, namun sangat ramah orangnya. Banyak orang yang dibuat merasa aneh, karena pria muda itu berbeda dari kakak-kakaknya. Kaka pertamanya yang benama Alfin adalah seorang Polisi. Sementara Dimas, kaka keduanya, kini bergelut dalam profesi TNI AD~ yang bertugas di kotanya sendiri.

"Oh ya ... Kemana bu Darmini?" celetuk Rania kembali, sambil menepuk sedikit bahu Raden. Dia merasa sejak tadi pria didepanya itu sedang melamun menatapnya.

Raden tersadar. Antara malu, namun sudah tertangkap. Jalan satu-satunya hanya menunduk, lalu mencoba menetralkan kembali wajahnya.

"Bulek sedang keluar. Mungkin belanja, Ran! Memangnya ada apa ya?"

"Oh, ndak. Ndak ada apa-apa kok! Cuma mau nganter pesenanya Nadia!" kata Rania tersenyum. "Ya wis, aku duluan dulu 'Den! Besok meneh tak sini sama Nek uti. Kasian Naning wis prengat prengut!" lanjut Rania sambil terkekeh.

Raden hanya mengangguk lemah, namun ekor matanya mengikuti langkah Rania, hingga model cantik itu menaiki motor sepupunya kembali.

.

.

.

"Ya wislah buk! Syukur kalau sudah sampai. Iya ... Ibu sing sehat-sehat! Uwis di temeni putune. Sing apik-apik ya. Kalau mas Domanick cuti, nanti Lisa tak kesana."

"Aston mana? Uwis lama nda pernah telfon ibu! Bilangin Lis, suruh nelfon Nek utimu, ngunu lho!" ujar Nek Fatonah di sebrang.

"Iya bu, mengko ta sampeke! Ya ws ta tutup dulu, ini Lisa masak soale!"

Panggilan terputus oleh nyonya Lisa, karena dia saat ini tengah memasak untuk makan malam bersama.

Nenek Fatonah tidak pernah membedakan kasih sayangnya terhadap Aston, walaupun dia tahu jika sulung tuan Domanick itu, hanyalah seorang anak angkat.

...........

...........

Terpopuler

Comments

stela aza

stela aza

visualnya g nyambung jomplang bgt si Naning kaya artis Korea sedang kan yg cowonya g bgt visualnya 🤦🙏

2025-03-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!