Ruangan itu mendadak terasa sunyi.
Robin terdiam. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Sofia tetap menatapnya, tanpa ragu, tanpa takut. Tidak ada lagi wanita penurut yang selama ini ia kenal.
Robin mencoba membaca ekspresi istrinya. Biasanya, jika mereka bertengkar—atau lebih tepatnya, jika ia memarahi Sofia—wanita itu akan memilih diam, menunduk, dan meminta maaf meski tidak bersalah.
Tapi kali ini tidak.
Sofia benar-benar serius.
Robin merasa dadanya menghangat karena amarah yang membuncah. Giginya terkatup rapat. “Apa yang kau katakan?” suaranya terdengar tajam.
Sofia menarik napas dalam. Lalu, dengan suara yang lebih tegas, ia mengulangi, “Aku ingin kita bercerai.”
Robin berdiri beberapa detik, menatap Sofia yang duduk diam dengan tatapan dinginnya. Perasaannya kacau, tak tahu harus merasa marah, bingung, atau bahkan sedikit khawatir.
Seharusnya Robin merasa lega, bukan? Setelah semua yang terjadi—setelah bertahun-tahun pernikahan yang terasa seperti rutinitas kosong—dia harusnya merasa bebas jika Sofia akhirnya meminta perceraian itu, bukan? Dan bisa menikah dengan Vanessa wanita yang dia cintai sejak dulu.
Tapi entah kenapa, mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sofia, ada rasa aneh yang menghantam dadanya.
“Ini kekanak-kanakan, Sofia,” ujarnya dengan nada rendah, tapi penuh ketegasan. “Kita sudah tua, sudah terlalu lama bersama. Kenapa harus bercerai sekarang?”
Sofia hanya diam, tidak mengubah posisi, tidak merespons. Matanya yang tajam tetap menatap ke arah yang sama.
“Kalau kau lelah dengan pekerjaan rumah, kita bisa mencari jalan keluar, Sofia. Tapi cerai? Itu bukan solusi!” suara Robin mulai terdengar lebih lembut tapi tetap datar, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri.
Namun, Sofia tetap tidak berbicara. Keheningan di antara mereka semakin dalam.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Robin menarik napas panjang. “Pikirkan baik-baik, Sofia,” ujarnya sambil mengalihkan pandangannya ke lantai. “Kau terlalu lelah. Ini bukan saatnya membuat keputusan besar. Besok, aku tidak ingin kau seperti ini. Bersikaplah seperti kemarin-kemarin."
Sofia tetap tidak bergerak, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Robin merasa kebingungannya semakin dalam, namun dia memilih untuk pergi.
Dengan langkah cepat, Robin meninggalkan kamar dan menuju ke ruang ganti. Sofia mendengarnya memasuki kamar mandi, dan akhirnya dia benar-benar sendirian di ruangan itu.
Sofia menatap kosong ke arah pintu yang tertutup, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia merasa beban berat yang selama ini menghimpit dirinya mulai terlepas sedikit demi sedikit. Hatinya yang terluka kini tak lagi dipenuhi dengan ketakutan akan kehilangan—sebaliknya, ada rasa kebebasan yang mulai mengalir.
Tunggu surat cerai dariku, pikir Sofia dalam hati, dengan suara yang dalam dan penuh tekad.
Sofia tahu keputusannya sudah pasti. Tidak ada lagi tempat untuk kebohongan, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan ikatan yang selama ini hanya mengikatnya dalam kebohongan dan ketidakbahagiaan.
Robin bisa saja berpikir ini hanya fase atau hanya karena lelah dengan rutinitas rumah tangga. Tapi Sofia sudah membuat keputusan. Dan kali ini, keputusan itu untuk dirinya sendiri.
*****
Pagi itu, Sofia duduk dengan tenang di meja makan, menikmati salad segarnya sambil membaca majalah mode. Tidak ada aroma masakan yang biasa memenuhi rumah, tidak ada suara wajan yang beradu di dapur, dan yang paling mencolok—tidak ada Sofia yang sibuk melayani mereka.
Ibu mertuanya, Saskia, duduk di kursinya dengan ekspresi geram, menatap Sofia yang tampak santai. Semalam, dia sudah menghubungi besannya, Leta—ibu kandung Sofia—untuk datang dan melihat sendiri bagaimana putrinya berubah.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar, dan nyonya Leta memasuki ruang makan. Awalnya, dia ragu apakah Saskia hanya berlebihan. Bagaimana mungkin Sofia, anaknya yang selalu penurut dan lembut, tiba-tiba berubah?
Tapi begitu dia melihat putrinya yang duduk santai tanpa sedikit pun berniat menyiapkan sarapan seperti biasanya, Leta akhirnya percaya.
"Sofia?" panggil Leta, mencoba menarik perhatian putrinya.
Sofia melirik sekilas, lalu kembali menikmati sarapannya tanpa sedikit pun terganggu.
Saskia mendengus kesal. "Lihat, kan? Dia bahkan tidak peduli ibunya datang! Kau harus bicara padanya, Leta! Sofia tidak bisa begini!"
Leta menghela napas, merasa bimbang. "Sofia, kenapa kau tidak menyiapkan sarapan?" tanyanya, masih dengan nada lembut.
Sofia mengunyah dengan santai sebelum menjawab, "Karena aku tidak ingin."
Jawaban yang begitu sederhana, tapi cukup membuat Saskia hampir meledak.
Saat itu, Mikaila dan Reno turun dari kamar masing-masing, keduanya masih setengah mengantuk.
"Ma, mana sarapan?" tanya Mikaila tanpa basa-basi.
Sofia tetap tenang sambil menyuap saladnya. "Tunggu pembantu buat, atau masak sendiri," jawabnya datar.
Mikaila mengerutkan kening. "Tapi masakan pembantu tidak sesuai selera kami ...."
Reno mengangguk setuju. "Iya, cuma Mama yang bisa masak enak."
Seketika, suasana menjadi sunyi.
Sofia akhirnya menutup majalahnya, lalu menatap kedua anaknya dengan ekspresi tenang. "Oh? Masakan Mama enak? Kalau begitu, kenapa setiap hari kalian selalu protes?"
Keduanya terdiam.
Saskia dan Leta juga ikut membisu.
Sofia menatap satu per satu wajah mereka dengan ekspresi datar. "Setiap hari, kalian selalu punya alasan untuk mengeluh. Nasi terlalu lembek, lauk kurang bumbu, pancake terlalu manis. Kalau memang masakan Mama yang terbaik, kenapa setiap kali makan selalu ada saja keluhan?"
Mikaila dan Reno saling pandang, tak bisa menjawab.
Leta menggigit bibirnya, seakan ingin menegur Sofia, tapi ada sesuatu dalam tatapan putrinya yang membuatnya ragu.
Saskia semakin geram, tetapi sebelum dia sempat berbicara, Sofia sudah bangkit dari kursinya.
"Mulai sekarang, aku hanya akan melakukan apa yang aku inginkan," ujar Sofia santai. "Aku sudah cukup mengorbankan diri selama 22 tahun. Sekarang, giliran kalian yang mengurus diri sendiri."
Tanpa menunggu respons, Sofia membawa piringnya ke dapur, meninggalkan semua orang dalam keheningan yang mencekam.
Robin keluar dari kamarnya dengan ekspresi sedikit mengantuk, tetapi begitu melihat ibunya, ibu mertuanya, dan kedua anaknya duduk dalam diam dengan wajah tak bisa dijelaskan, dia langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Saskia, yang pertama kali melihat Robin, langsung bangkit dengan wajah penuh kemarahan. "Robin! Lihat apa yang dilakukan istrimu! Dia benar-benar tidak tahu diri! Berani-beraninya dia membantah ucapanku dan menolak menyiapkan sarapan!"
Leta, ibu Sofia, hanya menghela napas pelan. Dia tidak ikut menimpali amarah Saskia, tetapi dari sorot matanya, jelas bahwa dia juga bingung dengan perubahan drastis putrinya.
Robin mengusap wajahnya dengan lelah, lalu duduk di kursinya. "Aku sudah bilang, jangan bersikap kekanak-kanakan, Sofia," gumamnya dengan nada datar.
Bersamaan dengan itu, Sofia keluar dari dapur, membawa secangkir kopi untuk dirinya sendiri, sama sekali tak terpengaruh dengan atmosfer tegang di ruang makan.
Robin akhirnya menatapnya, lalu menghela napas. "Apa kau masih ingin bertingkah seperti ini? Aku sudah bilang, berhenti bersikap kekanak-kanakan. Kau hanya sedang lelah, dan ..."
Tanpa sadar, Robin melanjutkan, "Apa kau pikir meminta cerai akan menyelesaikan semuanya?"
Seketika, suasana menjadi senyap.
Semua mata langsung tertuju pada Robin.
Saskia membelalak. "Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Aghitsna Agis
kalau sydah keluar kata keramat mulai agak2 bingung hatinya pada sefikit khawatir langsung aja sofia urus perceraian gerak cepat nga usah nunggu kplain fari robin dan anak2nya tahu dikirim.aja surat cerainya kalu dinanti nanti malah bimbang ditunggu kelanjutamnya thor mks
2025-03-04
3
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
hahahaaa... udh salah tp g mau ngaku hadeh dasar buaya darat buntung pula
2025-03-04
1
Eka Uderayana
nah... begitu loh Sofia... harus bersikap tegas.... hidup hanya sebentar... jadi ya harus dinikmati... bukan di dzolimi
2025-03-04
1