DAAP 4

Sofia pulang ke rumah saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Dengan langkah tenang, ia membawa beberapa paper bag berisi perlengkapan menggambar yang baru saja dibelinya.

Namun, saat ia mendekati pintu rumah, matanya bertemu dengan tatapan tajam dari seseorang yang sudah berdiri menunggunya di sana—Saskia, ibu mertuanya.

Wanita itu menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya penuh ketidaksenangan. “Dari mana saja kau seharian ini?” tanyanya dengan nada tajam. “Kenapa kau tidak ada di rumah dan mengurus semuanya seperti biasa?”

Dulu, pertanyaan seperti ini pasti akan membuat Sofia menunduk dan merasa bersalah.

Tapi hari ini berbeda.

Sofia meletakkan tas belanjanya di meja dengan tenang, lalu melepas mantelnya. Ia menatap ibu mertuanya tanpa ekspresi takut sedikit pun.

“Buat apa ada pembantu kalau aku harus melakukan semuanya sendiri?” jawabnya santai. “Lagi pula, aku bukan pembantu.”

Saskia terbelalak.

Seumur hidupnya mengenal Sofia sebagai menantu, baru kali ini wanita itu berani membantahnya. Biasanya, Sofia hanya akan tersenyum, meminta maaf, dan kembali bekerja tanpa protes.

Tapi tidak hari ini.

Saskia tidak terima. “Apa maksudmu? Kau menantu di rumah ini, sudah tugasmu mengurus suami, anak-anak, dan rumah!”

Sofia tersenyum tipis, tetapi senyumnya dingin. “Aku pikir, itu tugas semua orang yang tinggal di rumah ini. Aku bukan satu-satunya yang punya tangan dan kaki.”

Tatapan Saskia semakin tajam, tetapi Sofia sudah tidak peduli. Ia meraih barang belanjaannya dan berjalan melewati mertuanya dengan sikap acuh tak acuh.

Untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua puluh tahun, Sofia merasa ringan.

Dan untuk pertama kalinya, Saskia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dari menantunya—jarak yang begitu jauh, seolah Sofia bukan lagi wanita yang selama ini bisa ia kendalikan sesuka hati.

"Sofia! Kau ingin ke mana?" seru Saskia geram.

Sofia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah mertuanya dengan wajah malas. "Aku capek! Mau istirahat."

Setelah mengatakan hal itu, Sofia benar-benar pergi meninggalkan sang mertua dengan wajah geram.

Setelah Sofia menghilang ke dalam kamarnya, Saskia masih berdiri di ruang tamu dengan wajah merah padam. Dadanya naik turun, emosinya benar-benar tersulut.

"Apa-apaan perempuan itu?! Berani sekali membantahku!" gerutunya sendiri sambil menghentakkan kaki dengan kesal.

Saat itulah, Robin, Reno, dan Mikaila masuk ke rumah. Mereka baru saja pulang dan langsung disambut pemandangan tak biasa—Saskia yang mondar-mandir sambil marah-marah sendiri.

Mikaila mengernyitkan dahi. "Nenek, kenapa? Kok marah-marah sendiri?" tanyanya penasaran.

Saskia menoleh dengan ekspresi tidak terima. "Kalian tahu? Ibu kalian baru saja pulang entah dari mana, seharian dia tidak ada di rumah!" suaranya meninggi, membuat tiga orang di depannya saling bertukar pandang.

"Terus?" Reno bertanya malas, seolah tidak peduli.

Saskia semakin kesal. "Terus?! Kalian tidak merasa ada yang salah?! Dia itu istri dan ibu rumah tangga, tugasnya ada di rumah, bukan jalan-jalan ke luar entah ke mana!"

Robin akhirnya ikut bersuara. "Sofia memang ke mana?"

Saskia mendengus. "Entahlah! Yang jelas, dia baru pulang tadi sore, menenteng belanjaan, dan lebih parahnya lagi, dia berani membantahku! Sofia yang dulu tidak akan pernah menjawab perkataanku seperti itu!"

Robin terdiam sejenak, mencerna ucapan ibunya. Mikaila dan Reno juga mulai merasa ada sesuatu yang aneh.

"Sofia membantah?" Robin akhirnya bertanya, terdengar tidak percaya.

Saskia mengangguk cepat. "Ya! Dia bilang dia bukan pembantu! Bisa kau bayangkan?! Selama ini, dia tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Aku yakin ada yang salah dengannya."

Robin mengerutkan kening. Memang, biasanya Sofia adalah istri yang penurut, selalu diam dan menerima segala perlakuan tanpa protes. Jadi, perubahan ini terasa tidak biasa.

Mikaila memutar bola matanya. "Mungkin Mama lagi kena sindrom paruh baya atau apa," gumamnya cuek.

Reno mengangkat bahu. "Biarin aja. Asal dia masih urus rumah dan masakin kita, aku nggak peduli."

Saskia mendengus dengan kesal. "Kalian ini! Tidak bisakah sedikit lebih tegas pada ibu kalian? Kalau dia mulai berulah, aku khawatir dia akan semakin berani!"

Robin menarik napas panjang. Sejujurnya, ia tidak terlalu peduli. Sejak awal, ia menikahi Sofia bukan karena cinta, jadi selama Sofia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga, ia tidak akan banyak mempermasalahkan sikapnya.

Tapi, jika benar Sofia mulai berubah, ia harus memastikan wanita itu tidak bertindak lebih jauh.

"Nanti aku akan bicara dengannya," kata Robin akhirnya.

Saskia mengangguk puas. "Bagus. Pastikan dia tidak lupa siapa dirinya!"

Namun, di dalam kamar, Sofia hanya duduk tenang, menatap hasil sketsa pertamanya setelah bertahun-tahun.

Tanpa mereka sadari, Sofia yang mereka kenal selama ini sudah tidak ada lagi.

****

Sofia masih duduk di meja kerjanya, jemarinya menyentuh lembut sketsa desain yang baru saja ia buat. Sudah bertahun-tahun ia tidak menggambar, dan kini ia merasa ada sesuatu yang bangkit kembali dalam dirinya. Sesuatu yang pernah ia tinggalkan demi keluarga yang bahkan tidak pernah menghargainya.

Namun, ketenangan itu buyar saat pintu kamar terbuka tanpa ketukan.

Robin berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin, seperti biasa. Namun, kali ini ada sedikit ketidaksabaran dalam sorot matanya.

Sofia tidak bereaksi. Ia hanya tetap duduk, seolah kedatangan pria itu tidak penting baginya.

Robin melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, lalu bersedekap. “Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya langsung. “Ibu mengadu bahwa kau mulai membantah dan tidak mengurus rumah seperti biasanya.”

Sofia tidak menjawab. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun, hanya tetap fokus pada desainnya, seolah suaminya hanyalah angin lalu.

Robin mengernyit, merasa aneh. Sejak menikah, Sofia tidak pernah sekalipun mengabaikannya seperti ini. Biasanya, jika ia berbicara, Sofia akan mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun ia hanya memberikan perintah atau kritik. Tapi hari ini berbeda.

Robin mendekat, berdiri di samping meja, lalu berbicara lebih keras. “Sofia, aku sedang bicara denganmu.”

Tetap tidak ada respons.

Untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun pernikahan mereka, Robin merasa seolah keberadaannya tidak dianggap.

Kemarahan mulai merayap di dadanya. Ia tidak terbiasa diabaikan seperti ini, terutama oleh istrinya sendiri.

Dengan gerakan cepat, ia meraih lengan Sofia dan menariknya dengan kasar. “Jangan abaikan aku, Sofia!”

Namun, hal yang terjadi berikutnya membuat Robin semakin terkejut.

Sofia dengan sigap menepis tangannya.

Bukan hanya menepis—tetapi dengan kekuatan yang cukup untuk membuat Robin mundur selangkah.

"Kau kenapa Sofia? Dan apa maumu?" tanya Robin dingin.

"Kau ingin tahu, aku ingin apa? Baiklah, dengar aku baik-baik ...." Sofia menghela napasnya, kemudian mengangkat pandangannya.

Mata Sofia bertemu dengan matan Robin. Untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka, Sofia menatapnya bukan dengan kepatuhan atau rasa takut, tetapi dengan tatapan dingin yang seolah menembus hingga ke dalam jiwanya.

Lalu, dengan suara tenang namun menusuk, Sofia berkata, “Mari kita bercerai.”

Deg!

Terpopuler

Comments

🍒⃞⃟🦅Rivana84

🍒⃞⃟🦅Rivana84

gak semua & selama nya seseorang bisa kau kendalikan nenek gayung 😤 manusia bisa berubah kpn saja & ku harap kalian gak nyesel nanti yaa...jgn ada drama

2025-03-04

3

🍒⃞⃟🦅Rivana84

🍒⃞⃟🦅Rivana84

panas,,,sakit atau tersinggung Klo org ngomong gak di anggap,,,,itu lah yg di rasakan Sofia slma ini /Hammer//Hammer//Hammer/Bru segitu aja dah lgsg darting kau

2025-03-04

1

☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩

☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩

nah loh, mnta pisahkn bukan nya it yg kmu mau Robin

2025-03-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!