Dokter Linlin dan Xu Mei berlari melewati lorong rumah sakit yang masih cukup lengang di pagi hari. Sepatu mereka berdecit saat menyentuh lantai, sementara beberapa perawat dan dokter yang sedang berjalan terpaksa menyingkir ke samping untuk memberi jalan.
“Kenapa harus saat kita baru mulai makan?” gerutu Xu Mei sambil berlari di samping Linlin.
“Kalau kecelakaan bisa memilih waktu, kita semua tidak perlu bekerja,” jawab Linlin tanpa mengurangi kecepatannya.
Begitu tiba di depan pintu ruang gawat darurat, mereka langsung mendorongnya dengan keras. Pemandangan yang menyambut mereka adalah kekacauan. Beberapa dokter dan perawat berlarian, alat-alat medis dipindahkan dengan cepat, dan suara monitor pasien berbunyi tanpa henti.
Seorang perawat langsung menghampiri mereka. “Dr. Linlin! Pasien pria, 35 tahun, kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala terbuka dan kemungkinan pendarahan dalam di perut. Kami baru saja menerima hasil CT scan-nya.”
Linlin segera mengambil hasil CT scan yang diberikan perawat itu, sementara Xu Mei mengenakan sarung tangannya dengan cepat.
“Di mana pasiennya?” tanya Linlin tanpa mengalihkan pandangannya dari hasil scan.
“Di ruang 3!”
Tanpa membuang waktu, Linlin dan Xu Mei melesat ke ruang tersebut.
Di dalam, seorang pria terbaring di ranjang, wajahnya penuh darah dengan luka menganga di pelipis kiri. Nafasnya tersengal-sengal, dan dadanya naik turun dengan tidak beraturan.
“Tekanan darah?” Linlin bertanya sambil meletakkan hasil CT scan di meja.
“90/60 dan terus menurun!” jawab seorang perawat.
Xu Mei segera memeriksa kondisi pasien, sementara Linlin menatap layar CT scan dengan tajam. Ia hanya butuh beberapa detik untuk menganalisisnya sebelum mendongak dan berkata tegas, “Ada pendarahan di rongga perut. Kita harus segera membawanya ke ruang operasi.”
“Jalan napasnya mulai tidak stabil, dokter!” seru perawat Xu Mei.
Dokter Linlin langsung mengambil keputusan. “Intubasi sekarang! Kita tidak bisa menunggu lebih lama.”
Xu Mei dan seorang perawat segera mengambil peralatan intubasi. Sementara itu, seorang dokter junior masuk dengan napas terengah-engah. “Dr. Linlin, perlu saya panggil Dr. Zhao?”
Belum sempat Linlin menjawab, pintu tiba-tiba terbuka lebar, dan Zhao Wei muncul dengan wajah penuh frustrasi.
“SIALAN! AKU TAHU INI AKAN TERJADI!” ia berteriak sambil menunjuk Linlin dan Xu Mei. “Kalian kabur dari sarapan dan menyeretku ke dalam neraka ini juga!”
Xu Mei meliriknya sekilas. “Cepat pakai sarung tangan, Dr. Zhao. Ini bukan waktunya mengeluh.”
Zhao Wei mengerang keras, tetapi tetap mengambil sarung tangan. “Tahu tidak? Aku sudah siap untuk menikmati sarapanku, lalu—BRAK!—telepon darurat datang! Kalian berdua benar-benar membawa sial untukku pagi ini!”
Linlin tidak menanggapinya. Fokusnya hanya pada pasien. “Siapkan ruang operasi sekarang. Kita hanya punya waktu singkat.”
Zhao Wei mendesah panjang sebelum akhirnya menyerah dan berjalan mendekat. “Baiklah, baiklah. Tapi setelah ini, AKU AKAN MAKAN!”
Tanpa menunggu lebih lama, mereka bertiga bersiap untuk menyelamatkan nyawa pasien itu.
Setelah beberapa jam yang melelahkan di ruang operasi, akhirnya prosedur selesai. Linlin menarik napas panjang, melepas sarung tangannya yang kini penuh noda darah, lalu membuangnya ke tempat sampah medis. Xu Mei melakukan hal yang sama, sementara Zhao Wei langsung bersandar ke dinding, mengusap wajahnya dengan kasar.
“Astaga… operasi ini benar-benar menghabiskan tenagaku,” keluh Zhao Wei, suaranya serak karena kelelahan. “Aku bahkan merasa tulang punggungku menjerit minta dipijat.”
Xu Mei meregangkan lehernya. “Kalau kau lelah, bayangkan bagaimana rasanya jadi pasien yang baru saja kita bedah.”
Zhao Wei mendengus.
Linlin, yang sudah terbiasa dengan keluhan Zhao Wei, hanya melepas masker bedahnya dan berkata dengan tenang, “Ayo ke ruang istirahat. Kita butuh tidur, meskipun hanya sebentar.”
Tanpa banyak protes, mereka bertiga berjalan keluar dari ruang operasi. Lorong rumah sakit sudah jauh lebih sibuk dibandingkan pagi tadi. Beberapa perawat menyapa mereka, tetapi mereka terlalu lelah untuk merespons lebih dari sekadar anggukan kecil.
Begitu sampai di ruang istirahat dokter, Zhao Wei langsung menjatuhkan diri ke sofa, mendesah panjang.
“Akhirnya…” ia bergumam. “Kasur atau sofa, aku tidak peduli. Aku hanya ingin tidur.”
Xu Mei mengambil botol air dari kulkas kecil di sudut ruangan dan meneguknya dengan rakus. “Aku juga. Tapi jujur saja, aku masih lapar. Kita belum sempat menyelesaikan sarapan tadi.”
Zhao Wei membuka sebelah matanya dan mendengus. “Lupakan sarapan. Aku butuh tidur lebih dari makanan saat ini.”
Linlin duduk di kursi dekat meja, menghela napas pelan. Matanya mulai terasa berat.
Xu Mei menatapnya. “Kau tidak tidur, dokter Linlin?”
Linlin hanya tersenyum kecil. “Iya sebentar, aku mau periksa sesuatu dulu.”
Zhao Wei mendengus pelan. “Terserah kau. Aku tidak akan menunggu.”
Dengan itu, ia menutup matanya dan dalam hitungan detik, suara napasnya sudah mulai teratur, menandakan bahwa ia sudah tertidur.
Xu Mei menguap dan akhirnya menyerah juga. Ia mengambil selimut tipis dari lemari kecil, lalu merebahkan diri di sofa lain. “Aku ikut tidur. Jangan lupa bangunkan aku kalau ada panggilan darurat lagi.”
Linlin hanya mengangguk sambil menatap jam di dinding.
Akhirnya, setelah semua selesai, Linlin bersandar ke kursinya dan memejamkan mata.
Suara nyaring telepon menggema di ruang istirahat, membuat Linlin terbangun. Dengan mata yang masih terasa berat, ia meraba-raba ponselnya dan menjawab panggilan itu.
“Halo?” suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.
“Dr. Linlin, jam praktik Anda segera dimulai. Ada beberapa pasien yang sudah menunggu di poli,” suara seorang perawat di seberang terdengar jelas.
Linlin melirik jam di dinding. Tidurnya baru sekitar satu jam, tetapi ia tidak punya pilihan. “Baik, aku segera ke sana,” jawabnya sebelum menutup telepon.
Ia menghela napas pelan, lalu bangkit dari kursinya. Xu Mei masih terlelap di sofa, tubuhnya meringkuk di bawah selimut tipis. Sementara itu, Zhao Wei tidur dengan posisi berantakan, satu tangan menutupi wajahnya, dan napasnya terdengar pelan.
Linlin tidak ingin membangunkan mereka. “Biar mereka tidur sebentar lagi,” gumamnya pelan.
Sebelum pergi, ia berjalan ke kamar mandi kecil di dalam ruang istirahat. Ia menyalakan keran, lalu membiarkan air dingin membasahi wajahnya. Sensasi dingin itu sedikit menghilangkan kantuknya.
Menatap bayangannya di cermin, Linlin menarik napas dalam. “Baiklah, saatnya kembali bekerja.”
Setelah mengeringkan wajahnya, ia merapikan jas dokternya, lalu melangkah keluar dari ruang istirahat. Hari masih panjang, dan tugasnya sebagai dokter belum selesai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
🦆 Wega kwek kwek 🦆
aku pasti lari ketakutan jika ada diposisi tuh dokter 🤭🤭🤭🤭
2025-03-04
0
EsTehPanas SENJA
weeeh kok bisa? evolusi? mutasi?
2025-03-09
0
Raudah Anis
aku selalu suka sama author ini 🥰🥰🥰
2025-03-04
0