Setelah para dewa dan dewi berhasil melewati masa-masa kelam yang penuh dengan keputusasaan dan penderitaan, mereka pun memutuskan untuk menggelar sebuah perayaan megah. Perayaan ini bukan sekadar pesta biasa—melainkan bentuk penghormatan dan pengingat akan perjuangan yang telah mereka lalui bersama. Cahaya surgawi menerangi langit istana para dewa, alunan musik suci menggema, dan tawa mereka menyatu dalam harmoni.
Di tengah kegembiraan itu, Dewa Cahaya tiba-tiba termenung. Wajahnya yang biasanya bersinar kini tampak serius, seakan ada sesuatu yang membebani pikirannya. Ia lalu berdiri tegap, mengenakan zirah emas yang memantulkan cahaya dari sekelilingnya, dan bertepuk tangan dengan keras.
Dewa Cahaya: “SEMUA!!! Bisakah kalian memberikan perhatian sejenak!?”
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh dewa dan dewi menghentikan aktivitas mereka dan menoleh ke arah suara yang penuh wibawa itu.
Dewa Kebijaksanaan, dengan tenang mengangkat tangannya dan bertanya, “Ada apa gerangan, wahai Dewa Cahaya?”
Dewa Cahaya mengangkat seorang bayi mungil yang bersinar lembut di pelukannya, lalu berkata, “Aku hanya ingin bertanya... Apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap bayi yang terlahir dari kekuatan gabungan kita semua ini? Anak ini bukan sembarang bayi—ia adalah simbol persatuan kita.”
Dewa Darah, dengan tubuh yang tampak seperti cairan kental berwarna merah namun tetap berbentuk fisik, tertawa keras dan berkata, “Berikan saja padaku! Aku akan menjaganya seperti... tumbalku sendiri! HAHAHA!!!”
Dewa Cahaya mengernyit. “Sebaiknya tidak, terima kasih. Ada usulan lain?”
Dewa Kebijaksanaan menyela, “Bagaimana jika anak ini diasuh oleh kalian para dewa tertinggi sampai ia tumbuh dewasa? Mungkin kelak dia akan memiliki peran besar di masa depan.”
Dewa Roh mengangguk, “Ada benarnya juga. Apa pendapat kalian semua?”
Dewi Kecantikan yang duduk anggun dengan wajah sebagian tertutup kain transparan, hanya memperlihatkan matanya yang memikat, menimpali dengan nada menggoda, “Bagaimana kalau kami, para Dewi, saja yang merawatnya?”
Dewa Roh tampak berpikir keras. “Hmm... menarik juga. Tapi rasanya ada sesuatu yang kurang... Tapi apa, ya?”
Dewa Pengetahuan yang berdiri sambil memegang sebuah kitab besar bersampul emas berkata lantang, “Aku tahu apa yang kurang itu!”
Dewa Roh langsung menoleh. “Cepat, katakan!”
Dewa Pengetahuan dengan mantap menjawab, “Yang kurang adalah... seorang AYAH!”
“HAAAAH??!” Para dewa dan dewi berseru kaget serempak, menatapnya dengan ekspresi bingung.
Dewa Cahaya bertanya, “Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Karena,” ujar Dewa Pengetahuan, “dari apa yang kupelajari tentang kehidupan manusia, keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Jika para Dewi menjadi ibu bagi bayi ini, bukankah seharusnya ada juga seorang ayah?”
Dewa Cahaya mengangguk perlahan. “Itu masuk akal... Tapi, siapa yang akan menjadi ayahnya?”
Dewa Kebijaksanaan menjawab sambil tersenyum, “Sudah jelas—kalian para dewa tertinggi lah yang menjadi ayahnya. Itu tanggung jawab kalian.”
Dewa Cahaya terkejut. “Ta... tapi kan...!”
Dewa Kekuatan, yang bertubuh raksasa dan berotot, memotong, “Tak perlu banyak alasan! Langsung saja rawat anak itu!”
“Ba... baiklah kalau begitu...” Dewa Cahaya akhirnya mengangguk pasrah.
Dewa Kebijaksanaan lalu menyimpulkan, “Dengan ini, diputuskan bahwa para Dewa Tertinggilah yang akan menjadi orang tua dari anak ini.”
“YAAAAAAAAAA!!!” Sorak para dewa dan dewi memenuhi langit, tanda persetujuan penuh.
Dewa Emosi yang tubuhnya berubah-ubah warna sesuai perasaannya, berdiri dan berkata, “Karena sudah diputuskan siapa orang tuanya, sekarang saatnya kita memberi nama kepada anak ini!”
Suasana kembali hening. Semua saling pandang, berpikir keras.
Dewa Cahaya mengangguk, “Benar juga! Anak ini harus memiliki nama. Hmm...”
Dewi Kecantikan tiba-tiba berdiri, “Bagaimana kalau... FLAVIO BHASKAR?”
Dewa Cahaya menoleh penasaran, “Kenapa nama itu?”
Dewi Kecantikan hendak menjawab, namun Dewa Kebijaksanaan menyela lebih dulu, “Ah! Aku mengerti maksudnya. ‘Flavio’ untuk rambut pirangnya yang bersinar seperti cahaya mentari, dan ‘Bhaskar’ karena ketika kita menciptakannya, wujud energinya bulat dan bersinar seperti matahari.”
Dewi Kecantikan mengangguk penuh semangat, “Benar sekali!”
Dewa Cahaya tersenyum. “Flavio Bhaskar... Nama yang cocok untuk anak cahaya.”
Setelah nama diberikan, perayaan pun berlanjut dengan sukacita hingga fajar menyingsing.
---
Sementara itu, di dunia manusia...
Kekacauan melanda wilayah perbatasan antara dunia manusia dan wilayah iblis. Pertikaian demi pertikaian pecah tanpa henti. Manusia memburu kekuasaan dan kekuatan, membunuh satu sama lain tanpa ampun.
Di tengah kekacauan itu, dua gadis muda berlari menyusuri hutan demi menyelamatkan diri.
“Hei, Arinka! Cepat ke sini! Aku menemukan tempat persembunyian!” seru seorang gadis berambut putih panjang bernama Arelia, matanya tajam dengan iris abu-abu keperakan, tubuh ramping namun berisi, dan wajah secantik dewi.
Arinka yang lebih pendek, dengan rambut coklat sebahu dan pipi imut sedikit tembam, tampak ragu. “Tapi Arelia, bukankah itu sarang hewan buas?”
“Kau mau selamat atau tidak?” Arelia menyeringai.
“Mau sih, tapi—”
“DIAM!!! Mereka datang!!” Arelia buru-buru menarik Arinka masuk ke dalam sarang rerumputan dan menutup mulut temannya.
Tak lama kemudian, pasukan kesatria berbaju zirah perak menyusuri area itu.
“Hei! Sudah ketemu mereka?” tanya pemimpin mereka.
“Belum, Pak. Kami terus mencari,” jawab salah satu prajurit.
“Cari terus! Mereka tidak boleh lolos!”
Beberapa saat kemudian, seorang prajurit menemukan anting emas kecil di tanah.
“Pak! Saya menemukan ini di jalur sebelah sana!”
“Itu milik salah satu dari mereka. Ayo kejar!”
Pasukan itu pun pergi menyusuri jejak yang salah arah.
Setelah yakin suasana aman, Arelia dan Arinka keluar dari persembunyian.
“Kenapa mereka mengejar kita? Apa kesalahan kita?” tanya Arinka dengan suara gemetar.
“Mungkin... karena kekuatan sejati kita,” jawab Arelia dengan wajah serius.
“Memangnya kekuatanmu apa?”
“Telekinesis.”
“Tele... apa?”
“Telekinesis. Kekuatan batin untuk menggerakkan benda tanpa menyentuhnya.”
“Wah, hebat!”
“Kau sendiri, kekuatanmu apa?”
“Sepertinya aku bisa berbicara dalam segala bahasa. Aneh, ya?”
“Menarik juga. Bisa sangat berguna.”
Mereka terus berjalan tanpa tahu bahwa mereka mendekati jurang yang curam.
“Ups... Sepertinya kita tidak bisa lewat sini,” kata Arinka cemas.
Arelia berpikir keras. “Tunggu... Aku punya ide, tapi agak berbahaya.”
“Coba saja jelaskan.”
“Aku akan gunakan telekinesis untuk membengkokkan pohon ke arah jurang. Kita naik pohonnya, lalu kita akan ‘terlempar’ ke seberang!”
“Berbahaya sih... tapi kita nggak punya pilihan lain.”
Mereka melompat ke pohon yang miring, dan Arelia melepaskan kekuatannya. Pohon itu memantul ke arah jurang—mereka pun terlempar... dan jatuh menimpa seseorang!
“Aduhhh!!! Apa-apaan ini?! Sakit sekali!!”
Mereka terguling dan mendarat tepat di atas seorang pria muda.
“Maaf! Kami nggak lihat kau di bawah!” Arelia buru-buru bangkit dan membungkuk.
“Ya, nggak apa-apa. Tapi kalian bikin tulangku retak rasanya...” ucap pria itu sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya.
“Namaku AUVA. Krisanto Auva. Kalian siapa?”
“Aku Arelia. Dan ini temanku, Arinka.”
“Salam kenal. Kalian datang dari mana?”
“Dari wilayah yang jauh... Kami tersesat,” jawab Arelia.
“Kalau begitu, ikut saja ke tempatku. Bukan rumah sih, lebih tepatnya... sebuah akademi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Akina
Jadi terinspirasi untuk menulis sendiri.
2025-03-03
2