Dokter Fatir

Hampir satu jam Ara berada di dalam ruangan radiologi tanpa di temani Risa. Gadis kecilnya benar-benar berjuang sendirian di dalam sana. Sedangkan Risa hanya bisa menunggu di luar ruangan dengan cemas.

Dia bahkan sudah tidak berpikir lagi bagaimana saat beberapa menit yang lalu dia menghadapi omelan dari orang-orang yang memesan makanan darinya.

Tadi malam saat Risa meminta maaf karena membatalkan semua pesanan itu, mereka ada yang tidak terima. Padahal Risa sudah menjelaskan semuanya, dia juga bersedia mengganti uang muka yang mereka berikan sebesar dua kali lipat. Tapi tadi ada yang masih menghubungi Risa dan merasa tidak terima.

Risa mendongak menatap seseorang yang tiba-tiba mengulurkan kaleng minuman kepadanya.

"Terima kasih dokter..." Risa tampak membaca nama yang terletak pada jas berwarna putih itu.

"Fatir" Lanjut Risa.

"Sama-sama, Bu Risa" Balas dokter muda spesialis anak itu.

Fatir ikut duduk di samping Risa pada kursi panjang yang ada di depan ruang radiologi.

Risa yang merasa belum terlalu akrab dengan dokter itu tentu saja merasa agak canggung saat Fatir ikut duduk di sana.

"Pemeriksaan Ara akan segera selesai" Ucap Fatir membuat Risa menolah.

"Benarkah dok? Apa saya bisa langsung melihat hasilnya?"

"Tergantung dokter yang memeriksa Ara nanti. Tapi semoga saja bisa langsung keluar hasilnya"

"Tapi dokter, saya takut dengan hasil pemeriksaan Ara nantinya"

Risa tentu saja sangat berharap jika keadaan Ara akan baik-baik saja. Tapi terkadang firasat seorang Ibu tidak pernah salah.

"Tenang dulu Bu, lebih baik Bu Risa berdoa agar Ara baik-baik saja. Saya juga belum bisa mengatakan apapun sebelum ada pemeriksaan lebih lanjut. Saya takut salah menganalisa"

"Maksud dokter? Jadi dokter sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Ara?" Risa semakin meminta jawaban dari dokter Fatir.

"Buka seperti itu maksud saya Bu. Saya cuma mengingatkan saja untuk tidak menyimpulkan sesuatu dari yang belum pasti"

Risa kembali terdiam sambil memainkan kaleng minuman di tangannya.

"Apa ada pasien dokter yang seusia Ara?"

"Banyak, bahkan ada yang jauh lebih kecil dari Ara. Tapi mereka mempunyai semangat yang kuat untuk sembuh dari penyakit apapun yang di derita mereka. Waktu dalam keadaan sakit, mereka tetap terlihat menggemaskan. Seperti halnya Ara, dia gadis yang cantik dan pintar"

Risa tersenyum tipis karena mendengar pujian Fatir pada Ara.

"Dia memang anak yang pintar dokter, dia tidak pernah menyusahkan saya dan selalu mengerti saya sejak di dalam kandungan. Dia sangat berarti bagi saya!"

"Iya, saya juga melihat hal itu Bu. Tapi, maaf kalau saya lancang, dari kemarin saya tidak melihat Papanya Ara. Apa belum datang ke rumah sakit Bu?"

Risa langsung terdiam. Bukan karena bingung mau jawab apa, tapi Risa merasa tak ada kewajiban menjawab pertanyaan Fatir. Kalau untuk urusan rumah sakit, bukankah yang penting Ara susah ada walinya, yaitu dirinya. Jadi buat apa juga harus ada Papanya Ara.

Tapi diamnya Risa itu membuat Fatir mengerti, dia juga merasa bersalah apalagi melihat wajah Risa yang sendu saat ini.

"Maaf karena saya lancang Bu Risa"

"Tidak papa dokter" Risa tersenyum tipis namun mampu membuat Fatir tidak nyaman.

Tapi suasana yang mendadak canggung itu langsung tergantikan karena pintu ruang radiologi terbuka. Ara si gadis cantik itu keluar di dorong oleh seorang perawat menggunakan kursi roda.

"Ara, kamu nggak papa kan sayang? Anak Mama hebat kan?" Risa langsung menciumi wajah Ara yang masih terlihat pucat.

"Sebaiknya kita bawa Ara ke ruangannya dulu Bu, sekarang Ara juga sudah boleh makan dan minum, pasti Ara lapar!" Usul Fatir.

"Baiklah, anak Mama pasti capek juga kan? Kita ke kembali dulu ya?"

"Iya Mama, Ara haus. Leher Ara kering rasanya!" Ara mengeluh dengan memegang lehernya.

"Iya nanti minum yang banyak ya sayang?"

"Biar saya saja suster!" Fatir mengambil alih kursi roda yang baru saja ingin dorong suster tadi.

"Baik dokter. Kalau gitu saya tinggal ya?"

"Iya, biar Ara sama saya saja!"

Risa yang mendengar permintaan dokter pada perawat tadi tentu saja merasa sungkan.

"Biar saya saja dokter. Silahkan kalau mau kembali bekerja. Maaf merepotkan dokter"

"Saya tidak merasa direpotkan. Jadwal praktik saya juga masih satu jam lagi, jadi nggak masalah saya natar Ara dulu"

Risa tak mampu menolak lagi, tentu saja itu karena rasa sungkan.

"Ara mau kan di antar sama dokter?"

"Mau dokter!" Jawab Ara dengan mata berbinar di wajahnya yang pucat.

"Kalau gitu, apa mulai sekarang kita teman?" Fatir mengulurkan tangannya pada Ara.

"Teman!!" Ara menjabat tangan Fatir dengan semangat.

"Oke, kalau gitu kita jalan sekarang. Let's goooo!!" Fatir mendorong kursi roda Ara dengan sedikit cepat membuat Ara tertawa.

Suara tawa Ara itu tak ayal membuat Risa tersenyum. Akhirnya dia bisa melihat putrinya itu tertawa lagi setelah kemarin membuatnya khawatir setengah mati.

Tapi meski begitu, Risa tetap merasa belum tenang sebelum hasil pemeriksaan Ara keluar. Meski Risa berharap apapun hasilnya nanti, Ara akan baik-baik saja.

Malam hari pun tiba, Risa sedang menunggu visit dokter entah itu Fatir atau dokter penyakit dalam yang tadi memeriksa Ara sebelum masuk ke ruang radiologi.

Perasaan Risa semakin tak karuan. Jantungnya berdetak dengan cepat seolah dia akan menerima kabar yang begitu mengejutkan.

"Mama, kapan kita pulang?" Ara berbaring menyamping menatap Risa.

"Kita tunggu dokter datang dulu ya? Nanti baru tau kapan Ara akan pulang, tapi yang pasti Ara harus sehat dulu baru boleh pulang!" Risa mengusap pucuk kepala Risa yang masih terasa sedikit panas.

"Ara sudah bosan Ma. Ara mau pulang aja. Ara rindu Molla, Ara rindu Papa!"

Risa merasa dadanya kembali terhantam karena ucapan Ara.

"Maaf karena Mama lupa bawa Molla ke sini ya sayang. Biar nanti Mama Minta tolong Uwak antar Molla ke sini ya?" Risa sampai lupa kalau boneka kelinci usang itu tidak bisa lepas dari Ara sejak dulu.

"Iya Ma. Hanya Molla hadiah yang Ara punya dari Papa. Rasanya Ara dekat dengan Papa kalau ada Molla" Bibir bergetar Ara membuat hati Risa tersayat-sayat.

"Iya, Mama nanti bawa Molla ya?" Ara hanya mengangguk mendengar ucapan Mamanya.

"Selamat malam Araa..!" Fatir datang bersama dokter spesialis penyakit dalam. Dokter pria berusia paruh baya.

"Selamat malam dokter" Jawab Risa lebih dulu.

"Dokter perisa Ara dulu ya?" Dokter yang tampak berpengalaman dalam bidangnya itu mendekati Ara dengan suara lembutnya.

Untuk beberapa saat, Risa menunggu apa yang dokter itu lakukan. Hingga dokter itu mulai meminta Risa untuk keluar sebentar sementara Ara ditemani oleh Fatir di dalam sana.

"Sebelumnya, saya mohon Ibu untuk kuat mendengar apa yang ingin saya sampaikan. Dan perlu Ibu ketahui juga kalau penyakit, itu ujian dari Tuhan dan pasti Tuhan telah menyiapkan obatnya"

"Apa maksud dokter? Jadi sebenarnya anak saya kenapa dok?"

"Putri Ibu...."

Terpopuler

Comments

Andriyani Lina

Andriyani Lina

semoga aja dr Fatir jadi jodoh raisa dan papa sambung buat Ara. walupun dulu Raisa bukan istri yang baik tapi sekarang sudah berubah menjadi baik. pasti ada kesempatan kedua untuk berubah menjadi lebih baik.

2025-03-08

6

ollyooliver🍌🥒🍆

ollyooliver🍌🥒🍆

kalau arga liat kedekatan mereka nanti, pasti bukan panas lagi hatinya tapi sampai mendidih..anak sendiri gak dekat giliran sama yg lain dekatnya minta ampun😏

2025-03-08

4

Agnezz

Agnezz

wah dokter Fatir modus nih tanya2 papanya Ara. Kalo Ara gak punya papa, maulah Fatir jadi papanya. Haduh kelihatannya penyakit Ara gawat😱

2025-03-08

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!