Risa berlari memasuki IGD mengikuti Wak Husein yang menggendong Ara. Wak Husein adalah suami Wak Umi, orang yang sudah menganggap Ara seperti anaknya sendiri.
"Suster tolong anak saya Sus!" Risa terus menangis karena melihat keadaan Ara yang tidak juga membuka mata dari rumah sampai ke rumah sakit.
"Ibu tenang dulu ya, kami panggilkan dokter untuk memeriksa pasien!"
Risa terus menggenggam tangan Ara yang tergolek di atas brankar.
"Gimana ini Wak, Ara nggak bangun-bangun Wak!"
"Tenang dulu Neng, terus beroda dalam hati. Ara pasti nggak papa!" Husein sendiri sangat menyayangi Ara karena sejak kecil Ara selalu berada di rumahnya ketika Risa sedang sibuk memasak untuk jualan.
Risa menuruti apa kata Husein, dia hanya diam di sisi Ara ketika dokter mengambil tindakan pada Ara. Hatinya juga tidak pernah berhenti untuk berdoa demi putrinya itu.
Hanya Ara yang ia punya, hanya Ara harta satu-satunya yang ia punya. Di saat seperti itu, tentu saja Risa begitu ketakutan. Berbagai pikiran negatif terus menghantui pikiran Risa.
"Gimana dokter?" Tanya Risa setelah Ara selesai di periksa.
"Keadaan putri Ibu baik-baik saja. Dia sampai terus memejamkan matanya karena demamnya yang terlalu tinggi. Tapi untung saja tidak sampai kejang dan Ibu cepat membawanya ke sini sehingga langsung mendapatkan pertolongan"
"Syukurlah, Terima kasih dokter" Risa merasa sedikit lega.
"Sama-sama Bu, saya permisi"
"Wak" Risa menatap Husein yang sejak tadi masih berada di sana.
"Syukurlah kalau Ara tidak papa. Sekarang Wak pulang dulu, biar Wak Umi siapkan baju untuk Ara, nanti kami antar ke sini"
"Iya Wak, terima kasih sudah tolong saya bawa Ara ke rumah sakit"
"Sama-sama Neng, jangan sungkan. Wak sudah anggap kamu seperti adik sendiri!"
Mata Risa berkaca-kaca karena ada orang yang mau menganggap dirinya keluarga meski mereka bukan siapa-siapa.
"Ya udah Wak pergi dulu!"
"Iya Wak hati-hati!"
Setelah kepergian Wak husein Risa segera menghampiri Ara yang saat ini sudah membuka matanya meski masih begitu lemas.
"Ara?" Risa mengusap kepala Ara dengan lembut.
"Papa..." Lirih Ara membuat Risa membuat hatinya semakin nelangsa.
"Sayang, Mama di sini!"
Apa yang Ara ucapkan mengingatkan Risa pada saat Ara pertama kali bisa bicara. Setiap hari Risa mengajarkan Ara untuk memanggilnya Mama. Tapi kata yang pertama keluar dari bibir mungilnya waktu itu adalah "Papa"
Tentu saja tangis Risa pecah saat itu. Mungkin itu hanya celotehan seorang bayi yang baru bisa mengeluarkan sepatah kata untuk pertama kalinya, tapi kenapa harus Arga yang di sebut oleh Ara, bukan dirinya
"Papa.. Ara mau Papa Ma..." Tatapan layu dari Ara membuat Risa tak kuasa menahan tangisnya.
"Ara, Papa kan lagi kerja di..."
"Di tempat yang jauh kan Ma?" Potong Ara membuat Risa bungkam.
Benar apa katanya jika Ara pasti sudah hafal dengan alasan yang Risa berikan.
"Tapi kenapa Papa nggak pernah telepon Ara? Apa sebenarnya Mama bohong sama Ara? Jangan-jangan benar apa kata orang-orang kalau Ara ini nggak punya Papa, iya kan Ma?"
Harus bagaimana lagi sekarang? Apa Risa harus menutupi kebohongan yang selama ini ia buat dengan kebohongan lainnya?
"Permisi Bu, kami pindahkan Ara ke ruang rawat dulu ya?"
"Silahkan suster" Risa buru-buru mengusap air matanya. Kali ini dia selamat dari pertanyaan Ara yang membuat lehernya terasa seperti tercekik itu.
Risa juga beruntung karena Ara kembali terlelap saat brankar miliknya di dorong dari IGD menuju ruang rawat inap kelas dua di mana ada beberapa bad di sana yang di batasi dengan selembar tirai.
"Terima kasih suster"
"Sama-sama Bu, kami permisi"
Kini hanya ada Risa di dalam bilik itu bersama Ara setelah dua orang perawat tadi pergi dari sana. Hati Risa hancur melihat Ara sampai sakit seperti itu hanya karena merindukan Papanya.
Ternyata kerinduan yang Ara pendam itu bukan hanya ucapan di mulut saja. Tapi Ara benar-benar menginginkan kehadiran Papanya dari dalam lubuk hatinya.
"Maafkan Mama karena tidak bisa bawa Papa ke sini sayang. Dulu, kamu pertama kali mendengar suara Papa justru meminta Mama untuk pergi, dan itu juga menjadi terakhir kali kamu mendengar suara Papa"
"*Hubungan kita sudah selesai Risa. Tolong jangan seperti ini lagi, itu membuat istriku tidak nyaman*!"
Kalimat itu masih sangat jelas di kepala Risa. Bahkan Risa ingat kata demi kata yang Arga katakan. Pasalnya itu adalah kalimat paling menyakitkan yang pernah ia dengar dari Arga.
"Kalau Mas Arga tau, apa dia mau mengakui Ara sebagai anaknya?" Itu juga menjadi salah satu pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di kepala Risa.
Dulu saat mereka bercerai, Risa sendiri belum tau kalau dirinya sedang hamil. Lalu, kalau tiba-tiba Risa datang ke hadapan Arga dan mengatakan tentang keberadaan Ara, bukan hanya Arga, tapi siapapun pasti akan meragukan Ara sebagai anak kandungnya.
Tapi Risa tidak akan melakukan itu, sampai kapan dia tidak akan membawa Ara ke hadapan Arga. Entah kebohongan apa lagi yang nanti akan ia katakan pada Ara tapi dia tidak ada niatan untuk membawa Ara pada Ayah biologisnya.
Kalaupun Arga percaya, Risa tidak bisa menghadapi Arga jika Arga menuntut hak asuh Ara kepadanya.
Lagipula sekarang Arga juga sudah bahagia bersama Fatma. Risa tidak mau di anggap sebagai perusak kebahagiaan orang. Belum tentu juga Fatma bisa menerima keberadaan Ara. Jadi lebih baik Risa memikirkan cara lain saja daripada harus kembali bertemu dengan masa lalunya.
Hidupnya sudah tenang bersama Ara, dia tidak mau kebahagiaannya itu terusik gara-gara segelintir masa lalu.
Karena terlalu lama melamun, Risa mulai tertidur dengan menelungkupkan kepalanya di atas tangan Ara.
"Emmhh" Ars melenguh hingga membuat Risa tersadar dari lamunannya.
"Ara, udah bangun sayang?" Risa menarik kursinya semakin mendekat.
"Mama, kepala Ara pusing"
"Itu karena Ara sedang sakit. Ara dari tadi juga belum makan dan minum obat. Sekarang ayo bangun dulu, Mama suapin habis itu minum obat biar nggak pusing ya?" Ara melihat makanan dari rumah sakit sudah ada di nakas samping ranjang Ara. Mungkin saat dia tertidur tadi ada yang meletakkannya di sana.
Ara mengangguk lemah mematuhi ucapan Mamanya. Risa jiga lega karena saat ini Ara sudah tidak mengingat tentang Papanya lagi.
Risa mengatur bad milik Ara agar putrinya bisa duduk setengah bersandar.
"Nah sekarang Mama suapin ya?"
Ara mengangguk pelan hingga cairan berwarna merah mulai turun dari hidung Ara.
Tes..
Tes..
"Ara!!!" Risa kembali panik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Ais
klo aku diposisi risa juga pst bingung antara mau jujur atau terus bohong sm ara mau gmn lagi serba salah karena arga menceraikan risa juga ngak berpikir jauh apakah risa bakalan hamil anaknya atau ngak karena pikirannya risa slalu pakai kontrasepsi entah pil mungkin tp khan ya masa iya arga ngak berpikir bs aja alat kontrasepsi itu jebol dan akhirnya menghasilkan bayi dirahim risa atas kuasa Allah ini yg aku ngak sukai dr arga ngambil keputusan sepihak seolah olah apa yg dia ambil itulah keputusan terbaiknya intinya arga ini gegabah dan ttp aku curiga setelah cerai lngs nikah sm fatma aneh banget ngak seh kasihan kamu ara akibat keegoisan ayah kamu sehingga kamu ngak bs mengetahui asal usul siapa ayah kamu
2025-03-07
5
Bunda SalVa
bicarain dulu aja Ris, neski berat tapi mungkin bisa mengurangi sedikit beban yang kau pikul karena harus membohongi Ara selama ini
2025-03-07
1
ollyooliver🍌🥒🍆
bilang saja sdh mati, biar arga sakit hati nanti saat tau keberadaan ara. sama seperti dia dengan mudah melupakanmi, kau juga harus begitu biar dia merasa bahwa kau memang tdk menghargainya...
2025-03-07
0