Raungan keras menggema dari dalam hutan. Dari balik bayangan pepohonan, belasan beast tingkat rendah muncul, mata mereka bersinar merah. Harimau Cakar Hitam, Ular Darah, dan Serigala Merah—mereka semua memancarkan aura haus darah.
Feng Xian menggertakkan giginya. “Sial… Kita benar-benar menarik perhatian mereka.”
Liang Fei tidak menjawab. Dengan tenang, ia mengangkat pedangnya dan dalam sekejap—
BOOM!
Energi pedangnya meledak, menciptakan gelombang kejut yang langsung memenggal beberapa beast di garis depan. Tubuh mereka terbelah tanpa perlawanan, seolah mereka hanyalah ilusi belaka.
Namun, beberapa beast lainnya masih menyerang. Liang Fei tetap tak bergerak, matanya justru beralih ke Feng Xian. “Sisanya milikmu.”
Feng Xian menoleh cepat, ekspresinya tidak percaya. “Apa? Aku harus melawan mereka sendiri?”
Liang Fei tidak menjawab dan hanya melipat tangan, menonton dari jauh.
Feng Xian mendengus kesal. “Sialan.” Namun, ia tidak punya pilihan. Dengan mengayunkan pedangnya, ia melesat ke depan dan mulai bertarung.
Pertempuran berlangsung sengit. Feng Xian cukup kuat untuk melawan beast tingkat 7, tapi berbeda dari Liang Fei yang bisa membantai mereka dengan mudah, ia harus berjuang keras. Setiap serangan yang ia lancarkan dihadang oleh cakaran atau ekor lawan. Luka-luka kecil mulai bermunculan di tubuhnya, darah menetes di bajunya.
Sementara itu, Liang Fei tetap diam di tempatnya. Tidak ada niat untuk membantunya, meskipun Feng Xian beberapa kali hampir terkena serangan fatal.
Akhirnya, setelah beberapa menit penuh tekanan, Feng Xian berhasil mengalahkan beast terakhirnya dengan menusukkan pedangnya tepat ke kepala Crimson Wolf. Tubuh beast itu gemetar sebelum akhirnya tumbang.
Feng Xian berdiri dengan napas terengah-engah, lalu menoleh ke Liang Fei dengan tatapan penuh kekesalan. “Kau benar-benar tidak mau membantuku, ya?”
Liang Fei hanya menatapnya sekilas sebelum berjalan melewatinya. “Kau masih hidup, kan?” jawabnya santai.
Feng Xian mendengus. “Dasar menyebalkan…”
Meskipun kesal, ia tetap mengikuti langkah Liang Fei. Setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di puncak Pegunungan Emas.
Namun, pemandangan yang mereka lihat membuat Feng Xian terdiam.
Tidak ada cahaya emas seperti yang ia ingat. Hanya tanah hitam, pepohonan mati, dan langit yang dipenuhi kabut gelap. Suara angin yang berdesir membawa bisikan-bisikan aneh, seolah tempat ini dihuni oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Aura iblis telah menodai tempat ini…” Feng Xian bergumam, suaranya penuh kesedihan.
Kabut kelam menyelimuti Pegunungan Emas, membuat udara terasa berat dan penuh tekanan. Setiap langkah Liang Fei dan Feng Xian bergema di tanah yang kini tandus, kontras dengan keindahan yang dulunya dimiliki tempat ini.
Pohon-pohon yang seharusnya rimbun kini tak lebih dari batang kering yang tampak seperti tangan kurus mencakar langit.
Setelah beberapa saat menembus kabut, mereka akhirnya sampai di sebuah reruntuhan. Batu-batu besar berserakan, dinding-dinding yang sudah retak dipenuhi lumut hitam, seolah tempat ini telah ditinggalkan selama berabad-abad.
Namun, meski dalam keadaan hancur, ada sesuatu yang masih tersisa dari reruntuhan ini—sebuah kemegahan yang seolah menolak dilenyapkan oleh waktu.
Di tengah reruntuhan, sebuah altar besar berdiri tegak, meskipun telah dilapisi debu dan puing. Di belakangnya, terdapat sebuah lukisan besar yang masih bisa dikenali meski warnanya mulai memudar.
Feng Xian menatapnya sejenak sebelum menghela napas. "Ini… adalah Kuil Dewa Naga."
Liang Fei menoleh padanya. "Kuil Dewa Naga?"
Feng Xian mengangguk. "Dulu, tempat ini adalah pusat peribadatan bagi mereka yang menghormati Dewa Naga. Para kultivator dan rakyat biasa datang ke sini untuk berdoa, berharap diberkahi kekuatan dan perlindungan. Tapi setelah iblis menyerang, tempat ini jatuh dan dilupakan."
Feng Xian menatap Liang Fei yang masih diam, ia tidak ingin mengganggunya dan berkata, "Aku akan berkeliling sebentar untuk mencari jejak teman-temanku."
Liang Fei tidak menjawab, hanya menatap sekelilingnya. Meski telah hancur, reruntuhan ini masih memancarkan sesuatu yang berbeda—sebuah keagungan yang tertinggal dalam setiap bagiannya.
Patung-patung naga berjejer di sepanjang sisi altar, meskipun beberapa di antaranya telah kehilangan kepala atau patah sayapnya. Namun, meskipun rusak, ekspresi mereka tetap terlihat gagah dan penuh wibawa.
Di pilar-pilar reruntuhan, potongan-potongan lukisan kuno masih tersisa. Beberapa menggambarkan manusia yang sujud di hadapan naga emas, yang lain menunjukkan seorang pria berambut putih panjang berdiri di antara kawanan naga yang mengitari dirinya dengan penuh hormat.
Liang Fei berjalan mendekati altar, tatapannya tertuju pada lukisan utama yang ada di belakangnya. Lukisan itu menggambarkan sosok pria berambut putih panjang yang mengenakan pakaian tempur elegan dan agung. Dia mengangkat pedangnya tinggi ke langit yang tampak terbelah, sementara naga-naga di sekelilingnya tampak berlutut, seolah mengakui keagungannya.
Liang Fei menatap lukisan itu lama, perasaan aneh muncul dalam dirinya. Bahkan hanya dari gambarnya saja, ia bisa merasakan keagungan sosok itu—sebuah kekuatan yang melampaui manusia biasa.
Dewa Naga, sosok yang mengubah takdir Liang Fei dari yang awalnya orang buta hingga menjadi yang sekarang ini.
Liang Fei tetap diam. Ia memandangi pria dalam lukisan itu sekali lagi sebelum mengatur kedua telapak tangannya. Dengan tenang, ia menutup matanya dan berdoa dalam hati.
'Dewa Naga... jika kau benar-benar ada, tuntunlah aku dalam jalanku. Jika takdir ini memang harus kujalani, maka biarkan aku menghadapi semuanya tanpa ragu.'
Sejenak, keheningan menyelimuti kuil. Angin berhembus pelan, membawa serpihan debu yang berputar di sekitar Liang Fei.
Kemudian, sesuatu terjadi.
Lukisan di hadapannya, yang semula tampak biasa, tiba-tiba bersinar redup. Seolah merespons doanya, sekelebat cahaya tipis melintas di altar, nyaris tak terlihat.
Angin di dalam reruntuhan berhembus pelan, membawa serpihan debu yang berputar di sekitar Liang Fei. Keheningan terasa menekan, seolah tempat ini menyembunyikan sesuatu yang tak kasat mata.
Lalu, suara lembut dan ringan memecah keheningan.
"Sudah lama sejak ada seseorang yang berdoa kepada Dewa Naga…"
Liang Fei segera menoleh. Langkah kaki ringan terdengar mendekat, dan dari dalam kabut, muncul sesosok wanita yang tak terlukiskan keindahannya.
Rambut panjangnya berwarna putih keperakan, tergerai lembut hingga pinggang, berkilauan seperti cahaya bulan di malam yang tenang. Pupil matanya berwarna emas, bersinar lembut namun penuh wibawa, seolah menyimpan kebijaksanaan zaman yang tak terhitung.
Ia mengenakan pakaian serba putih polos tanpa perhiasan atau hiasan mewah, namun tetap terlihat anggun dan memancarkan aura yang suci. Setiap langkahnya terasa ringan, seolah ia tidak menginjak tanah melainkan melayang di atasnya.
Liang Fei tetap diam, matanya menatap penuh kewaspadaan. Wanita itu menghentikan langkahnya beberapa meter di depannya, tersenyum samar sebelum membuka suara.
"Aku tidak menyangka akan bertemu dengan seorang teman sebangsaku di tempat seperti ini."
Kening Liang Fei sedikit berkerut. "Teman sebangsa?"
Wanita itu menatapnya dengan ekspresi tenang. "Ya. Kau juga seorang Lunaris, bukan?"
Liang Fei semakin mengernyit.
Wanita itu, yang awalnya tampak tenang, kini justru terlihat bingung. "Jangan bilang… kau bahkan tidak tahu apa itu Lunaris?"
Liang Fei tetap menjaga ekspresinya tetap datar. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
arumazam
Liang Fei, msh blm tau siapa dirinya
2025-03-06
1
Nanik S
Apakah Liang Fei keturunan mereka
2025-03-24
0