Matahari baru saja naik, sinarnya yang hangat perlahan mengusir sisa-sisa kabut pagi di ibu kota Feng. Kota itu sudah ramai—pedagang sibuk menjajakan dagangan, anak-anak berlarian di antara kerumunan, dan para penjaga patroli dengan kewaspadaan tinggi.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Feng Xian berjalan dengan tatapan penasaran. Matanya mengamati bangunan, patung, dan teknologi yang tampak begitu kuno di matanya. Namun bagi penduduk setempat, semua itu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di sampingnya, Lian Ruolan melangkah dengan tangan bersedekap. Ekspresinya tetap dingin, tetapi dalam hati, ia sudah berkali-kali menghela napas melihat betapa antusiasnya pria di sebelahnya.
Feng Xian tiba-tiba berhenti di depan sebuah kedai teh sederhana. Aroma lembut dari teko tanah liat yang mengepulkan uap hangat membuatnya terpaku.
"Teh ini… bagaimana cara pembuatannya?" tanyanya pada pemilik kedai, seorang pria tua dengan janggut putih.
Orang tua itu terkekeh. "Hanya teh biasa, Tuan. Daun teh dari perbukitan sekitar sini."
Feng Xian mengangguk kecil, seolah baru saja menemukan sesuatu yang berharga. "Sederhana… tapi aromanya menenangkan."
Lian Ruolan meliriknya sekilas. "Jangan bilang kau belum pernah mencium aroma teh sebelumnya."
Feng Xian menoleh, bibirnya tertarik membentuk senyum samar. "Di tempatku, teh adalah barang langka. Hanya segelintir orang yang bisa menikmatinya. Tapi di sini…" Tatapannya kembali jatuh pada kedai kecil itu. "Siapa saja bisa duduk santai dan menikmati secangkir teh hangat tanpa rasa takut."
Pemilik kedai terkekeh lagi. "Mau secangkir, Tuan?"
Feng Xian tampak ragu, lalu menggeleng. "Sayangnya, aku tidak punya uang."
Pria tua itu terkejut, kemudian melirik Lian Ruolan, seolah bertanya apakah mereka benar-benar tidak mampu membayar teh. Wanita berambut merah itu mendesah pelan sebelum meletakkan beberapa koin di meja.
"Beri dia teh," katanya singkat.
Feng Xian menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. "Ternyata kau masih punya hati."
Lian Ruolan mendengus. "Jangan salah paham. Aku hanya tidak mau mendengar ocehanmu sepanjang jalan karena menyesal tidak mencicipinya."
Feng Xian tertawa kecil, lalu mengambil cangkir yang diberikan. Ia meniup uapnya sebelum menyesap sedikit. Rasa pahit yang lembut menyebar di lidahnya, meninggalkan jejak manis di akhir.
"Begini rasanya… kedamaian," gumamnya.
Lian Ruolan meliriknya. "Apa maksudmu?"
Feng Xian menatap sekeliling—warga yang berbincang santai, anak-anak yang tertawa lepas, pedagang yang sibuk tanpa rasa khawatir.
"Di tempatku, tidak ada momen seperti ini. Bahkan sebelum iblis datang, hidup kami selalu dipenuhi ketegangan. Kami adalah pusat ilmu pengetahuan, tapi juga pusat peperangan. Semua orang ingin menguasai teknologi kami. Kami hidup dengan waspada setiap hari, takut kapan musuh akan menyerang."
Lian Ruolan tetap diam, membiarkannya berbicara.
"Lalu iblis datang… dan semuanya berakhir. Kedamaian yang selama ini kami perjuangkan, kebanggaan kami sebagai bangsa paling maju… hilang begitu saja."
Ia menghela napas panjang sebelum kembali menatap Lian Ruolan. "Aku iri pada penduduk di sini. Mereka bisa hidup tanpa ketakutan. Bisa bercanda, menikmati teh, berjalan-jalan tanpa harus bertanya-tanya apakah besok mereka masih hidup atau tidak."
Lian Ruolan akhirnya membuka suara. "Kedamaian ini tidak datang begitu saja. Kaisar telah berjuang mati-matian untuk menciptakannya."
Feng Xian tersenyum tipis. "Aku tahu. Itulah sebabnya aku semakin kagum. Di saat dunia lain hancur oleh iblis, kalian tetap bertahan dan bahkan berkembang."
Lian Ruolan menatapnya tajam. "Dan itu sebabnya kau ingin mencari perlindungan di sini?"
Feng Xian menggeleng. "Bukan hanya perlindungan. Aku ingin bangsaku memiliki kesempatan kedua. Aku ingin mereka merasakan kehidupan seperti ini… meskipun hanya sebentar."
Lian Ruolan mengamati wajahnya, lalu mendesah pelan. "Kau terdengar seperti orang tua yang mengenang masa lalu."
Feng Xian tertawa ringan. "Mungkin memang begitu. Aku berasal dari peradaban yang lebih maju, tapi justru di sini aku merasa seperti orang kuno."
Lian Ruolan menggeleng kecil. "Orang kuno atau bukan, tugasmu tetap sama: mengikuti perintah. Dan tugasku adalah mengawasimu."
Feng Xian mengangkat bahu. "Baiklah, Nona Pengawas. Terima kasih sudah mentraktir teh."
Lian Ruolan hanya mendecak sebelum berjalan lebih dulu. Feng Xian menatap punggungnya, masih dengan senyum samar di wajahnya.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan secuil kedamaian.
...
Saat mereka kembali ke pusat kota, suara langkah santai terdengar mendekat. Feng Xian menoleh dan melihat seorang pria berjalan dengan tangan di belakang kepala, ekspresinya santai seolah dunia ini tak punya masalah.
Zhang Tao.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Lian Ruolan bertanya dengan nada datarnya yang khas.
Zhang Tao menyeringai. "Oh, aku hanya menyampaikan pesan dari Yang Mulia."
Feng Xian menegakkan tubuhnya, matanya berbinar penuh harapan. "Apa yang dikatakan Kaisar?"
Zhang Tao mengangkat bahu. "Yang Mulia sudah mengambil keputusan. Dia setuju untuk membantu teman-temanmu di Benua Lingxu."
Feng Xian terdiam sesaat sebelum akhirnya menghela napas lega. Tatapan cemas yang sejak tadi menghantuinya perlahan berubah menjadi rasa syukur.
"Terima kasih… terima kasih banyak…"
Zhang Tao menatapnya dengan alis terangkat. "Tunggu dulu, aku belum selesai."
Feng Xian kembali menoleh dengan bingung. "Apa lagi?"
Ekspresi Zhang Tao berubah lebih serius. "Yang Mulia sendiri yang akan datang ke Benua Lingxu. Bersamamu."
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.
"Apa?!" Lian Ruolan dan Feng Xian berseru hampir bersamaan.
Lian Ruolan langsung berdiri tegak, matanya menatap tajam Zhang Tao. "Dia tidak bisa melakukan hal gegabah seperti itu! Dia seorang pemimpin! Bagaimana jika terjadi sesuatu?!"
Zhang Tao hanya bisa menghela napas panjang. "Ratu sudah mengizinkan. Jadi, suka atau tidak, kita harus menerima keputusan ini."
Lian Ruolan mengepalkan tangannya, tampak jelas ia ingin membantah. Tapi jika Seo Fei sendiri sudah memberikan izin, tidak ada yang bisa mereka lakukan.
Feng Xian menatap Zhang Tao dengan ekspresi rumit. "Kaisar benar-benar akan datang sendiri?"
Zhang Tao mengangguk santai. "Iya, dan kau akan berangkat setelah semua persiapan selesai."
Feng Xian mengepalkan tangan, menatap langit. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada harapan.
'Benua Lingxu… tunggulah. Aku akan kembali.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Indah Hidayat
kenapa si mc tdk pakai teleportasi ke benua lingzu ? mestinya dijelaskan thor.
2025-03-12
1
Nanik S
Apakah akan bertemu Zhuuan
2025-03-24
0
Nggenk Topan
lanjut thorrrr
2025-03-08
0