Seorang anak laki-laki sedang meringkuk di tempat tidur penjara.
"Ibu ... Ibu ...."
# Flashback
Sekelompok anak mengerumuni wanita yang tersungkur di sawah.
Dia menginjak dada wanita itu.
"Hei, wanita. Kami tidak menyentuh anakmu sama sekali. Dia terpeleset dan terjatuh saat ingin bermain bersama kami."
"Kau jangan asal menuduh orang lain sebelum bertanya. Cari tau dulu, baru tentukan siapa yang salah. Satu hal lagi."
Dia mendekatkan wajahnya ke kepala wanita itu. Tatapannya sangat dingin dan penuh amarah.
"Kau jangan menghina orang tua kami, ketika mereka tidak ada campur tangan langsung. Itu penghinaan paling tinggi bagi kami."
Dia kembali berdiri tegap. Dia mengangkat kakinya dan menghentakkannya ke dada wanita itu dengan keras. Kemudian dia menggoyangkan kakinya sambil tersenyum.
"Lihat! Ini sangat kenyal dan empuk!"
"Hei! Lihat itu."
Salah seorang anak menunjuk ke orangan sawah.
"Gas. Kita telanjangi dia lalu kita pajang," ucapnya.
...****************...
Dia terbangun dari pingsannya. Dia memegang kepalanya karena sakit. Luka lebam terlihat di keningnya.
"Ibu? Ibuuu!"
Dia memandang ke sekeliling mencari ibunya. Dia melihat seorang pria di kejauhan yang sedang menyeret ibunya.
"IBUUU!"
Dia berteriak dan bangkit dari duduknya. Jalannya pincang dan dia memegangi kepalanya. Dia berusaha mengejar mereka. Dia berjalan di antara may** dan tidak memperdulikannya. Dia berusaha dengan sekuat tenaga untuk berjalan.
Dia melihat banyak wanita yang di salib dan merintih. Dia menelusuri salib-salib itu sampai ke ujung. Dia melihat ibunya sudah di salib dan di telanjangi. Pria di depannya terlihat akan menya*** payu**** ibunya.
"IBUUU!" Teriakannya tidak terdengar sampai kesana.
Dia melihat sebuah tangan yang menggenggam golok dan mengambilnya. Dia berusaha mempercepat langkahnya.
Pria itu berbalik dan melihatnya.
"Dia menatapnya dengan geram. Dia melangkah dan mengayunkan goloknya, tapi pria itu mampu menumbangkannya dengan datu tendangan."
Pria itu berbalik dan ingin lanjut menya*** payu****.
Anak itu sangat marah dan menggerang. Tiba-tiba, kukunya berubah menjadi panjang. Taringnya juga memanjang dan matanya berubah menjadi seperti kucing.
Ekor muncul di belakangnya. Ukuran tubuhnya mengecil dan berubah menjadi Macan Akar. Di langsung menerkam ke arah leher pria itu. Dia menggigit leher pria itu dan darah mengalir.
Pria itu mencoba melepaskannya dan berhasil. Tapi pria itu melihat saluran tenggorokan di mulutnya. Dia langsung timbang seketika.
Dia kemudian mencabik-cabik tubuh pria itu sampai semua organ dalamnya keluar.
# Berakhir
"Ibu ... 'hiks' 'hiks' ... Ibu."
Seorang pegawai laki-laki dari Ormas datang menghampiri penjaranya.
"Keputusan pengadilan sudah di tentukan. Kamu akan di penjara sampai mati, tidak ada penebusan. Itu adalah hukum tetap bagi para siluman. Karena kau bukan pelaku pembantaian dan kau masih anak-anak, kau tidak di hukum penggal kepala di depan publik," jelas Pegawai itu.
"Kau masih akan mendapatkan makanan dua kali sehari, dan jangan berharap makanan enak," tambahnya.
"Kami masih memeriksa ibumu dan ibu-ibu lain. Melihat mereka bisa di sakiti, pasti mereka pernah melakukan kejahatan dan belum melakukan penebusan, sehingga ruh mereka ternodai dan Pelindung Takdir tidak bisa melindunginya."
"Kami akan mengintrogasi mereka dan akan meminta mereka melakukan penebusan, agar mereka aman untuk kedepannya. Kalau mereka juga seorang siluman, mereka akan di hukum penggal kepala di depan publik."
"Jangan sentuh Ibuku." Anak itu sangat marah. Matanya kembali seperti Macan Akar dan taringnya panjang.
"Itu adalah hukum yang sudah berlaku di dunia ini. Kau tidak bisa menentangnya. Kecuali kau menjadi sangat kuat dan mematahkan hukum itu."
"Ibumu bisa selamat kalau dia seorang siluman, dengan cara menjadi budak seseorang sampai mati. Itu jalan satu-satunya kalau ibumu ingin hidup. Kau juga bisa keluar dari penjara bila seseorang menjadikanmu budak."
"Itu saja yang bisa aku sampaikan. Berdoalah agar ibumu bukan seorang siluman. Sampai jumpa."
Pegawai itu melangkah pergi.
Anak itu kembali meringkuk dan menangis.
...****************...
NusaNTara mengantar kedua pekerjanya kerumah mereka masing-masing. Mereka terpukau dengan desain rumah di sini, yang semuanya terbentuk dari bambu.
"Apakah rumah-rumah di sini semuanya seperti ini? Sangat kreatif," ucap Tuan Muna.
"Ya. Semua seperti ini," jawab Tara.
"Itu Mbah Mul. Dia kepala kampung ini."
Seorang kakek sedang menunggu di depan rumah.
Tara memberhentikan keretanya di depan rumah yang ada Mbah Mul.
...****************...
"Mbah, ini mereka yang akan pindah ke sini," ucap Tara.
"Suruh mereka masuk untuk melihat-lihat isi rumah," pinta Mbah Mul.
Mereka segera masuk kedalam rumah. Mereka terpesona dengan model rumahnya. Semuanya terbentuk dari bambu.
"Pakah ini di buat dalam waktu yang lama?" tanya Tuan Beto penasaran. Dia berpikir tidak mungkin rumah ini di buat dalam waktu singkat.
"Rumah di sini di buat dalam waktu seminggu," ungkap Mbah Mul.
"Apa? Seminggu?" Mereka tidak percaya dengan pernyataan Mbah Mul.
"Aku punya tunas yang bisa tumbuh tinggi dalam waktu seminggu," ungkap Mbah Mul.
"Ooo, pantas saja."
"Tapi untuk membentuknya perlu ketelitian," ucap Mbah Mul.
"Pasti. Lihat detail interiornya."
"Rumah ini untuk Tuan Beto karena keluarga Anda beranggotakan empat orang. Kalau ingin melakukan perubahan pada rumah atau menambah ruangan, beritahu saya. Akan saya penuhi," ucap Mbah Mul.
"Maaf Mbah Mul. Sudah ngerepotin Anda," ucap Tuan Beto.
"Tidak masalah," sahut Mbah Mul.
...****************...
"Itu rumahku. Dan di belakang kandang ayamnya. Aku sengaja meminta Mbah Mul agar kalian berada di dekat rumahku, supaya kalian mudah pergi bekerja," jelas Tara.
Tara mengantar Tuan Muna ke rumahnya yang berada di samping rumah Tara.
"Kalian istirahat dulu, karena sudah sore. Besok aku akan mengajak kalian berkeliling."
"Baiklah."
...****************...
"Tara, apa kau yakin mengajak mereka tinggal di sini?" tanya Bu Windi, sedikit takut kalau tetangga mereka tidak akan menerima mereka.
"Tenang saja, Bu. Aku sudah mencari tau tentang mereka. Aku yakin mereka akan menjadi teman baik bagi Ibu," jelas Tara, mencoba menghilangkan ketakutan Ibunya.
Kedua ibu NusaNTara memiliki trauma terhadap kehadiran orang lain. Mereka sudah sangat takut kalau orang lain akan mencelakai mereka atau menjauhi mereka.
Tara memeluk ibunya untuk menenangkannya.
...****************...
Tara mengajak keliling kedua pekerjanya.
"Bentuk kampung ini seperti kotak yang dibelah tengah. Rumah kita berada di bagian Barat Daya di jalan Barat. Rumah Nusa di perumahan jalan tengah. Rumah mbah Mul di dekat pintu masuk di jalan tengah." Mereka berjalan di jalan Barat menuju ke jalan Utara.
"Rumah-rumah di sini masih kosong, hanya lima keluarga yang pernah menempati kampung ini," jelas Tara.
"Kenapa begitu? Padahal kampung ini bagus," ucap Tuan Beto.
"Ada beberapa orang yang ingin membeli rumah di sini. Tapi tujuan mereka membeli rumah adalah untuk di ambil bambu lalu menjualnya. Itu menyalahi aturan kampung ini."
"Bukankah mereka sudah menjadi pemilik sah? Kenapa tidak boleh menjualnya?" tanya Tuan Muna merasa aturan itu sedikit aneh.
"Kemarin mbah Mul berkata; bambu bisa tumbuh selama satu Minggu. Tapi coba pikir, apakah membentuk rumah butuh waktu seminggu juga?"
"Iya. Walaupun bambu bisa tumbuh selama satu Minggu, setelah melihat detail dari rumah kami, itu pasti butuh waktu lama," ucap Tuan Muna.
"Butuh waktu satu tahun untuk membuat satu rumah. Kampung ini di bangun balam waktu lima puluh tahun lebih. Kami kesini ketika mbah Mul masih mengerjakan perumahan jalan timur."
"Coba kalian pikir, seorang pecinta bonsai, yang sudah membuat bonsainya selama lima puluh tahun, lalu bonsai itu dibeli dan di rubah."
"Walau itu boleh, tapi mbah Mul merasa berat hati untuk merelakannya."
Tuan Beto dan Tuan Muna mengangguk paham.
Nusa lewat di samping mereka. Dia sedang lari pagi.
"Yo. Pagi," sapa Nusa.
"Pagi," balas mereka.
"Aku juga ingin meminta kalian mengajari Nusa silat. Aku tidak bisa selalu mengajarinya karena sibuk. Bisa, kan?" pinta Tara.
"Tenang saja. Kami juga tidak ingin kemampuan kami memudar." Keduanya menerima permintaan Tara.
Tara senang mendengarnya.
...****************...
Bu Windi bersiap ingin pergi kerumah Nusa dengan membawa keranjang telur. Dua orang tetangganya datang membawa kue.
"Selamat pagi, Bu Windi. Mau pergi kah?" tanya Bu Sari, istri tuan Muna.
"Selamat pagi. Iya, saya mau pergi kerumah kakak," jawab Bu Windi.
"Boleh kami ikut?" tanya Bu Nurma, istri tuan Beto.
Bu Windi sempat ragu untuk mengajak mereka, tapi setelah melihat keranjang kue, akhirnya dia mengajak mereka. Bu Windi tau kakaknya suka makanan, jadi dia mengajak mereka karena membawa pemanis.
Bu Windi mengambil kereta Tara dan membawa keduanya ke rumah Nusa.
Mereka sampai di rumah Nusa.
"Kakak! Kami bawa telur!"
"Hmm." Ibu Nusa sepertinya sudah malas menanggapi kelakuan adiknya.
"Kenapa kamu bawa kereta?" tanya Bu Winda.
"Aku bawa tamu," ucap Bu Windi sedikit ragu.
"Hallo," sapa keduanya.
Wajah Bu Winda sedikit masam melihat keduanya.
"Maaf kakak," ucap Bu Windi sedikit meyesal.
"Sudahlah," jawab Bu Winda memaafkan tindakan adiknya.
"Apa kamu kakaknya Bu Windi? Kami membawakan kue untukmu." Mereka berdua mendekat dan mengulurkan keranjang kue.
Ekspresi Bu Winda sedikit melunak ketika melihat kue.
"Eh?" Bu Sari tersandung dan keranjang kue nya terhempas ke arah Bu Winda.
"Ah," respon Bu Winda.
Bu Winda reflek menggunakan kekuatannya untuk menahan keranjang kue ketika hampir menyentuh tanah.
Bu Sari dan Bu Nurma terkejut melihat pemandangan itu. Mereka melihat keranjang kue itu melayang.
"Bu Winda ... kamu ... punya kekuatan?" ucap Bu Nurma terkejut.
Bu Winda menarik keranjang kue itu dan memegangnya di depan pahanya. Dia tertunduk seperti menyesali perbuatannya. Wajahnya terlihat ketakutan.
Bu Windi juga kebingungan. Dia tidak tau harus berkata apa.
Bu Sari menghampiri Bu Winda. Dia meraih tengkuk Bu Winda dan meletakkan wajah Bu Winda ke dadanya.
Bu Winda dan Bu Windi terkejut dengan tindakan yang di lakukan Bu Sari.
"Pasti kamu menderita selama ini." Bu Sari memeluk Bu Winda dengan penuh kasih sayang. Dia paham dengan keadaan dan perasaan Bu Winda selama ini.
Bu Winda merasakan kelembutan dan kehangatan dari pelukan ini. Dia merasa telah menemukan sesuatu yang telah hilang darinya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali merasakan kenyamanan ini. Dia meneteskan air mata dan menangis di pelukan Bu Sari.
Bu Windi menangis dangan keras dan Bu Nurma mengelus kepalanya dengan lembut.
Mereka akhirnya menemukan kasih sayang yang tulus, yang selama ini mereka cari.
Tara melihat pemandangan itu dan matanya berkaca-kaca.
...****************...
Mereka berempat makan kue di bawah pohon. Mereka menggunakan tikar bambu sebagai alasnya. Mereka tertawa dan bersenda gurau.
Ibu NusaNTara menunjukkan ekspresi bahagia yang selama ini hilang dari mereka. Mereka menganggap kedua tamu mereka adalah sosok ibu bagi mereka, walau mereka lebih tua.
Nusa pulang dari larinya. Dia melihat mereka berempat sedang bersantai.
"Nusa. Sini, sayang. Makan kue," ajak Ibunya.
Nusa tidak menjawab dan langsung menghampiri mereka. Nusa duduk di samping ibunya. Nusa terlihat senang melihat berbagai macam kue di depannya.
Bu Winda mengambil kue dan mengulurkannya ke Nusa.
Nusa membuka mulutnya dan melihat kue itu.
"Enak, kan?" tanya Ibunya sambil tersenyum ceria.
"Iya. Enak."
"Benarkah? Terima kasih," ucap Bu Nurma.
Nusa terkejut melihat senyum ibunya dan bibinya. Dia tidak pernah menjumpai ibunya tersenyum seperti itu bahkan ketika dirinya sembuh. Dia juga merasa suasana saat itu begitu nyaman dan menyenangkan. Semua orang tertawa dan tersenyum bahagia.
Nusa menatap kelangit dan berharap, " Pertahankan kedamaian ini, wahai engkau yang memberi kedamaian," dalam hatinya.
...****************...
Orang bertopeng hijau duduk di sebuah kursi di belakang meja. Seorang bersenjata datang padanya dan bertekuk lutut.
"Lapor. Eksperimen mengalami peningkatan. Beberapa objek percobaan mengalami peningkatan kekuatan," ucapnya tegas.
Topeng hijau hanya mengibaskan tangannya, memerintahkan orang itu untuk pergi.
Orang bersenjata menangkupkan tangannya dan berbalik pergi.
"Bagaimana, Bung? Hewan yang aku bawa sepertinya memberikan efek yang bagus." Seorang pria berambut gondrong berkata dengan nada sombong. Dia adalah Genderuwo.
"Itu urusanmu. Aku mendapatkan target yang punya potensi besar," balas Topeng Hijau.
"Benarkah? Kita harus mengadu mereka untuk membuktikan milik siapa yang lebih kuat," tantang Genderuwo.
"Boleh. Kita tanding ketika sudah siap," ucap Topeng Hijau menerima tantangan.
"Oke. Pasti akan seru, hahahaha." Genderuwo tertawa kencang.
#*Seekor elang sedang terkurung dan Rinson sedang menikmati kue sambil minum teh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments