Batang bambu meliuk-liuk. Beberapa ekor burung menguatkan cengkeramannya. Sinar Matahari mulai menyengat kulit.
Dua batang bambu seukuran gelas menggantung di bambu jemuran. Sebuah peluru kertas melesat melewatinya.
"Aiisss, tidak kena," keluh Nusa.
NusaNTara sedang bermain senapan menggunakan bambu. Bambu seukuran jempol dipotong sekitar 30 cm dan di isi peluru kertas di kedua ujungnya, lalu ditusuk dari belakang untuk menembak. Peluru yang di depan keluar karena tekanan dan dorongan dari peluru belakang.
"Hahaha, kau memang tidak pandai membidik," ejek Tara.
"Angin kuat," sanggah Nusa.
"Hah?."
Tara menjilat telapak tangannya dan mengangkatnya, mencoba merasakan angin.
"Heh." Tara tidak merasakan angin dan tersenyum mengejek.
"Coba kau," tantang Nusa.
"Kau tengok Abang ni."
Tara mengambil posisi. Dia menempatkan senapan di depan mulutnya. Dia meneropong arah tembakan. Setelah moncong bambu mengarah tepat ke sasaran, Tara melakukan tembakan.
"Lihat ini. Jurus tusukan maut."
Peluru keluar dari ujung senapan. Peluru tidak melesat dan terjatuh setelah mencapai satu meter, seperenam dari target.
Tara memiringkan kepalanya karena bingung pelurunya tidak sampai target.
"Hahaha. Jurus tusukan maut. Hahaha." Nusa tertawa lepas melihat senapan temannya tidak berfungsi.
"Kenapa dengan senapan ku?" Tara kebingungan dan memeriksa senapannya. Ternyata ada retakan di bagian tengah, membuat tekanan angin keluar dari sana.
"Ternyata retak."
"Kita tanding ulang. Senapanku rusak. Aku akan membuat yang baru dulu," tantang Tara.
"Terserah," sahut Nusa menerima tantangan.
Tara pergi mencari bambu.
"Klik."
Bu Winda keluar dengan menggendong Rinson di dada. Dia melihat NusaNTara sedang bermain.
"Kalian tidak menjalankan misi?" tanya Bu Winda. Dia duduk di bangku.
"Hari ini kami istirahat. Sudah seminggu kami mencari, tapi belum ada hasil," jelas Nusa sambil melesatkan tembakan. Peluru masih melenceng dari sasaran.
"Yah, tidak perlu terus-terusan mencari. Istirahatlah sesekali. Benar kan Rinson?" Bu Winda terlihat senang karena dia bisa seharian bersama Rinson.
"Baiklah," sahut Nusa. Dia masih berusaha untuk mengenai target.
"Iisss, sedikit lagi."
Ibu memperhatikan Nusa kesulitan mengenai target. Dia beranjak dari bangku dan menghampiri Nusa. Dia meletakkan Rinson di tengkuknya.
"Biar Ibu ajari cara menembak."
Bu Winda sepertinya ingin mengajari Nusa cara menembak. Dia mengangkat tangannya dan menggunakan kekuatannya untuk merakit senapan. Beberapa bambu melayang dan berubah menjadi bagian kecil, lalu menyatu. Senapan bermodel Laras panjang yang biasa di pakai Sniper berhasil di rakit. Lengkap dengan teropong dan kuda-kuda.
"Wooow."
Nusa terpukau melihat senjata rakitan Ibunya. Dia bertanya-tanya dimana Ibunya belajar cara merakit senjata seperti itu. Dia belum pernah melihat senjata seperti itu.
"Lihat bagaimana seorang Sniper menembak." Bu Winda berpose ala penembak jitu.
Dia membidik sasaran dan menerawang lewat teropong. Dia mengalirkan Energi Spiritual ke senapan. Ketika sudah pas sasaran, dia menarik pelatuk dan peluru melesat sangat cepat, mengeluarkan suara yang cukup keras. Peluru itu mengenai sasaran bagian Nusa dan membuatnya hancur.
Bu Winda tersenyum sombong. Dia kembali berpose ala sniper ketika memegang senapannya. Dia memancarkan aura dominasi, membuatnya terlihat sangat keren. Tiba-tiba senapan itu hancur karena tidak kuat menahan dampak tembakan.
Nusa terpukau melihat kemampuan senjata itu. Mulutnya menganga dan tidak bisa berkata-kata.
"Baaayoohh," sahut Tara. Dia menjatuhkan bambu potongannya karena terkejut melihat senjata keren milik Bu Winda. Dia seketika menghampiri Bu Winda untuk melihat senjata itu. Sayangnya, senjata itu hancur dan setiap bagiannya tercecer dan pecah.
"Tolong Ibu buat lagi!" pinta Nusa dengan semangat.
"Aku juga!" sambung Tara juga terlihat terpukau dengan senjata itu dan ingin memilikinya.
"Maaf anak-anak. Senjata itu edisi terbatas," jawab Bu Winda. Dia tidak ingin mereka menggunakan benda yang berbahaya.
"Aalllaaaah. Ibu pelit, ih." Nusa merasa kecewa. Tara juga terlihat sedih.
Tapi Bu Winda tidak perduli.
"Main saja pakai senapan buatan kalian." Bu Winda pergi meninggalkan mereka dan duduk kembali.
NusaNTara memandangi dan meratapi bongkahan senapan yang tercecer.
"Tuk, tuk, tuk." Suara tapal kuda.
"Kakak! Aku bawa telur!" ucap Bu Windi.
"Sudah tidak tertolong." Bu Winda menatap dengan tatapan jengkel.
"Apa kau ingin memindah kandang ayammu kesini, hah?" tanya Bu Winda.
"Boleh—mmm ... mmm."
Bu Winda melempar kain lap ke wajah Bu Windi.
...****************...
Langit terlihat gelap dan air hujan turun deras. Seekor kucing sedang berteduh di pondok sawah. Para bebek menikmati cuaca dan mencari makan di petak sawah.
Beberapa bola lumpur melayang di udara. Sekelompok anak-anak bermain perang lumpur dua petak sawah yang di pisahkan sebuah jalan setapak. Usia mereka sekitar dua belas tahun. Mereka saling lempar dan tertawa, menikmati kesenangan.
Seorang anak duduk di bawah pohon. Dia meringkuk dan mengeluarkan air mata. Dia sendirian di sana sedangkan temannya yang lain bermain perang lumpur.
Sebuah tangan bergerak sambil menggenggam ranting pohon. Sepasang sendal jepit berjalan di bawah baju daster. Tangan dan kaki yang berlemak dan gempal bersembunyi di balik daster.
Wajah beringas terpampang di wajah seorang wanita. Tatapan matanya menunjukkan kemarahan. Dia berjalan dengan tegas.
Dia melihat seorang anak sedang meringkuk di bawah pohon sambil menangis. Dia menghampiri anak itu dan mendapati dia adalah anaknya. Dia semakin geram dan marah. Dia berjalan menghampiri sekelompok anak yang sedang bermain.
"Woi! Berhenti!"
Wanita itu berteriak dan suaranya menggelegar, membuat anak-anak berhenti bermain. Dia menyapu pandangannya dan menatap anak-anak dengan tatapan tajam.
"Apa yang kalian lakukan pada anakku, hah? Kenapa dia sampai nangis? Pasti kalian melemparinya pakai lumpur sampai menangis! Iya, kan? Ngaku saja kalian! Siapa yang melemparinya? Ngaku! Cepat!"
Wanita itu memaki-maki dan menuduh anak-anak itu. Anak-anak itu hanya diam dan memandanginya dengan sinis.
"Eeeehh, malah bengong! Kalian dungu atau gimana, sih?Cepet ngaku! Siapa yang ngelempar?"
Anak-anak hanya memandangi dengan tatapan sinis. Seorang anak mengepalkan tangannya dan wajahnya terlihat geram.
Wanita itu melihat seorang anak yang memandangnya dengan tatapan sinis.
"Ngapa kamu, hah? Mau ngelawan kamu? Atau kamu yang ngelempar anakku? Jawab! Jangan malah nunjukin wajah seperti itu! Memang saya takut, hah?"
Wanita itu melontarkan banyak makian dan membuat anak itu semakin geram.
"Kalian ini kalau di tanya, jawab! Bukan malah diem! Apa orang tua kalian tidak ngajarin, hah? Pantas saja, orang tua dan anak sama-sama dungu—."
Sebuah bola lumpur melayang dan mengenai punggung wanita itu.
Wanita itu terkejut dan berbalik, memandangi anak-anak dibelakangnya.
"Siapa yang lem—."
Dua bola melayang dari belakangnya dan mengenai pundak dan lengannya. Semakin lama, semakin banyak bola lumpur yang mengarah padanya. Wanita itu seketika melindungi kepalanya.
"Aduh! Woi, dasar bocah-bocah breng—."
"Tuk."
Sebuah bola lumpur mengenai kepalanya dan menghasilkan bunyi. Dia melihat keningnya berdar**. Dia mencari lumpur yang baru saja di lemparkan dan mendapati ada batu di dalamnya.
Lumpur yang berisi batu semakin banyak yang di tujukan pada Wanita itu. Dia merasa kesakitan dan dar** keluar dari beberapa bagian tubuhnya.
Sebuah lumpur mengenai pelipisnya dengan keras dan membuatnya pingsan. Dia tersungkur ke petak sawah. Posisi tubuhnya terbaring dan kakinya masih di jalan setapak.
Anak-anak mengerumuninya. Mereka tersenyum jahat. Dua orang anak meletakkan kakinya ke payudara wanita itu dan menghentakkan kaki mereka. Mereka terlihat senang karena seperti menginjak lumpur yang kenyal.
"Mama!"
Anak yang meringkuk di bawah pohon melihat ibunya pingsan. Dia tidak tau kenapa ibunya pingsan dan langsung menghampirinya. Dia melihat anak-anak lain mengerumuni ibunya dan memperlakukan ibunya dengan tidak senonoh. Dia berlari dengan kencang di jalan setapak.
"Hentikan! Jangan ganggu ma—."
Ketika anak itu sudah dekat dengan mamanya, seorang anak melayangkan tendangan dan mengenai pangkal lehernya. Dia seketika pingsan dan terkapar.
Anak yang menendangnya terkekeh.
Mereka lanjut dengan perilaku mereka. Menginjak payudara, perut, selangkangan, bahkan mereka masih melempari wajah wanita itu dengan lumpur. Mereka terlihat sangat menikmatinya. Anak yang lain mengawasi sekitar dan melihat tidak ada orang lain.
"Hei, kalian! Itu!"
Seorang anak menunjuk ke orangan sawah. Temannya yang lain seperti faham dengan maksud anak itu. Mereka tersenyum jahat.
...****************...
Mereka menyeret wanita itu ke orangan sawah. Mereka melepas orangan sawah dan menurunkan palangnya. Mereka mengikat si wanita ke palang dan dan menegakkannya.
"Pemandangan yang bagus."
Mereka mengikat perempuan itu dengan kondisi telan**** dan mengikat pakaiannya di belakangnya, sesuai dengan posisi pakaian di tubuh.
...****************...
Hujan sudah reda dan waktu menunjukkan sudah senja. Seorang pria berjalan dengan menoleh ke sana ke mari, sperti mencari sesuatu.
"Kemana mereka?" ucapnya.
Dia mendatangi tempat anak-anak tadi bermain. Dia melihat seorang anak tergeletak dan menghampirinya. Dia mendapati anak itu adalah anaknya.
"Rawit! Rawit!"
Dia memanggil-manggil anaknya dan menepuk pipinya untuk menyadarkannya. Dia melihat kesekitar dan mencari apakah ada orang yang bisa di mintai tolong. Matanya menyipit ketika melihat orangan sawah.
Dia meninggalkan anaknya dan menghampiri orangan sawah itu. Dia bertekuk lutut dan wajahnya terlihat seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Istrinya menjadi orangan sawah dalam kondisi telan**** dan tubuh bersimbah dar**. Telapak kaki terlihat membekas di dada, perut dan selangkangan. Pandangannya seakan kosong menyaksikan pemandangan itu.
...****************...
Seorang pria sedang berjalan di malam hari sambil menyeret rambut seorang wanita. Dia memegang sebuah celurit yang penuh dar**. Pakaiannya juga di penuhi noda dar**.
Rumah-rumah di sana sudah dalam kondisi terbakar. Banyak may** pria dewasa dan anak-anak yang terkapar tanpa kepa** dan anggota badannya terpis**. Menjadikan pemandangan pemban***** yang sad**.
Dia menyeret wanita itu ke pinggiran sawah. Dia berhenti di sebuah palang berbentuk salib. Dia mengikat wanita itu di palang dan menegakkan palang itu. Dia merobek semua pakaian wanita itu.
Di samping palang itu, banyak palang lain yang juga ada seorang wanita yang terikat. Mereka terikat dengan kondisi telan**** dan tubuh mereka penuh dar**.
Payu**** mereka di sayat di bagian bawah dan kelenjar susu menjalar keluar. Ada beberapa payu**** yang mengeluarkan air susu. Ada juga beberapa perut yang dalam keadaan besar.Itu adalah pemandangan yang mengerikan.
Ketika pria itu ingin melakukan hal yang sama pada wanita barusan, dia mengurungkan niatnya dan menghadap ke belakang. Dia mendapati seorang anak laki-laki memegang golok sambil menangis dengan ekspresi marah.
"Kembalikan ... Ibuku!"
Anak itu berlari dan mengayunkan goloknya ke arah pria itu.
...****************...
Suasana ramai pasar di pagi hari menjadi pemandangan normal yang di lihat warga. NusaNTara sedang meminum empon-empon di sebuah warung. Mereka sedang bersantai sambil menikmati hiruk-pikuk pedagang dan pembeli.
"Haaahhh. Kapan kita bisa dapat informasi," keluh Nusa.
"Kita tunggu saja," ucap Tara sambil memandangi orang lewat.
"Sudah dua Minggu, ini! Masak tidak ada yang menemukan atau dapat informasi. Haaahhh, melelahkan. Menunggu tanpa kepastian itu melelahkan." Nusa meletakkan kepala dan merentangkan tangan kedepan diatas meja dengan wajah lesu. Dia sepertinya sudah lelah dengan proses pencarian ini.
"Apa kalian yang memasang poster pencarian lepas?"
Nusa melihat seorang laki-laki menghampirinya. Penampilan pemuda itu cukup lusuh. Tara tidak memperhatikan laki-laki itu dan tetap memandang orang lewat.
"Iya. Apa kau tahu sesuatu?" tanya Nusa malas.
"Hei! Ayo pergi!" Seseorang memanggil laki-laki itu dan dia bergegas pergi tanpa menjawab pertanyaan Nusa.
Nusa menghela nafas panjang dan kembali lesu.
Tara menyadari sesuatu tentang laki-laki itu. Dia bangkit dan Ingi memanggil laki-laki itu, tapi dia terhenti dan memandang ke belakang. Dia merasa seperti ada yang memperhatikan mereka. Dia kembali ingin memanggil laki-laki tadi dan ternyata dia sudah tidak ada. Diapun duduk kembali.
...****************...
Sekelompok tukang berburu melewati gerbang desa. Mereka membawa seorang bocah yang diikat. Tubuh anak itu penuh dar** dan wajahnya lebam. Orang-orang memandangi mereka dengan terkejut dan berbisik-bisik.
"Kenapa anak itu? Apa dia berbuat jahat?"
"Lihat tubuhnya penuh dar**. Pasti dia habis membunuh orang."
"Aku dengar tadi malam, ada pembantaian di kampung Gabah Pari. Mungkin dia pelakunya."
"Mana mungkin dia pelakunya. Masak bocah itu bisa menghabisi banyak orang dewasa? Tidak mungkinlah."
Para Tukang Berburu itu menghiraukan omongan warga dan berjalan ke Ormas Tukang. Dia menyeretnya seperti seorang kriminal karena pemuda itu tidak sanggup berjalan.
Mereka memasuki Ormas Tukang dan membawa anak itu untuk dilaporkan. Orang-orang di sana terkejut melihat kedatangan mereka.
Salah seorang dari mereka pergi ke Resepsionis untuk melapor.
"Aku ingin melaporkan pelaku pemban**** kampung Gabah Pari."
Orang-orang terkejut dan mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments