Masih terasa panas dan sedikit perih di ujung bibirnya.
"Sa-saya,-" Reynald menarik Yasmin ke dalam pelukannya sehingga kepala Yasmin berada sejajar dengan perutnya.
"Maaf karena saya tidak berada di sana tadi." Sebuah kata maaf dari Reynald seketika mampu membuat hatinya menghangat, seketika air mata yang coba ditahannya mendadak terjun bebas dan ditumpahkan sepuasnya.
"Saya tidak tahu orang itu siapa." Yasmin tambah mengeratkan pelukannya, tangannya meremas jas yang dipakai Reynald. Bahunya berguncang hebat, tentu saja akibat rasa shocknya yang tiba-tiba ditampar tanpa alasan di hadapan banyak orang.
"Tenanglah, saya sudah menyuruh Romi mencari tahu siapa orang itu. Saya yakin ada kesalahan di sini." Regan berjanji akan mengusut tuntas masalah ini dan tidak akan membiarkan dalangnya lolos.
Suara ketukan pintu mengurai pelukan keduanya, Romi sudah kembali dengan membawa kabar terbaru.
"Apa yang kamu temukan, Rom?"
"Orang itu mengaku kalau suaminya berselingkuh dengan salah satu karyawan kita yang bernama Yasmin. Sedangkan Nona Yasmin bernama lengkap Jasmine, tentu ini adalah sebuah kesalahan. Tapi setelah ditelusuri tidak ada yang bernama Jasmine di perusahaan kita. Orang itu masih ditahan di ruang keamanan," papar Romi soal fakta temuannya barusan.
Dahi Reynald mengerut, dia sangsi soal orang itu yang salah sasaran. Pasti ada yang mendalanginya, tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
"Usut sampai dia mengakui siapa orang di belakangnya karena ini bukan masalah kecil. Ini sudah menyangkut nama baik istriku." Reynald mengeraskan rahangnya menahan amarah yang siap meletup.
*
"Eh tahu gak sih, si Yasmin pasti butuh duit tuh buktinya dia mau selingkuh sama suami orang."
"Mending butuh duit, kalau dia gatel gimana? Secara dia kan janda."
"Pantesan dia pakai barang branded akhir-akhir ini, dan kalungnya juga berlian. Wajar kalau istri tuanya datang melabrak. Dia emang pantes digituin, wajah kalem tapi kelakuan minus, hih."
Tatapan anggota tim marketing beralih pada Yasmin yang berjalan menuju kubikelnya untuk mengambil tas. Tadi Farah sudah menyuruhnya pulang dan beristirahat saja sekalian menenangkan diri. Namun lagi-lagi Yasmin harus mendapatkan sangsi sosial dari sesuatu yang tidak diperbuatnya, maksudnya bukan menjalin hubungan dengan suami dari si ibu itu.
"Sudah cukup bergosipnya?" Farah bersedekap menatap satu persatu 3 orang perempuan di timnya. Wajahnya garang menunjukan dia tidak suka ada orang yang menjelekan Yasmin di depannya sendiri. Ke tiganya lantas diam dan membubarkan diri melanjutkan pekerjaan mereka kembali.
"Yas, ayo." Farah mengajak Yasmin pergi dengan kode kepalanya mengarah ke pintu keluar.
Yasmin menguatkan hatinya, dia harus bisa mengatasi gosip demi gosip yang akan datang secara tiba-tiba. Farah sudah lebih dulu berjalan, niatnya mengantarkan Yasmin ke parkiran Basement.
"Suamimu sudah menunggu tuh, kamu boleh cuti sampai merasa baikkan. Ingat Yas, jangan dijadikan beban karena saya yakin kamu sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari."
Yasmin mendongakkan kepalanya ragu-ragu menatap Farah.
"Dari mana Ibu tahu kalau saya dan pak Reynald-"
Farah tersenyum tipis, "Saya sudah tahu sebelum kalian menikah. Sudahlah kita bisa berbincang sambil makan kalau kamu sudah kembali ke kantor. Cepat masuk sebelum suamimu berteriak."
Bibir Yasmin melengkung, dia sudah salah paham menganggap Farah membencinya. Nyatanya Farah yang sekarang pasang badan menghalau badai. Memang benar kata pepatah, jangan menilai orang dari luarnya. Don't judge a book by its cover.
***
"Aaww." Sentuhan tangan Reynald di wajah Yasmin membuatnya mengaduh. Gelenyar panas masih terasa, dia kembali berlinang air mata bukan karena sakitnya tapi karena perasaannya yang begitu sangat sedih karena insiden penamparan itu.
"Apa masih sakit?" Reynald mencoba menahan kesabarannya kali ini, dia harus hati-hati dalam bertindak. Salah sedikit bisa membawa Yasmin kembali dalam masalah.
"Hanya panas sedikit," jawabnya lemah.
"Saya pastikan dia akan mendapatkan lebih dari ini." Reynald kembali menarik Yasmin ke dalam pelukannya, membiarkan lengannya menjadi sandaran untuk mengistirahatkan tubuh istrinya yang lelah.
Aroma tubuh Reynald begitu menenangkan dirinya, sangat menenangkan dirinya. Kehadirannya seakan jadi pelipur lara sekaligus tempat dirinya berlindung. Namun sesuatu kembali mengusik ketenangannya, dia mulai cemas jika seandainya ibu-ibu tadi adalah istri pertama suaminya, maka mungkin lebih dari sebuah tamparan yang akan dia dapatkan.
"Pak."
"Panggil saya Mas. Jangan panggil Pak lagi, oke?"
"Mas?" Yasmin mendongakkan kepalanya agar bisa menatap wajah suaminya.
"Saya suamimu dan tidak seharusnya kamu memanggil saya dengan panggilan kaku seperti itu. Maaf Yas," ucapnya penuh sesal.
"Maaf untuk apa, Mas?" tanya Yasmin ragu-ragu, masih sedikit aneh dengan panggilan barunya.
"Maaf karena beberapa hari ini saya tidak memberikanmu kabar dan tidak menemuimu, saya harus menyelesaikan urusan saya dengan Silvia lebih dulu."
"Silvia?"
"Ya, istri pertama saya namanya Silvia."
Yasmin mengangguk paham, untuk saat ini dia lebih memilih untuk tidak menanyakan masalah yang membelenggu suaminya. Biarlah itu jadi ranah suaminya dan dia tidak akan ikut campur sedikitpun.
"Yasmin, kenapa kamu murung? Apa karena beberapa hari ini saya tidak mengunjungimu, heem?" Tatapan mata yang sangat dirindukannya kini hadir kembali.
Kepala Yasmin menggeleng, dia tidak mau rewel. Sebagai istri kedua dia sangatlah paham bagaimana harus mengingat akan posisinya tersebut.
"Saya akan mempekerjakan asisten rumah tangga buat kamu biar semua kebutuhan kamu terpenuhi dan biar kamu ada yang menemani saat saya tidak ada di sini. Dan saya ingin kamu fokus dengan kehamilan kamu, Yasmin."
Gleg,
Yasmin menelan kasar salivanya. Hamil?
"Hamil, Mas?" Mata Yasmin membulat sempurna. Rasa lelahnya menguap entah kemana.
"Ya, hamil. Apa kamu keberatan? Saya sudah berumur, Yasmin. Dan saya menginginkan seorang anak di tengah-tengah kita sebagai penerus keluarga saya." Reynald tidak pernah main-main dengan ucapannya.
"Tapi pernikahan kita tidak diketahui orang lain, Mas. Saya hanya takut sesuatu terjadi lebih dari ini."
"Saya tidak peduli orang akan bicara apa tentang kita. Kalau kamu takut kehamilanmu kelak akan diketahui orang-orang kantor, kamu tinggal resign. Saya bisa menghidupi kamu tanpa kamu bekerja, kalau perlu saya juga bisa memberikan semua harta kekayaan saya buat kamu. Apalagi yang kamu ragukan?" Dari ucapannya Reynald terdengar tidak senang karena Yasmin seakan tidak ingin hamil.
"Bukan begitu, Mas. Tapi hubungan kita tidak diketahui publik dan Mas juga masih terikat pernikahan dengan istri sahnya Mas."
Reynald menarik lengannya kemudian bangkit dan duduk. Menghela napas beratnya sejenak lalu mengembuskannya kembali.
"Saya akan menceraikan Silvia secepatnya dan kamu tidak usah cemas. Hancurnya pernikahan saya bukan karena kehadiran kamu, jadi jangan memikirkan apapun selain tentang kita. Apa kamu paham?"
Yasmin kehilangan kata-katanya, dia tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Semoga apa yang dicemaskannya tidak akan terjadi.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments