Pagi itu, selepas sholat Subuh, Fahri masih berada di dalam masjid, membantu beberapa santri muda merapikan sajadah dan mushaf Al-Qur’an.
Udara pagi yang masih sejuk berembus lembut dari jendela masjid, membawa aroma embun dan ketenangan.
Cahaya matahari mulai merambat perlahan dari balik pepohonan, menerangi halaman pesantren yang masih basah oleh sisa embun semalam.
Suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari beberapa santri yang sedang muroja’ah mengalun syahdu, menciptakan suasana yang damai.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Fahri melangkah keluar dari masjid dengan penuh ketenangan. Kiyai Nasir, Adam, dan beberapa ustadz lainnya sudah berjalan menuju rumah Kiyai. Fahri mempercepat langkahnya agar bisa segera menyusul.
Setibanya di teras rumah, Fahri menundukkan kepala dengan penuh hormat kepada Kiyai Nasir sebelum duduk bersila di samping Adam.
"Kiyai, saya habis ini mau langsung kembali ke kota," ujar Fahri, suaranya terdengar lembut, mencerminkan adab seorang santri yang berbicara dengan gurunya.
Kiyai Nasir menatapnya sejenak sebelum tersenyum ramah, "loh, kok buru-buru sekali? Kita sarapan dulu, mengobrol dulu di sini," ujarnya.
Fahri tersenyum tipis. Ia memang berniat langsung pulang setelah Subuh, tetapi mendengar ucapan Kiyai Nasir, ia merasa tak enak hati untuk menolak.
"Benar, Fahri. Kita di sini saja dulu," sahut Adam, menimpali, "nanti ada rapat untuk membahas program baru, kursus jahit untuk santri. Aku rasa kamu cocok untuk ikut serta. Sebagai pebisnis sukses, pasti kamu bisa memberi banyak masukan."
Kiyai Nasir mengangguk, menambahkan, "betul, Fahri. Ini proyek yang cukup besar. Kehadiranmu bisa membantu."
Fahri terdiam sejenak. Sebagian hatinya memang ingin pulang, tetapi ada hal lain yang membuatnya ragu. Ia tak ingin menolak permintaan Kiyai Nasir. Dalam lingkungan pesantren, menghormati guru adalah hal yang utama.
Melihat kebimbangan Fahri, Kiyai Nasir tersenyum bijak, "apa perlu saya telepon abimu agar mengizinkanmu tinggal satu hari lagi?"
Fahri tertawa kecil, lalu menggeleng, "tidak perlu, Kiyai. Nanti saya sendiri yang mengabari Umi dan Abi kalau saya menginap di sini satu malam lagi."
"Ah, begitu lebih baik," ucap Kiyai Nasir dengan senyum puas, "kalau begitu, mari kita sarapan dulu."
Selesai sarapan, mereka berjalan menuju gazebo yang terletak di tengah halaman pesantren. Udara pagi masih terasa segar, dengan embusan angin yang lembut membawa aroma dedaunan basah.
"Bagaimana, Fahri? Sejuk, bukan?" tanya Kiyai Nasir, menikmati udara pagi yang menenangkan.
Fahri mengangguk sambil tersenyum, "Alhamdulillah, Kiyai. Sudah lama saya merindukan suasana seperti ini."
Dari kejauhan, beberapa santri terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang menyapu halaman, ada yang menimba air, dan ada pula yang duduk di serambi masjid, mengulang hafalan dengan suara lirih.
Fahri menghela napas panjang. Jauh berbeda dari hiruk-pikuk kota yang penuh dengan kebisingan dan kesibukan duniawi.
Di gazebo, sudah berkumpul beberapa orang yang akan mengikuti rapat. Ada Kiyai Nasir, Bu Nyai Halimah, Ustadzah Aisyah, Adam, dan tentu saja Fahri. Mereka duduk di kursi masing-masing, berbincang santai sambil menunggu kedatangan Ros.
Sekitar lima belas menit kemudian, suara mesin mobil terdengar mendekat. Semua mata tertuju ke arah gerbang pesantren.
Sebuah mobil hitam berhenti di halaman. Seorang santri wanita segera menghampiri dan membukakan pintu mobil.
Seorang wanita muslimah turun dari dalam mobil.
Langkahnya anggun. Pakaiannya syar’i tetapi tetap sederhana. Hijab panjangnya berwarna pastel, memberikan kesan lembut dan teduh.
Fahri menelan ludah. Ada sesuatu yang menggetarkan hatinya.
Saat wanita itu menoleh dan tersenyum… dunia Fahri terasa berhenti.
"Ros?"
Mata Fahri melebar. Bibirnya tanpa sadar menyebut nama itu.
Dadanya berdegup kencang. Tidak mungkin. Wanita yang berdiri di hadapannya adalah Ros.
Cinta masa kecilnya.
Gadis yang ia kagumi sejak dulu hingga kini.
Wajah Ros tidak banyak berubah, tetap memiliki ekspresi tenang dan teduh. Hanya saja, kini ia tampak lebih dewasa, lebih anggun, dan tentu saja lebih elegan.
Fahri berusaha mengendalikan perasaannya. Ia tidak ingin memperlihatkan keterkejutannya dan rasa senangnya secara berlebihan.
Kiyai Nasir tersenyum kecil, lalu memecah keheningan.
Mereka semua spontan berdiri, menyambut kedatangan Ros yang tampak anggun dengan tas kecil yang ditentengnya.
Santri wanita yang mendampingi Ros mengantarkannya ke gazebo.
"Assalamualaikum," ujar Ros mengawali pertemuan.
"Wa’alaikumussalam," jawab mereka serempak.
"Saya Ros, owner Ros Scarf," ucap Ros memperkenalkan diri dengan profesionalisme yang tinggi.
Fahri masih diam. Pikirannya berkecamuk, tetapi ia menahan diri agar tetap tenang.
Diskusi pun dimulai.
Adam membuka pembicaraan, "Mbak Ros, kami ingin mengajak Ros Scarf bekerja sama dalam program pemberdayaan santriwati. Di sini ada banyak santri perempuan yang ingin belajar keterampilan sebagai bekal masa depan mereka. Salah satunya adalah menjahit."
Ros mengangguk pelan, "itu ide yang sangat bagus. Saya sendiri punya visi untuk memberdayakan muslimah agar bisa mandiri secara finansial. Kalau begitu, model kerja samanya seperti apa?"
"Kami ingin mengadakan kursus jahit di pesantren ini, Mbak Ros," lanjut Ustadzah Aisyah.
"Tapi tentu saja, kami butuh bimbingan dan support, baik dari segi alat maupun pelatihan."
Ros tersenyum kecil, "untuk alat jahit, kami bisa bantu sebagian. Saya juga bisa mengirim beberapa mentor dari tim Ros Scarf untuk mengajar dasar-dasar jahit."
"MasyaAllah, luar biasa," sahut Bu Nyai Halimah.
Adam menambahkan, "kami juga berpikir, kalau santriwati di sini sudah cukup mahir, mereka bisa mulai menjahit produk-produk yang bisa dijual. Mungkin Ros Scarf bisa menjadi mitra untuk pemasaran?"
Ros terdiam sejenak, tampak mempertimbangkan.
"Itu bisa saja, tapi kualitas harus tetap terjaga. Bagaimana kalau kita mulai dari pelatihan dulu? Nanti kita lihat perkembangan santriwati dalam enam bulan ke depan," ujarnya tegas namun tetap ramah.
Fahri mengamati Ros dalam diam. Cara bicaranya penuh keyakinan, seperti seseorang yang sudah terbiasa mengambil keputusan besar.
Tanpa sadar, senyum kecil terukir di wajahnya.
Ros… ternyata tak hanya tumbuh menjadi wanita yang lebih anggun, tetapi juga cerdas dan mandiri.
Diskusi berlangsung semakin menarik, membahas detail program dan langkah-langkah yang akan diambil.
Dan sepanjang pertemuan itu, Fahri semakin mengagumi Ros.
"Mbak Ros mau melihat ruangan yang rencananya akan dipakai kursus nantinya?" tanya Ustadzah Aisyah, "jika mau, saya bersedia menemani Mbak Ros berkeliling."
"MasyaAllah, tentu saja, Ustadzah," ujar Ros.
"Saya ikut," ucap Adam.
Kiyai Nasir dan Bu Nyai Halimah memutuskan untuk tidak ikut berkeliling, cukup Adam dan Ustadzah Aisyah saja.
"Kamu tidak ikut Fahri, melihat-lihat pesantren?" tanya Adam.
Fahri menggelengkan kepala pelan, "tentu saja saya ikut," ujar Fahri.
Selain karena ia ingin melihat suasana pesantren ini lebih jauh, ia juga ingin dekat dekat dengan Ros. Rasanya ingin sekali ia langsung mengatakan kepada Ros bahwa dia adalah Fahri, mereka dulu satu sekolah saat SMP. Dan dia sudah menyukai Ros sejak bertahun-tahun lamanya. Tapi, ia tahan dirinya. Lebih baik, ia mencari tahu bagaimana keadaan Ros saat ini. Apakah dia sudah menikah, punya calon, atau sedang menyukai orang lain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Susi Akbarini
waduuuhhhh..
saingan terberat Santi datang..
😀😀❤❤❤❤
2025-03-09
1