Setelah pertemuan di gazebo berakhir, Santi kembali ke asramanya dengan hati yang campur aduk. Ia menggenggam erat amplop putih pemberian Fahri, seakan di dalamnya tersimpan lebih dari sekadar lembaran uang—tetapi juga kebaikan, perhatian, dan mungkin sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Sementara itu, Fahri dan Kiyai Nasir masih duduk di gazebo, melanjutkan obrolan mereka. Mereka berbincang tentang berbagai hal—tentang pesantren, perkembangan santri-santri, hingga kondisi masyarakat sekitar. Sesekali, tawa kecil terdengar di antara keduanya, mencairkan suasana sore yang semakin teduh.
Tak lama kemudian, suara azan Ashar berkumandang dari masjid pesantren. Suara muazin yang merdu menggema di seluruh lingkungan pondok, mengundang setiap orang untuk menghentikan aktivitas mereka dan bersujud kepada Sang Khalik.
Fahri dan Kiyai Nasir segera beranjak dari tempat duduk mereka. "Mari, Ustadz Fahri, kita salat dulu, nanti lagi kita lanjut obrolannya" ujar Kiyai Nasir dengan senyum hangat.
"Tentu, Kiyai," sahut Fahri.
Mereka berjalan berdampingan menuju masjid, bergabung dengan para santri yang juga menuju ke sana. Setelah mengambil air wudu, mereka masuk ke dalam masjid dan menempati saf terdepan.
Seusai salat, Fahri masih duduk bersimpuh, melantunkan doa-doanya dalam hati. Kiyai Nasir pun melakukan hal yang sama, khusyuk dalam keheningan ibadah.
Setelah beberapa saat, mereka bangkit dan berjalan kembali ke rumah Kiyai Nasir. Matahari sudah mulai turun ke ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan yang memancarkan ketenangan. Angin sore berembus lembut, membawa aroma khas pesantren yang penuh kedamaian.
Saat mereka sudah tiba di rumah, Kiyai Nasir menatap Fahri dengan senyum khasnya, "Fahri, kamu jangan pulang dulu," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditolak, "sudah sore, lebih baik menginap di sini."
Fahri tertawa kecil, sadar bahwa ajakan itu lebih menyerupai perintah yang tidak mungkin ia tolak. "Tentu saja, Kiyai," jawabnya dengan nada bercanda, "saya juga tidak ada niatan untuk buru-buru pulang."
Kiyai Nasir ikut tertawa, lalu menepuk-nepuk bahu Fahri dengan penuh kehangatan, "bagus, bagus. Lagipula, sudah lama kita tidak berbincang panjang. Malam ini kita bisa duduk santai sambil menikmati teh."
Fahri tersenyum, merasa senang bisa menghabiskan waktu lebih lama di pesantren ini. Ia selalu merasa rumah Kiyai Nasir memiliki kehangatan tersendiri, membuatnya nyaman dan tenteram.
Saat itu, Adam muncul dari arah luar, baru saja kembali dari tugasnya di pondok. Ia mengenakan baju koko sederhana dengan sarung yang dililitkan di pinggangnya. Langkahnya mantap, tetapi ketika ia melewati ruang tamu, matanya menangkap sosok yang duduk bersama pamannya.
"Ah, sini, Adam," panggil Kiyai Nasir dengan ramah.
Adam menghentikan langkahnya sejenak, menatap Fahri beberapa detik sebelum akhirnya mendekat. Ia duduk dengan tenang di hadapan mereka, menunggu pamannya berbicara.
"Iya, Paman?"
Kiyai Nasir tersenyum, lalu menunjuk Fahri dengan jemarinya, "silahkan duduk, Adam. Paman ingin mengenalkan mu dengan seseorang."
Adam mengalihkan pandangannya kepada Fahri. Lelaki itu tersenyum kepadanya, dan ia membalas senyuman itu dengan sedikit kaku.
"Ini Ustadz Fahri," lanjut Kiyai Nasir. "Orang yang dulu Paman ceritakan kepadamu. Orang yang sudah banyak membantu pesantren ini."
Fahri mengulurkan tangannya dengan ramah. "Fahri," katanya memperkenalkan diri.
Adam menerima uluran tangan itu dengan sedikit ragu, tetapi akhirnya menjabatnya dengan cukup erat. "Adam," balasnya singkat.
Sejenak, mereka saling menatap. Fahri menyadari bahwa tatapan Adam bukanlah tatapan biasa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Jadi, Ustadz Adam," ujar Fahri, mencoba mencairkan suasana, "kamu sudah lama tinggal di sini?"
"Baru beberapa minggu yang lalu, ngomong-ngomong panggil saya Adam saja, jangan panggil Ustadz" jawab Adam tidak mau dipanggil Ustadz, sebab ia merasa tidak layak untuk itu.
Fahri mengangguk dengan pemahaman, "baiklah Adam," sahut Fahri tersenyum.
Adam tersenyum tipis. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang lelaki di hadapannya ini. Selama ini, ia hanya mendengar nama Fahri dari cerita Kiyai Nasir dan Bu Nyai Halimah. Namun, sekarang, ia bisa melihat langsung sosoknya. Ada sesuatu dalam diri Fahri yang membuatnya penasaran—wibawa yang tenang, senyum yang tulus, dan tatapan yang tajam tapi penuh kelembutan.
Kiyai Nasir, yang telah lama mengenal Adam, menyadari perubahan sikap keponakannya. Ia menatap Adam dengan pandangan penuh makna, lalu tersenyum sebelum berbicara, "Adam ini anak yang cerdas, Fahri. Dia ini keponakanku, yang dulu pernah aku ceritakan kepadamu. Dia sebaya denganmu, lulusan universitas terkenal di Singapura, dan juga tamatan pesantren sebelumnya."
Fahri mengangguk sambil tersenyum, "wah, keren sekali," pujinya tulus.
Adam hanya tersenyum kecil, tidak terlalu nyaman dengan pujian. Ia memang bukan tipe orang yang suka menonjolkan dirinya sendiri.
Saat itu, Bu Nyai Halimah muncul dari dalam rumah dengan nampan berisi teh hangat dan beberapa kudapan. Aroma teh yang khas memenuhi ruangan, membawa suasana kehangatan.
"Silakan diminum, Fahri, Adam," ujarnya dengan ramah.
Fahri mengambil cangkirnya dengan kedua tangan, meniup permukaannya yang masih mengepulkan uap sebelum menyesapnya perlahan. Begitu juga dengan Adam, yang meminum tehnya dalam diam, sambil sesekali melirik Fahri.
Kiyai Nasir kembali membuka pembicaraan. "Fahri, Adam ini juga pandai berceramah, sama sepertimu. Selama beberapa minggu di pesantren ini, ia sudah beberapa kali mengisi kajian untuk santri dan santriwati."
"MasyaAllah, hebat kamu, Adam," ujar Fahri sambil menoleh ke arah Adam dengan senyum lebih lebar.
Adam tersenyum kecil, menggeleng pelan, "jangan berlebihan memuji, Ustadz," katanya rendah hati.
"Saya dengar dari Bibi, Ustadz Fahri ini tak kalah hebatnya. Lulusan dari Cairo, Mesir, sering diundang bertausiyah dari acara satu ke acara lainnya, dari kampung satu ke kampung lainnya. Dan juga memiliki banyak cabang usaha kuliner. Kalau dibandingkan dengan saya, saya ini tidak ada apa-apanya."
Fahri terkekeh kecil, mengangkat tangannya, "ah, jangan memanggil saya Ustadz. Panggil Fahri saja. Toh kita seumuran, kan?"
Adam menatap Fahri sejenak, lalu mengangguk. Kini, sikapnya tidak lagi sekaku tadi, "baiklah, Fahri, tapi benarkan apa yang saya katakan barusan, kalah saya ini tidak ada apa apanya kalau dibandingkan Fahri," ujarnya sambil tersenyum.
Obrolan mereka terus mengalir. Adam mulai merasa nyaman berbincang dengan Fahri. Ada sesuatu dalam cara Fahri berbicara yang membuatnya terasa akrab, seperti seorang teman lama yang baru bertemu kembali.
Setelah beberapa saat, Adam melihat jam di dinding, lalu beranjak dari duduknya, "saya tinggal dulu. Saya mau menyiapkan beberapa keperluan untuk besok," katanya.
Fahri mengernyitkan dahi, "menyiapkan apa?"
Kiyai Nasir tersenyum, tampak sudah menunggu pertanyaan itu, "ah, itu... saya lupa memberi tahu kamu, Fahri," ujarnya.
"Pesantren sedang memiliki gagasan baru, dan ini juga berkat ide brilian Adam."
Fahri menoleh ke arah Adam dengan penuh minat. Adam hanya tersenyum kecil, menunggu Kiyai Nasir melanjutkan.
"Pesantren akan mengadakan kursus jahit bagi para santriwati yang berminat," lanjut Kiyai Nasir.
"Harapannya, ini bisa menambah keterampilan mereka dan menjadi bekal setelah mereka tidak lagi nyantri di sini. Nantinya, di bawah pengawasan pesantren, para santri akan diajarkan bagaimana memproduksi barang, memasarkannya, hingga menghasilkan uang. Sehingga mereka bisa mandiri."
Fahri menatap Adam dengan semakin kagum, "wah, keren sekali," ujarnya tulus, "saya semakin salut dengan Adam."
Adam hanya tersenyum kecil, "ini bukan hanya ide saya. Kiyai dan beberapa pengurus juga banyak membantu. InsyaAllah, jika berjalan lancar, program ini bisa memberikan manfaat besar bagi para santri."
Setelah berpamitan, Adam melangkah pergi meninggalkan ruangan. Ia merasa ada banyak hal yang harus dipersiapkan, dan ia ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik.
Fahri masih menatap kepergian Adam dengan senyum di wajahnya, " luar biasa sekali dia," gumamnya.
Kiyai Nasir mengangguk setuju, "iya, Adam memang memiliki banyak potensi. Tidak salah kalau dia dulu adalah lulusan luar negeri."
Fahri menyeruput tehnya sekali lagi, merasa bahwa pesantren ini semakin menarik baginya.
Setelah beberapa saat, Kiyai Nasir mengingat sesuatu dan melanjutkan, "oh ya, Fahri, Adam itu sebenarnya sedang menyiapkan segala sesuatu untuk besok, sebab besok pesantren akan kedatangan owner dari hijab brand Ros Scarf yang akan bermitra dengan pesantren ini. "
Mata Fahri berbinar, "Ros Scarf?" Fahri masih awam dengan merek itu.
Malam semakin larut, tetapi pembicaraan mereka terus mengalir dengan hangat. Banyak rencana besar yang sedang dirancang di pesantren ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments