Bab 14_Fahri

Suasana subuh masih sepi. Cahaya remang-remang mulai menjalar di ufuk timur, menggantikan gelapnya malam yang baru berlalu.

Udara terasa dingin, menyelinap melalui celah pintu dan jendela rumah sederhana milik keluarga Hana. Dari luar, terdengar suara mobil yang dinyalakan, disusul deru mesinnya yang dipanaskan.

Hana, seorang wanita paruh baya dengan wajah teduh, berjalan menuju garasi. Rasa penasaran menggelitik hatinya ketika melihat putranya, Fahri, sudah memanaskan mesin mobil.

"Kamu mau ke mana pagi-pagi buta begini, sudah sibuk memanaskan mobil?" tanya Hana dengan nada penuh selidik.

Fahri menoleh, menampilkan senyum tipis, "oh iya, Fahri belum kasih tau umi, kalau hari ini Fahri hendak pergi ke Pesantren Darussalam, Umi," jawabnya singkat.

Hana mengernyit, "Pesantren Darussalam? Itu kan jauh, Nak. Empat jam lebih perjalanan dari sini. Kenapa harus ke sana mendadak seperti ini?"

Fahri menarik napas dalam sebelum menjawab, "sebenarnya bukan mendadak juga umi, kemarin malam Fahri mau kasih tau umi, tapi umi dan Abi sudah tidur. Fahri mau menjenguk Santi, Umi. Sekalian mau menyampaikan kabar tentang adiknya yang di pesantren Darul Hikmah yang baik-baik saja. Fahri bawa foto-foto adiknya juga, pasti dia rindu."

Hana mendesah pelan, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, "memangnya tidak bisa lewat telepon saja? Atau kamu titipkan saja pesannya lewat Kiyai Nasir? Kenapa harus repot-repot pergi sendiri?"

"Bukannya tidak bisa, Umi. Hanya saja, sudah lama Fahri tidak mengunjungi Pesantren Darussalam. Sekalian ingin bertemu dengan Kiyai Nasir, berbincang dengan beliau. Lagipula, anggap aja perjalanan ini sebagai refreshing umi," ujar Fahri, mencoba meyakinkan ibunya.

Hana menatap putranya lekat-lekat. Ada sesuatu dalam sorot mata Fahri yang sulit ia artikan—campuran tekad, kerinduan, dan entah apa lagi.

"Yakin, kamu ke sana karena rindu dengan pesantren dan Kiyai Nasir?" tanyanya tajam.

Fahri tersenyum kecil, "yakin, dong, Umi. Lalu, menurut Umi, aku rindu siapa lagi?" candanya.

Namun, Hana tidak ikut tertawa. Tatapannya tetap serius. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata, "Umi peringatkan sekali lagi, Umi tidak setuju kalau kamu dengan Santi. Kamu sendiri tahu siapa dia, bagaimana masa lalunya..."

Ucapan Hana belum selesai ketika Fahri dengan cepat menyela, nada suaranya lembut, "jangan membicarakan aib orang lain, Umi. Lagipula, Fahri tahu batasan Fahri. Tidak mungkin Fahri ada hubungan apa-apa dengan Santi. Umi tenang saja, jangan khawatir."

Hana terdiam sejenak. Hatinya masih gelisah.

"Umi hanya ingin kamu mendapatkan gadis yang sekufu denganmu. Santi mungkin tidak buruk, tapi dia tidak setara denganmu, apalagi dengan masa lalunya," lanjut Hana.

Fahri mengangguk, berusaha memahami kekhawatiran ibunya, "iya, Umi, Fahri paham maksud Umi," ujarnya dengan nada lebih lembut.

Hana akhirnya menghela napas panjang, menyerah untuk tidak berdebat lebih jauh, "kalau begitu sebelum pergi, kamu sarapan dulu, tidak baik berkendara dalam keadaan perut kosong."

"Siap Umi."

*****

Di Perjalanan

Fahri menyusuri jalanan yang masih lengang. Matahari mulai naik perlahan, menyinari pepohonan yang berdiri kokoh di sisi jalan. Burung-burung berkicau, menambah ketenangan suasana pagi.

Di dalam mobil, pikirannya melayang ke masa lalu, ke satu sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya tanpa sepatah kata pun terucap di antara mereka.

Ia tidak pernah benar-benar mengenal gadis itu. Ia bahkan ragu apakah gadis itu mengingatnya. Tapi anehnya, setiap detail tentangnya masih melekat jelas dalam ingatannya, seolah-olah baru kemarin ia melihatnya.

Gadis itu selalu berjalan dengan langkah yang tenang, tidak tergesa-gesa seperti kebanyakan teman-teman perempuan mereka. Jilbabnya selalu ia labuhkan ke dada, ia tak pernah berlebihan. Setiap pagi, Fahri kerap memperhatikannya dari jauh—bagaimana gadis itu berjalan melewati koridor sekolah, menyusuri lorong kelas, atau berdiri di dekat jendela sambil menatap ke luar.

Saat upacara berlangsung, ia selalu berdiri di barisan tengah. Punggungnya tegak, tatapannya lurus ke depan. Angin kadang membuat jilbabnya melambai, tetapi ia tidak pernah terlihat terganggu olehnya.

Fahri ingat, ada satu saat ketika hujan turun tipis di tengah apel pagi. Semua murid sedikit gelisah, beberapa menggerutu, tapi gadis itu tetap diam di tempatnya. Rintik hujan membasahi seragamnya yang sudah sedikit pudar warnanya dibandingkan milik yang lain. Ia tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, hanya berdiri dengan tenang, seakan hujan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari.

Sesekali, mereka bertemu pandang. Hanya sebentar. Fahri tidak pernah tahu apakah gadis itu menyadari tatapannya atau tidak.

"Astaghfirullah, istighfar Fahri, berhenti mengingat dan membayangkannya. Fokus saja kepada dirimu sendiri, toh ia belum tentu mengingatmu." Fahri berbicara kepada dirinya sendiri sambil mengencangkan pegangannya pada stir mobil.

"Fokus Fahri, fokus," gumamnya lagi, memfokuskan pandangannya ke jalanan.

*****

Di Pesantren Darussalam

Pesantren Darussalam masih seperti yang ia ingat. Bangunan-bangunan kayu sederhana berdiri kokoh di antara pepohonan rindang. Udara sore terasa sejuk, membawa serta aroma khas dari dapur pesantren yang tengah memasak untuk para santri. Dari masjid, suara lantunan ayat suci menggema, berpadu dengan suara burung-burung yang mulai kembali ke sarangnya.

Fahri turun dari mobil dengan langkah mantap. Sepatu yang dikenakannya menyentuh tanah berdebu, membangkitkan kenangan-kenangan lama tentang tempat ini. Ia menarik napas dalam, membiarkan aroma pesantren memenuhi dadanya. Meski ia bukan bagian dari pesantren ini, tempat ini tidak terasa asing baginya. Sudah bertahun-tahun ia mengenal Kiyai Nasir, sosok yang ia hormati dan sering ditemuinya dalam berbagai kesempatan.

Beberapa santri yang melihatnya segera memberikan salam dengan penuh hormat. Ia membalas sapaan mereka dengan senyum ramah sebelum akhirnya berjalan menuju kediaman Kiyai Nasir.

Seorang santri mempersilakannya masuk, dan di dalam, Kiyai Nasir sudah menunggunya.

Kiyai Nasir, seorang pria sepuh dengan janggut putih dan sorot mata penuh kebijaksanaan, menyambutnya dengan senyum hangat. Tangannya yang mulai keriput terulur, menyambut Fahri dalam genggaman erat yang penuh makna.

"Fahri, sudah lama sekali tidak ke sini," ujar Kiyai Nasir dengan suara lembut namun penuh wibawa.

Fahri membalas senyum itu dengan penuh hormat.

"Betul, Kiyai. Saya rindu tempat ini," jawabnya tulus.

Mata Kiyai Nasir meneliti wajah pemuda di hadapannya, seolah ingin memastikan bahwa yang berdiri di hadapannya adalah pria yang dulu sering datang bersilaturahmi.

"Dan tentu saja, kamu ingin bertemu dengan Santi, bukan?" ujar Kiyai Nasir dengan nada penuh makna.

Fahri sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa alasan utamanya datang ke pesantren ini memang untuk bertemu dengan gadis itu. Ia mengangguk pelan.

"Ia sedang belajar. Nanti kalau sudah selesai pembelajaran, saya suruh santri yang memanggilkannya. Atau, mau dipanggilkan sekarang saja?" tanya Kiyai Nasir.

Fahri menggeleng pelan.

"Tidak perlu, Kiyai. Tidak perlu buru-buru," jawabnya sopan.

Kiyai Nasir tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Baiklah kalau begitu. Oh ya, bagaimana kabar Abi dan Umi? Apakah mereka sehat?"

"Alhamdulillah, mereka sehat, Kiyai," jawab Fahri.

Dari arah dapur, seorang wanita paruh baya muncul dengan langkah anggun. Ia mengenakan gamis sederhana dengan jilbab lebar yang menutupi dadanya. Senyumnya ramah, menandakan kehangatan seorang ibu bagi para santri.

"Wah, ada tamu rupanya," ujar Bu Nyai Halimah, istri Kiyai Nasir, "tunggu, saya buatkan teh dulu."

Fahri segera mengangkat tangan, menolak dengan sopan.

"Tidak perlu repot-repot, Bu Nyai," ujarnya.

Namun, wanita itu hanya terkekeh kecil.

"Ah, tidak repot juga," ucapnya sambil melangkah ke dapur.

Sementara itu, di sebuah ruang kajian di dalam pesantren, sekelompok santri tengah duduk melingkar. Mereka menyimak dengan khidmat kajian yang disampaikan oleh Adam. Suaranya tenang dan penuh keyakinan saat menjelaskan makna ayat-ayat suci yang baru saja mereka baca.

Di antara para santri itu, duduk seorang gadis bernama Santi. Wajahnya teduh, sorot matanya memancarkan ketenangan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah melalui banyak cobaan hidup. Ia mendengarkan penjelasan Adam dengan penuh perhatian, mencatat beberapa hal di buku kecilnya.

Angin berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun pohon yang tumbuh di sekitar pesantren. Cahaya matahari mulai terik, tapi tidak menyurutkan semangat para penimba ilmu di sini.

Fahri sendiri tengah mengobrol santai bersama Kiyai Nasir.

Terpopuler

Comments

Diana Dwiari

Diana Dwiari

ah.....jangan2 Ros adalah gadis yg diinginkan fahri

2025-03-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!