Pagi itu, Adam duduk di depan laptopnya di ruangan yang sederhana. Ia baru saja menyelesaikan salat Subuh dan memutuskan untuk mencari mitra yang bisa membantu pesantren dalam program keterampilan menjahit. Suasana di luar masih sunyi, hanya terdengar kicauan burung dan suara langkah-langkah santri yang mulai bersiap untuk mengaji.
Di layar laptopnya, berbagai situs dan media sosial terbuka. Ia mencari brand yang tidak terlalu besar tetapi memiliki pemilik yang tampak memiliki nilai-nilai agama yang kuat. Lalu, matanya tertuju pada Ros Scarf, sebuah usaha kecil yang bergerak di bidang hijab syar’i.
“Ini menarik,” gumamnya. Ia melihat beberapa unggahan dari akun Instagram brand tersebut. Hijab-hijab yang diproduksi tampak sederhana namun elegan. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah sosok pendirinya, seorang wanita yang dalam semua fotonya selalu mengenakan hijab yang syar'i.
Adam menghela napas pelan. Ia tahu tidak mudah menemukan mitra kerja yang bersedia bekerja sama dengan pesantren tanpa bayaran tinggi. Pesantren ini masih dalam tahap pengembangan, dan mereka harus mengatur keuangan sebaik mungkin agar tidak mengalami kerugian besar jika program ini tidak berjalan sesuai harapan.
Ia pun segera menghubungi Ustadzah Aisyah. Setelah beberapa nada sambung, suara lembut tetapi berwibawa terdengar di telepon.
"Assalamu’alaikum, Ustadzah Adam. Ada perlu apa pagi-pagi begini?"
"Wa’alaikumussalam, Ustadzah. Maaf jikasaya menganggu pagi-pagi begini, saya ingin mendiskusikan sesuatu. Tentang program menjahit untuk santri. Saya baru saja menemukan sebuah brand hijab yang menurut saya cocok untuk kita ajak bekerja sama."
"Oh? Brand apa?"
"Ros Scarf. Ini masih kecil, tapi pemiliknya tampaknya seorang muslimah yang taat. Hijabnya syar’i, dan menurut saya, bisa jadi dia mau membantu pesantren kita tanpa meminta bayaran terlalu besar."
Ustadzah Aisyah terdiam sejenak sebelum menjawab.
"Itu bagus, Ustadz. Saya setuju. Kita butuh mitra yang tidak hanya berorientasi bisnis, tetapi juga punya niat baik dalam membantu pendidikan santri."
"Ya, itu yang saya pikirkan. Lalu, menurut Ustadzah, bagaimana kalau kita menghubunginya dulu melalui WhatsApp yang tertera di profil Instagramnya?"
"Saya setuju. Lebih baik kita utarakan niat kita lebih dulu sebelum bertemu langsung. Kalau dia tertarik, baru kita atur pertemuan untuk membahas lebih lanjut," jawab Ustadzah Aisyah.
"Baiklah, kalau begitu saya akan coba menghubunginya sekarang."
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumusslam."
Setelah menutup telepon, Adam membuka WhatsApp dan mengetik pesan dengan hati-hati.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan, saya Adam dari Pesantren Darussalam. Kami sedang mencari mitra yang bisa membantu kami dalam program keterampilan menjahit untuk santri kami. Kami melihat Ros Scarf dan tertarik untuk bekerja sama. Jika berkenan, bisakah kita berdiskusi lebih lanjut? Terima kasih.
Setelah mengirim pesan, Adam menunggu dengan harapan. Ia tahu tidak semua orang akan langsung merespons, apalagi dengan tawaran kerja sama seperti ini. Namun, tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang baru saja ia hubungi.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Terima kasih telah menghubungi Ros Scarf. Saya Ros, pemilik Ros Scarf. Saya tertarik dengan pesan Anda. Boleh tahu lebih detail tentang program ini?
Adam tersenyum tipis. Respons cepat seperti ini merupakan pertanda baik. Ia segera membalas, menjelaskan tujuan pesantren untuk membekali santri dengan keterampilan menjahit agar mereka memiliki keahlian yang bisa berguna di masa depan. Ia juga menjelaskan kondisi pesantren yang masih berkembang dan keterbatasan dana yang mereka miliki.
Ros membaca pesan itu dengan seksama. Ia tidak langsung membalas. Di pikirannya, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Ia memang seorang muslimah yang ingin usahanya tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia, tetapi juga memberikan manfaat bagi banyak orang. Namun, ia juga harus berpikir realistis.
Jadi, dia meminta kepada Adam untuk memberi waktu kepadanya untuk mempertimbangkan.
Sore harinya, Ros akhirnya membalas pesan Adam.
Saya memahami tujuan baik pesantren. InsyaAllah, saya bersedia membantu. Tapi mungkin saya perlu datang ke pesantren lebih dulu untuk melihat kondisi dan membahas bagaimana sistem yang bisa diterapkan.
Adam lega membaca pesan itu. Ia segera menghubungi Ustadzah Aisyah dan menyampaikan kabar baik ini.
"Alhamdulillah, Ustadzah. Dia bersedia datang ke pesantren."
"MasyaAllah, ini kabar baik."
*****
Pagi itu, suasana di ruang tamu rumah Kiyai Nasir terasa hangat meskipun udara di luar cukup dingin. Aroma teh melati yang diseduh Bu Halimah menyebar, menambah suasana yang nyaman.
Adam duduk dengan tegak di atas karpet, menghadap Kiyai Nasir dan Bu Halimah yang tengah menikmati teh mereka. Ia datang dengan membawa kabar baik—pesantren sudah menemukan mitra untuk program keterampilan menjahit yang selama ini mereka rencanakan.
"Kami sudah menemukan mitra yang akan bekerja sama dengan pesantren, Paman," ujar Adam dengan penuh semangat.
Kiyai Nasir yang sedang menuangkan teh ke dalam cangkirnya mengangkat wajah, menatap Adam dengan penuh minat.
"Wah, kamu gerak cepat ya. Bagus itu. Siapa yang mau bekerja sama?" tanyanya.
"Namanya Ros, Paman. Dia pemilik brand hijab Ros Scarf," jawab Adam.
Begitu mendengar nama itu, Kiyai Nasir dan Bu Halimah saling berpandangan, seolah mencoba mengingat sesuatu.
"Ros Scarf?" gumam Bu Halimah pelan.
Adam menangkap ekspresi mereka dan segera melanjutkan penjelasannya, berusaha meyakinkan mereka bahwa ini adalah pilihan yang tepat.
"Iya, Paman. Brand ini memang masih tergolong kecil dan baru, tapi meskipun begitu, toko onlinenya sudah cukup berkembang. Hijab-hijab yang mereka jual laris hingga puluhan ribu pesanan, dan mendapatkan ulasan yang sangat baik dari para pembeli. Saya pikir, ini adalah bukti bahwa mereka punya kualitas yang bisa kita andalkan."
Kiyai Nasir mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk pelan. Sementara itu, Bu Halimah menyesap tehnya dengan wajah penuh pertimbangan.
"Jadi, kamu sudah menghubunginya?" tanya Kiyai Nasir.
"Sudah, Paman. Saya juga sudah berdiskusi dengan Ustadzah Aisyah. Setelah kami berdiskusi, akhirnya kami sepakat bahwa Ros adalah pilihan yang tepat untuk diajak bekerja sama. Kami juga sudah mengutarakan niat pesantren kepada Ros, dan alhamdulillah, dia menyambut baik tawaran kita," jelas Adam dengan nada yakin.
Kiyai Nasir mengelus janggutnya yang mulai memutih, sebuah kebiasaannya saat sedang berpikir.
"Kalau begitu, kapan rencananya dia akan datang? Agar kita bisa mempersiapkan segala sesuatunya," tanyanya.
Adam sedikit menyesuaikan posisi duduknya sebelum menjawab.
"Untuk waktu pastinya, saya belum menentukan, Paman. Saya ingin mendapatkan persetujuan dari Paman dan Bibi terlebih dahulu. Jika Paman dan Bibi sudah menyetujui, saya akan segera menghubungi Ros untuk mengatur jadwal kunjungan ke pesantren ini."
Kiyai Nasir dan Bu Halimah kembali saling bertukar pandang, seakan berdiskusi tanpa kata-kata. Setelah beberapa saat, Kiyai Nasir akhirnya mengangguk.
"Bagus. Paman serahkan semuanya kepada kamu, Adam. Kalau menurutmu ini yang terbaik untuk pesantren, silakan lanjutkan," katanya mantap.
Bu Halimah pun ikut tersenyum dan menimpali, "asalkan program ini bisa benar-benar bermanfaat bagi santri, kami mendukung sepenuhnya. Yang penting, pastikan semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada kendala besar di kemudian hari."
Adam menghela napas lega. Persetujuan dari Kiyai Nasir dan Bu Halimah adalah langkah penting agar program ini bisa berjalan.
"InsyaAllah, saya akan berusaha sebaik mungkin, Paman, Bibi," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Bu Halimah menatap Adam dengan lembut, "kalau begitu segeralah hubungi beliau, agar kita bisa mengatur jadwalnya."
"Baik Bibi sekarang juga saya akan menghubunginya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments