Bab 9_Senja di Tepi Sungai Nil

Mesir

Aliya duduk di tepi Sungai Nil, membiarkan angin gurun yang hangat menyentuh pipinya yang pucat. Sorot matanya kosong, menatap riak air yang berkilauan diterpa cahaya senja. Langit di atasnya berpendar jingga keemasan, membalut Piramida Giza yang berdiri angkuh di kejauhan, seolah menjadi saksi bisu dari kisah yang tersimpan di hatinya.

Gaun panjangnya sedikit berkibar, sementara jemarinya menggenggam erat ujung jilbab yang menutupi kepalanya. Udara Mesir sore itu begitu tenang, tapi tidak dengan pikirannya. Ada rindu yang menyesak, ada kenangan yang berputar, dan ada luka yang diam-diam masih menganga.

Orang-orang berlalu-lalang di belakangnya. Para turis dengan kameranya sedang sibuk mengabadikan momen senja di tepi Sungai Nil, penduduk lokal tenggelam dalam obrolan santai sambil tertawa ceria, suara kuda penarik kereta sesekali menderap, menciptakan suasana khas kota tua ini. Namun, Aliya tetap diam di tempatnya, membiarkan dunianya sendiri menelan waktu.

Di tanah asing ini, ia mencari jawaban. Namun semakin ia merenung, semakin ia tenggelam dalam pertanyaan yang tak kunjung menemukan akhir.

Ia menutup matanya, mencoba mengusir semua bayangan yang berkelebat di benaknya. Tapi, seperti angin yang tak bisa ditahan, kenangan tentang Fahri justru semakin jelas.

Aliya mencintai Fahri sejak mereka masih duduk di bangku SMA. Seumur hidup, ia belum pernah menyatakan perasaannya kepada siapa pun. Hanya kepada Fahri. Tapi, ketika akhirnya ia mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya, Fahri malah mematahkan hatinya dengan mudah.

"Maaf, Tapi saya tidak pernah melihat Aliya lebih dari sekadar teman," kata-kata itu masih terngiang jelas di telinganya, seolah kata-kata itu baru diucapkan kepadanya kemarin.

Betapa bodohnya ia dulu. Mengira bahwa perasaan yang ia jaga dengan begitu tulus akan mendapatkan balasan yang sama. Nyatanya, Fahri tak pernah sedikit pun melihatnya sebagai sesuatu yang lebih dari seorang sahabat.

Hati Aliya remuk seketika. Ia mencoba menerima, mencoba melupakan, tapi luka itu tetap mengendap dalam dadanya.

Sakit hati itulah yang membawanya ke sini, ke Mesir. Ke negeri yang terkenal dengan piramidanya, tempat sejarah berbisik lewat jejak peradaban yang agung. Ke negeri yang menjadi rumah bagi Universitas Al-Azhar, salah satu universitas tertua di dunia, tempat ilmu berkembang sejak berabad-abad lalu.

Di tanah asing ini, ia berharap bisa menemukan jawaban, atau setidaknya melupakan luka yang masih menganga. Namun, semakin ia mencoba, semakin ia tenggelam dalam kenangan. Cairo menyambutnya dengan hiruk-pikuk jalanan yang tak pernah sepi, klakson kendaraan yang bersahutan, dan debu yang menari bersama angin gurun.

Meski asing, ada ketenangan yang ia temukan di tepian Sungai Nil. Senja keemasan memantul di permukaan air, membawa rasa damai yang sesaat mengusir kegelisahannya.

Ia ingin mencari ketenangan. Ingin menjauh dari kenangan yang menyakitkan. Tapi, sejauh apa pun ia pergi, hatinya tetap membawa luka itu bersamanya.

Tanpa ia sengaja air matanya menetes membasahi pipinya.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun tegas menyapanya.

"Hal atastati'u al-julusu huna? (Bolehkah saya duduk di sini)"

Aliya terkejut dan buru-buru menghapus air matanya sebelum menoleh. Seorang pria berdiri di sampingnya dengan senyum ramah. Wajahnya khas Asia, kulitnya sawo matang, tapi logat Arabnya terdengar begitu fasih.

Ia ragu sejenak, lalu mengangguk pelan.

"Na'am, tafaddal, (ya silahkan,)" jawabnya.

Pria itu duduk dengan sopan di sampingnya, menjaga jarak yang cukup. Ia menatap Sungai Nil dengan ekspresi tenang, seakan menikmati pemandangan senja yang membalut piramida di kejauhan.

Setelah beberapa saat hening, pria itu menoleh dan berkata, "afwan, in kuntu qad az'ajtuki. (maaf kalau aku mengganggumu.)"

Aliya menggeleng pelan, "la, laisa musykilah." (tidak, bukan masalah.)"

Pria itu tersenyum tipis, lalu kembali berbicara, "ismii Raka, wa ana thalib fii jami'at Al-Azhar. Ana min Indonesia. (Namaku Raka, aku mahasiswa di Universitas Al-Azhar. Aku dari Indonesia.)"

Aliya langsung menoleh dengan kaget, "Anta min Indonesia?" Kamu dari Indonesia?)"

Raka tertawa kecil, "iya, dari awal aku sudah menduga kamu pasti orang Indonesia."

Aliya tersenyum tipis, "namaku Aliya."

"Oh ya, di Indonesia dari daerah mana?" tanya Raka.

"Saya dari Jakarta Pusat. Kalau kamu?"

"Saya dari Aceh, tepatnya Banda Aceh," jawab Raka.

"Kamu di sini melanjutkan pendidikan, kerja, atau hanya sekedar berkunjung?" lanjut Raka bertanya.

"Saya melanjutkan S2," jawab Aliya.

"Wahh, keren, kampus mana?" tanya Raka antusias.

"Universitas Al-Azhar," sahut Aliya.

"Wah, keren. Dulu S1 di mana?" lanjut Raka bertanya.

"Saya S1 dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kalau kamu sendiri di sini, bekerja, atau bagaimana?" tanya Aliya

Raka mengangguk, "saya juga melanjutkan pendidikan S2 saya di sini."

Aliya tampak tertarik, "oh ya? Di universitas mana?"

Raka tersenyum kecil. "Al-Azhar juga."

Mata Aliya berbinar, "serius? Kamu ambil jurusan apa?"

"Studi Islam dan Peradaban," jawab Raka.

Aliya tersenyum lebar, "wah, berarti kita satu jurusan! Aku juga ambil S2 di bidang itu."

Aliya menatapnya dengan sedikit terkejut, "semester berapa?"

"Semester tiga. Ini saya sedang persiapan menyusun tesis," jawab Raka.

"Wah, hebat! Berarti kamu adalah kakak tingkatku. Kalau saya baru semester satu. Seharusnya saya memanggil Abang atau Mas, ya?"

Raka tertawa kecil, "panggil nama saja, Raka."

Aliya mengangguk-angguk. Rasanya menyenangkan bisa mengenal seseorang di tempat yang jauh dari rumahnya.

"Baru datang atau sudah beberapa waktu di sini?" tanya Raka.

"Baru beberapa minggu," jawab Aliya, "saya masih menyesuaikan diri di sini."

Raka tersenyum, "ya, butuh waktu memang. Mesir itu unik. Kadang melelahkan, tapi selalu penuh kejutan."

Aliya ikut tersenyum kecil, "saya mulai menyadarinya."

Mereka terdiam sejenak, menikmati hembusan angin sore di tepian Sungai Nil.

"Kalau ada yang bisa saya bantu, jangan ragu bertanya," kata Raka dengan nada tulus. "Kadang butuh seseorang yang lebih dulu terbiasa untuk bisa bertahan di sini."

Aliya menatapnya, merasakan ketulusan dalam perkataannya, "terima kasih, Raka. Kalau ada apa-apa, aku pasti akan mencarimu terlebih dahulu," ucap Aliya sambil tertawa kecil.

Raka tersenyum, "apa kamu merasa tidak perlu menyimpan nomor kontakku?" tanyanya dengan nada bercanda.

Aliya terkekeh, "ah, tentu saja perlu! Berapa nomormu?"

Ia langsung mengeluarkan ponselnya dari jaketnya dan menyimpan nomor Raka. Setelah itu, Raka bangkit dari duduknya dan merapikan pakaiannya.

"Saya harus pergi sekarang."

"Assalamualaikum," ucapnya sambil tersenyum.

Aliya mengangguk pelan. "Wa'alaikumussalam."

Raka melangkah pergi, tubuhnya perlahan menghilang di tengah keramaian tepi sungai.

Aliya masih duduk di tempatnya, menatap kepergian pria itu dengan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya.

Pertemuan ini terasa lebih berarti dari sekadar pertemuan biasa.

Dan untuk pertama kalinya sejak datang ke Mesir, hatinya tidak terasa terlalu sepi.

Terpopuler

Comments

Susi Akbarini

Susi Akbarini

mungkinkah mereka berjodoh???
❤❤❤❤❤

2025-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!