"Ceramah Ustadz Adam bagus sekali, rasanya saya ingin bertaubat seketika."
Seorang santri berkata dengan mata berbinar, suaranya penuh kekaguman.
"Iya, benar. Penyampaian Ustadz Adam itu singkat tapi jelas, langsung mengenai hati," timpal santri lainnya, suaranya penuh antusias.
Di sebuah gazebo taman pesantren yang asri, sekelompok santri duduk melingkar, membahas isi ceramah yang baru saja mereka dengar semalam.
Angin berembus sejuk, menggoyangkan dedaunan pepohonan yang rimbun di sekitar mereka. Cahaya matahari pagi menyelinap di antara celah dedaunan, menciptakan suasana yang damai dan menenangkan.
Mereka duduk bersila dengan kitab catatan terbuka di pangkuan. Beberapa dari mereka sibuk mencatat kembali poin-poin penting yang diingat dari kajian semalam, sementara yang lain berdiskusi, saling berbagi pemahaman.
Wajah mereka tampak antusias, sesekali mengangguk-angguk atau tersenyum puas saat mengingat kembali bagaimana Ustadz Adam menyampaikan kajiannya dengan begitu mengena.
Tak jauh dari sana, Kiyai Nasir tengah berjalan perlahan mengelilingi pesantren. Seperti biasa, beliau menyempatkan diri mengecek aktivitas para santri, memastikan mereka tetap dalam kegiatan yang bermanfaat. Saat melewati gazebo tersebut, telinganya menangkap percakapan para santri.
Tanpa disadari, senyum kecil mengembang di bibirnya.
"Alhamdulillah," gumamnya dalam hati, bangga mendengar santri-santrinya membicarakan Adam dalam nada yang penuh apresiasi.
Beberapa saat kemudian, para santri menyadari kehadiran Kiyai Nasir. Mereka pun segera berdiri dan menyalami beliau dengan takzim.
"Assalamualaikum, Kiyai," seru mereka serempak.
"Wa’alaikumussalam. Sedang belajar apa kalian ini?" tanya Kiyai Nasir dengan nada lembut.
"Ini, Kiyai. Kami sedang mengulang kembali ceramah Ustadz Adam, mencocokkan catatan, dan berdiskusi," jawab salah seorang santri dengan sopan.
Kiyai Nasir mengangguk, ekspresinya penuh kebanggaan, "wah, bagus, bagus. Kiyai suka dengan cara kalian belajar. Silakan lanjutkan. Kiyai mau mengecek santri yang lain," ujarnya dengan penuh apresiasi.
"Terimakasih, Kiyai," sahut para santri berterima kasih atas pujian Kiyai Nasir kepada mereka.
"Ya, sudah, lanjutkan belajar kalian, Kiyai mau melihat yang lainnya, Assalamualaikum."
"Baik Kiyai, Wa’alaikumussalam."
Kiyai Nasir pun melanjutkan perjalanannya.
*****
Di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak tinggi berisi kitab-kitab tua, Adam duduk di balik meja kayu panjang. Buku-buku agama yang tebal terbuka di hadapannya. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sampingnya, menerangi wajahnya yang tampak serius.
Di hadapannya terbuka Tafsir Al-Muyassar, kitab yang ia baca untuk memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an dengan lebih jelas. Di sebelahnya, ada Shahih Bukhari, kumpulan hadits Nabi yang ia pelajari untuk memperdalam pemahamannya tentang Sunnah.
Tak hanya itu, Adam juga membaca Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah, kitab tasawuf yang membahas hikmah dan pelajaran hidup. Ia mencatat poin-poin penting di buku catatannya dengan serius.
Di sudut meja, tergeletak Bulughul Maram, kitab fiqih hadits yang menjadi referensinya dalam memahami hukum-hukum Islam secara lebih mendalam.
Sesekali, ia menghela napas, merenungkan isi kitab yang ia baca, sebelum kembali larut dalam dunia ilmu yang memenuhi pikirannya.
Di tengah keseriusannya, suara salam terdengar dari pintu rumah.
"Assalamualaikum," suara berat khas Kiyai Nasir menggema.
Tak ada yang menyambutnya karena Adam sedang sibuk. Kiyai Nasir pun masuk dan mengecek ke kamar, mendapati istrinya, Bu Nyai Halimah, tengah menunaikan sholat Dhuha. Ia menunggu sejenak hingga istrinya selesai, lalu tersenyum.
"Abi sudah pulang. Bagaimana tadi, Bi? Para santri ngapain saja pagi ini?" tanya Bu Nyai Halimah dengan penuh perhatian.
"Mereka ada yang belajar, ada yang sibuk berdiskusi, dan ada juga yang membuat kerajinan tangan," jawab Kiyai Nasir.
Bu Nyai tersenyum mendengarnya. Ia senang melihat santri-santri di pesantren mereka tetap produktif.
"Kamu tahu tidak? Para santri sedang membicarakan Adam," lanjut Kiyai Nasir.
"Membicarakan bagaimana, Bi?" tanya Bu Nyai Halimah dengan ekspresi penasaran.
"Mereka memuji Adam. Katanya, kemarin malam Adam berceramah dengan luar biasa."
Bu Nyai Halimah tersenyum penuh kebanggaan, "Alhamdulillah, Bi, Umi sangat seneng mendengarnya."
"Abi sudah bisa menebak. Adam itu sebenarnya memiliki ilmu agama yang tinggi, ia itu cocok untuk menjadi seorang Da'i," ujar Kiyai Nasir, tersenyum bangga.
"Mudah-mudahan ya bi, Adam mau menjadi seorang Da'i, sayang ilmunya jika dia tidak menyampaikannya kepada umat," harap Bu Nyai Halimah.
"Aamiin."
"Oh ya, di mana dia sekarang?" tanya Kiyai Nasir kemudian.
"Tadi terakhir Umi lihat, dia ada di perpustakaan, Bi." Sebelum masuk kamar, tadi Bu Nyai Halimah melewati perpustakaan, dan melihat Adam di sana tengah membaca buku.
"Memangnya ada apa Bi?" lanjut Bu Nyai Halimah bertanya.
"Tidak ada apa apa Umi, Abi hanya mau ngobrol biasa saja dengannya," ujar Kiyai Nasir.
"Ya sudah umi, Abi jumpain Adam dulu, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumusslam Bi."
Kiyai Nasir pun melangkah menuju perpustakaan dan menemukan Adam masih larut dalam buku-bukunya.
"Assalamualaikum, Adam," sapanya.
"Wa’alaikumussalam, Paman," jawab Adam, menaruh perhatiannya pada Kiyai Nasir. Perlahan, ia menutup bukunya.
Kiyai Nasir tersenyum lebar, mengangkat kedua jempolnya, "mantap," ujarnya.
Adam menatap paman sekaligus gurunya itu dengan bingung, "ada apa, Paman?"
"Paman bangga kepadamu, Adam. Ternyata ceramahmu kemarin malam sangat baik. Tidak sia-sia paman mempercayakan kajian itu padamu," ujar Kiyai Nasir penuh apresiasi.
Adam sedikit grogi. Dipuji seperti itu oleh Kiyai Nasir membuatnya merasa malu.
"Saya hanya menyampaikan apa yang tertulis di buku, Paman. Jangan memuji berlebihan," ujarnya dengan rendah hati.
"Ya, betul. Tapi tidak semua orang bisa membedah buku, menyadur isinya, lalu menyampaikannya dengan dalil Al-Qur'an dan hadits dengan lugas. Kamu berhasil, Adam. Paman bangga dengan usahamu."
Adam menundukkan kepalanya, merasa malu sekaligus bersyukur.
"Paman sudah duga, sebenarnya kamu itu berbakat menjadi seorang Da'i," ujar Kiyai Nasir.
Adam mendongakkan kepalanya, menatap Kiyai Nasir dengan tidak percaya, bagaimana mungkin orang seperti dia akan menjadi Da'i?
Sementara itu, di gazebo pondok putri, beberapa santriwati juga sedang berdiskusi. Fatimah, Zahra, Alea, dan Santi duduk bersama, mengulang kembali isi ceramah Ustadz Adam.
"San, kamu kenapa sih kemarin saat Ustadz Adam ceramah? Sepertinya kamu terlihat terpukul," tanya Zahra penasaran.
Santi menghela napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca.
"Saya tidak kenapa-kenapa. Hanya saja, ceramah Ustadz Adam benar-benar menyentuh hati saya. Selama ini saya lalai dari Allah, dan sekarang saya ingin kembali ke jalan yang benar," jawabnya lirih.
Mendengar itu, ketiga sahabatnya saling bertukar pandang. Mereka tersenyum, lalu menggenggam tangan Santi.
"Alhamdulillah. Yuk, kita sama-sama memperbaiki diri," ujar Alea.
Sementara itu, Adam yang masih terpaku di perpustakaan mengingat ucapan Kiyai Nasir yang mengatakan dirinya cocok menjadi seorang Da'i. Ia merasa ia tidak memiliki bakat menjadi seorang Da'i. Ia bukan orang baik, kemarin malam itu hanyalah kebetulan saja. Kebetulan ia bisa menyampaikan ceramah dengan baik, sebab Allah memampukan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Susi Akbarini
bukan orang baik yg bagaimna?
jadi penasarannn..
❤❤❤❤❤❤
2025-03-08
1