Bab 5_Secangkir Teh untuk Tamu

Dengan cekatan, Santi mengambil teko besar berisi air panas, lalu menuangkannya ke dalam gelas-gelas yang telah diisi teh kering. Aroma teh melati segera menyebar di seluruh ruangan dapur, bercampur dengan sisa wangi rempah dari masakan pagi tadi. Ia mengaduknya perlahan, memastikan rasa manisnya pas, sebelum menyusun tiga gelas itu di atas nampan kayu.

Santi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari dapur, menuju pendopo utama tempat Kiyai Nasir dan Bu Nyai biasa menerima tamu.

Ketika tiba di tangga pendopo, langkahnya terhenti sebentar. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Adam duduk di sebelah Kiyai Nasir. Tubuhnya tegak, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan, sementara wajahnya tetap tenang tanpa ekspresi berlebih. Ada aura misterius yang sulit diabaikan darinya.

Santi meneguhkan hatinya, lalu melangkah naik dengan hati-hati, memastikan nampan di tangannya tidak berguncang terlalu banyak.

Begitu ia tiba di dekat meja, Bu Nyai menoleh dan tersenyum lembut.

"Terima kasih, Nak Santi," ucap beliau dengan suara hangat.

Santi menundukkan kepala sedikit, lalu meletakkan gelas-gelas teh di meja kecil di hadapan mereka. Saat itu juga, tanpa sengaja, matanya bertemu lagi dengan mata Adam.

Tatapan itu masih sama seperti sebelumnya. Dingin, tenang, dan sulit ditebak.

Namun kali ini, ada sedikit perubahan. Adam tidak segera mengalihkan pandangan. Ia menatap Santi sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih.

Santi buru-buru menundukkan kepala, merasa ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya sulit bernapas. Ia tak mengerti mengapa setiap kali melihat mata itu, ada rasa gelisah yang tiba-tiba menyelimutinya.

"Silakan diminum, Nak Adam," kata Nyai Halimah dengan lembut.

"Terima kasih, Bibi" jawab Adam singkat. Ia mengambil gelas teh di depannya, meniup permukaannya sebentar, lalu menyeruput sedikit.

Santi masih berdiri di sisi pendopo, menunggu jika ada instruksi lain. Biasanya, jika Kiyai atau Bu Nyai meminta sesuatu, para santri putri akan tetap berjaga di sekitar situ untuk membantu. Namun, yang membuatnya sedikit gugup adalah kehadiran Adam di antara mereka.

"Santi, kamu bisa kembali, terima kasih tehnya," ujar Bu Nyai akhirnya.

"Baik, Nyai," ucap Santi buru-buru, lalu segera undur diri.

Langkahnya terasa sedikit lebih cepat dari biasanya. Rasanya ia ingin segera menjauh dari tatapan Adam yang entah mengapa begitu menekan dadanya.

Sementara itu, Adam masih memperhatikan sosok Santi yang melesat secepat mungkin meninggalkan pendopo. Tanpa ia sadari, senyum tipis muncul di bibirnya.

Kiyai Nasir, yang memperhatikan keponakannya sejak tadi, tersenyum kecil sebelum akhirnya membuka suara.

"Nak Adam, Paman benar-benar senang ketika mengetahui bahwa kamu memutuskan untuk tinggal di pesantren ini," ujar Kiyai Nasir tersenyum.

Adam hanya tersenyum canggung.

"Keputusanmu sudah sangat benar. Di sini, kamu bisa menenangkan pikiranmu, dan juga menata kembali hati serta mentalmu yang mungkin terguncang akibat beberapa peristiwa berat yang pernah menghantammu," lanjut Kiyai Nasir, suaranya lembut, namun penuh makna.

Adam menunduk. Dadanya terasa berat, semua yang telah terjadi khususnya kematian ibunya sudah sangat membuatnya putus asa.

"Mudah-mudahan, Paman" ucap Adam lirih.

"Saya benar-benar butuh bimbingan dan bantuan Paman. Saya merasa kosong. Saya merasa tidak berguna..." Suaranya meredup di akhir kalimat, seperti beban yang selama ini ia tahan tiba-tiba mencuat keluar.

Kiyai Nasir menatap keponakannya dengan penuh kasih.

"Sudah, jangan merasa bersalah terus. Semuanya adalah takdir Allah," ucapnya menenangkan. "Kematian ibumu, kebangkrutan usaha keluargamu, itu bukan salahmu, Nak. Itu murni takdir. Allah sedang mengujimu, jadi jangan berputus asa. Tetaplah bergantung dan berharap kepada rahmat-Nya."

Adam menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang perlahan menggenang di dadanya.

"Adam, yang dikatakan oleh pamanmu benar," sahut Nyai Halimah dengan lembut.

"Tidak ada anak yang mengharapkan ibunya meninggal, tidak ada anak yang menginginkan kehancuran keluarganya. Kamu hanya sedang diuji. Maka bersabarlah, dan mintalah pertolongan dari Allah dengan sabar dan sholat."

Adam menatap kosong ke dalam cangkir tehnya. Kata-kata itu benar, tapi mengapakah rasa sakit ini tetap saja menghimpitnya?

Ia menghela napas pelan.

Mungkin di sinilah ia akan memulai semuanya dari awal.

Mungkin di pesantren ini, ia bisa menemukan kembali makna hidupnya yang sempat hilang.

Santi yang sudah kembali ke dapur, masih merasakan debaran aneh di dadanya. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya.

Namun, sekeras apa pun ia mencoba, bayangan tatapan Adam tetap saja muncul di benaknya.

Tatapan yang dingin, tapi entah mengapa terasa begitu hangat di saat yang bersamaan.

"Gimana? Gantengkan?" goda Alea sambil menyikut lengan Santi.

Santi tersenyum canggung, sambil merapikan jilbabnya yang tidak berantakan.

"Udah jawab aja ganteng, kita akuin kok Mas Adam itu memang ganteng, berwibawa lagi," lanjut Zahra.

"Sudahlah, kalian ini tidak henti-hentinya menggoda Santi, ayo kita lanjut pekerjaan kita," ujar Fatimah yang sedang menyusun piring-piring ke raknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!