Bab 4_Kedatangan Orang yang Ditunggu

Pukul tujuh pagi, suasana pesantren sudah sibuk. Para santri baru saja menyelesaikan sarapan pagi dan bergegas meninggalkan ruang makan untuk mengikuti kajian rutin. Beberapa santri berjalan dengan tenang menuju aula, sementara Santi dan teman-temannya masih sibuk membereskan dapur.

Udara pagi ini terasa sejuk, dengan sisa embun yang masih melekat di dedaunan, berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai meninggi. Burung-burung berkicau di antara pepohonan, seolah ikut menyemarakkan pagi yang tenang ini.

Di dapur umum, aroma khas masakan masih tercium samar. Santi sedang mengumpulkan piring kotor di meja panjang, kemudian mengangkatnya ke luar, ke tempat pencucian piring. Satu persatu piring itu ia cuci di bawah pancuran air bak yang airnya bersumber dari pegunungan. Tangannya terasa sedikit dingin saat menyentuh air, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya dengan sabar.

Suara riuh rendah santri-santri lain mulai mereda ketika satu suara terdengar dari arah gerbang pesantren.

Suara deru mobil.

Santi yang semula fokus dengan pekerjaannya, refleks menoleh ke arah sumber suara. Begitu pula Alea dan Zahra, yang tengah sibuk merapikan gelas-gelas teh di rak kayu.

"Itu mobil siapa?" Zahra berbisik penasaran, matanya menatap ke luar dapur.

Alea, yang sejak kemarin tak sabar menunggu kedatangan seseorang, langsung mendekati Zahra dan berbisik antusias, "itu pasti Mas Adam!"

Fatimah yang sedang menuang sisa sayur ke dalam panci besar hanya melirik sekilas, "kalau iya, kenapa? Mau menyambut beliau kah?" sindirnya datar.

Alea terkekeh pelan, "ya, nggak juga mbak. Tapi penasaran, kan?"

Santi diam saja. Namun, rasa ingin tahunya tak bisa ia hindari. Ia melangkah ke ambang pintu dapur, mengintip ke arah halaman utama.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan pendopo utama pesantren. Beberapa santri ikut melihat dari kejauhan, mereka tampak berbisik-bisik kecil.

Pak Hasan, sopir keluarga Kiyai Nasir, keluar lebih dulu. Ia segera membuka pintu belakang, dan seseorang melangkah turun.

Seorang laki-laki.

Tinggi, tegap, mengenakan kemeja hitam yang digulung sampai siku, dengan celana bahan sederhana. Rambutnya hitam pekat, sedikit berantakan, tapi tidak terlihat berantakan asal. Wajahnya tenang, rahangnya tegas, dan sorot matanya tajam.

Adam.

Keponakan Kiyai Nasir yang sejak kemarin jadi pembicaraan para santri akhirnya tiba.

Ia tampak berdiri tenang, dan mengamati sekeliling.

Beberapa santri ikhwan yang kebetulan ada di sekitar situ segera menyambutnya dengan takzim. Adam membalasnya dengan anggukan kecil, ia tak banyak bicara.

Dari dalam pendopo, Kiyai Nasir dan Nyai Halimah keluar menyambut.

"Selamat datang, Nak Adam, bagiamana kabarmu?" Suara Kiyai Nasir terdengar berwibawa.

Adam salam takjim dengan hormat kepada Kiyai dan Bu Nyai, "Alhamdulillah sehat Kyai, Bu Nyai."

"Perjalanannya lancar?" tanya Nyai Halimah lembut.

"Lancar, Nyai. Alhamdulillah."

Santi masih berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan dari jauh. Ia merasa pria itu tak asing lagi baginya, tapi ia tidak bisa melihat wajah siapa pria itu.

Santi, memicingkan matanya, berusaha untuk melihat wajah pria itu dengan jelas. Dan saat pria itu berbalik, Santi langsung terbelalak, ternyata benar, Adam keponakan Kiyai Nasir adalah Adam yang sama yang ia jumpai di Bis Kota sewaktu itu.

Pikiran itu muncul begitu saja di kepalanya, mengingatkan kembali pada pertemuan tak terduga antara dirinya dengan Adam hari itu. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan pulang dari rumah menuju kosannya. Ia masih ingat, kala itu ia tengah menangis tanpa suara, dan seorang pemuda entah dari mana datangnya tiba tiba memberinya selembar tisu.

Pemuda itu adalah Adam.

Saat pertama kali melihatnya, Santi tidak tahu siapa dia. Dan tidak mau tahu juga siapa pria itu. Hingga pria itu sendiri yang mengenalkan namanya.

Mereka tidak banyak bicara di dalam bus. Adam hanya sesekali meliriknya, lalu kembali memandang ke luar jendela. Hingga akhirnya Adam terlebih dahulu turun dari bus, dan tapa sengaja meninggalkan tasbih kayu di tempat duduknya. Dan tasbih itu masih Santi simpan hingga saat ini. Berharap, ia bisa bertemu kembali dengan Adam dan memberikannya.

Dan kini, pria itu berdiri di depan gerbang pesantren.

"Mas Adam!" bisik Alea pelan, suaranya bergetar dengan kekaguman yang jelas. Yang membuyarkan lamunan Santi.

"Ah, tampan sekali dia," puji Zahra.

Fatimah sendiri hanya terdiam, menatap Adam dari kejauhan.

Santi masih berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan dari jauh. Jari-jarinya menggenggam ujung celemeknya tanpa sadar.

Tatapan Adam tiba-tiba bergerak, mengarah ke dapur.

Santi tersentak, jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat.

Untuk sepersekian detik, mata mereka bertemu.

Santi buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan celemek yang dipakainya. Tapi rasanya percuma, karena detak jantungnya masih terdengar begitu keras di telinganya sendiri.

Zahra yang melihat perubahan ekspresi Santi, bertanya pelan, "San, ada apa?"

"Nggak apa-apa," jawab Santi cepat. Ia berusaha mengendalikan dirinya, kembali ke tempat cuci piring dan melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa.

Tapi hatinya tidak bisa bohong, jantungnya hampir saja melompat keluar dari tempatnya.

Di luar, Adam mulai melangkah masuk ke dalam pesantren, diiringi Kiyai dan Nyai.

Langkah-langkahnya terdengar tegas, tapi tidak terburu-buru.

"Santi, tolong buatkan teh," ucap Bu Nyai entah sejak kapan sudah sampai di dapur.

"Sa-ya Bu Nyai?" Santi menunjuk dirinya sendiri dengan gugup.

"Iya kamu, ayo ikut Ibu," ujar Bu Nyai kepada Santi.

Santi merasa deg deg kan tapi ia tidak bisa menolak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!