Bab 3_Tamu Spesial di Pesantren

"Kring..."

"Kring.."

"Kring..."

Suara jam beker yang nyaring menusuk keheningan malam, berhasil membangunkan seisi kamar.

Santi mengusap matanya yang masih terasa berat. Kelopak matanya perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya samar yang ada di kamar mereka. Sekelilingnya sudah tak lagi sunyi—Fatimah, Alea, dan Zahra tampak sibuk. Ada yang menyisir rambut, ada yang bergegas ke kamar mandi, dan ada yang baru saja mematikan jam beker.

"Sudah bangun, San? Ayo, cepat siap-siap, kita ke dapur umum, sekarang!" ajak Fatimah, yang sudah rapi dengan jilbabnya.

Santi masih setengah sadar, hanya terduduk di atas kasur sambil menatap jam beker di atas nakas. Jarum jam baru menunjukkan pukul dua pagi.

"Dapur umum?" tanyanya heran. Pukul dua? Bukankah jadwal mereka ke dapur seharusnya pukul empat pagi? Ini kepagian bukan?

"Iya, ayo cepat, nanti kita terlambat," Fatimah mendesaknya lagi.

Santi menoleh ke kamar mandi, melihat Alea yang baru saja keluar dari sana. Ada keraguan dalam hatinya, tapi ia tak banyak bertanya. Dengan langkah ragu, ia mengikuti instruksi Fatimah, mencuci muka, lalu mengenakan jilbab dan bersiap berangkat bersama.

Pondok masih terlelap dalam keheningan. Cahaya bulan dan bintang menaburkan kilauan redup di antara pepohonan yang melingkupi bangunan pesantren. Udara pagi ini begitu dingin, menusuk kulit, ditambah lagi pesantren ini dekat dengan pedesaan membuat udara semakin dingin.

Dari luar, kamar-kamar santri tampak gelap, sebagian masih tertidur, hanya beberapa kamar yang lampunya menyala—barangkali ada yang tengah shalat malam.

Santi menatap langit yang luas. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimutinya. Terakhir kali ia menikmati malam seperti ini, adalah saat masih kecil—saat dunia belum begitu berat di pundaknya.

Ia tersenyum, menatap langit yang bertabur ribuan bintang, berkilauan bak serpihan cahaya surga. Di tengah hamparan malam yang sunyi, rembulan tampak bertahta megah, memancarkan sinar lembut bak kristal bening yang berpendar di samudra keabadian.

Angin berbisik lirih, membelai kulitnya dengan kesejukan yang merayap hingga ke relung hati. Dalam keheningan itu, seolah semesta mengajaknya berdialog, membisikkan rahasia malam yang hanya dapat dimengerti oleh jiwa yang berserah.

"Oh iya, San, tahu nggak kenapa kita harus ke dapur sepagi ini?" suara Zahra memecah kesunyian.

Santi menggeleng kepalanya pelan, menoleh dengan tatapan penasaran, "memangnya ada apa?"

"Karena hari ini, pesantren kedatangan tamu spesial," ucap Zahra dengan nada antusias.

"Tamu spesial?" Santi mengernyit. Ia sempat berburuk sangka, mengira teman-temannya hanya mengerjainya.

"Iya, ponakan Kiyai Nasir datang hari ini. Katanya Kiyai dan Nyai mau buat syukuran untuk menyambutnya," Zahra menjelaskan.

"Oh..." Santi mengangguk paham.

"Dan dia ganteng banget, lho! Belum nikah lagi, idaman banget!" Alea menimpali dengan mata berbinar.

Fatimah menghela nafas pelan, "sudah, sudah, jangan kebanyakan berkhayal. Ayo percepat langkah kita, biar kerjaan kita cepat selesai."

Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam.

Sesampainya di dapur umum, mereka mulai menyalakan satu per satu lampu. Cahaya kuning temaram menciptakan bayangan panjang di dinding dapur yang luas.

Santi berdiri mematung, mengamati sekeliling. Begitu luas dan lengang. Kompor besar berjejer rapi di satu sisi, sementara meja-meja kayu berjejer di sisi lainnya. Suasana masih sunyi, hanya suara napas dan langkah kaki mereka yang terdengar.

Tanpa menunggu lebih lama, Alea segera menyalakan kompor, memanaskan air di kuali besar untuk memasak nasi. Zahra, mengambil dandang, dan Fatimah mulai mengeluarkan seluruh bahan-bahan makanan dari kulkas, sementara Santi masih berdiri di tempatnya.

"Santi, mari bantu mbak menyiangi bawang ini," Fatimah menyodorkan sebakul bawang merah ke hadapannya. Kira-kira ada 4 kg bawang yang terdiri dari tiga kg bawang merah dan satu kg bawang putih.

"Baik Mbak," jawab Santi, segera duduk di kursi kayu kecil yang tampak sudah tua.

Kursi itu sederhana, tanpa sandaran, hanya setinggi betis orang dewasa. Saat duduk di atasnya, kakinya otomatis menekuk dalam. Jika terlalu lama, pinggang pasti akan terasa pegal.

Santi mengambil pisau dapur dan mulai mengupas bawang, aroma menyengat segera menusuk hidungnya.

"Keponakan Kiyai Nasir itu kerjanya apa, Mbak?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari bawang di tangannya.

Fatimah mengangkat wajahnya sedikit. "Kurang tahu, tapi setahu kami, dulu orang tuanya punya usaha garmen. Setelah ibunya meninggal, usaha keluarga mereka itu bangkrut. Kiyai Nasir adalah saudara dari ibunya, makanya sekarang dia akan tinggal di sini."

"Oh begitu ya mbak, namanya siapa mbak?" tanya Santi.

"Adam," jawab Fatimah singkat.

Santi merasa sudah pernah mendengar nama itu, ia berusaha mengingat kembali, namun Alea langsung bercelutuk, "yang jelas dia itu ganteng banget! Hati-hati kalau nanti jatuh cinta, San," goda Alea dari arah kompor.

Fatimah hanya menggelengkan kepala. Ia tahu kedua temannya ini sangat mengagumi sosok Adam. Yang pernah satu tahun lalu berkunjung ke pesantren ini. Dan sebenarnya, dalam diam, ia pun merasa hal yang sama. Hanya saja, ia tahu batasannya—mengagumi keponakan pemilik pondok bukanlah hal yang seharusnya ia pikirkan saat ini.

Santi tersenyum tipis.

"Santi," ucap Fatimah dengan nada rendah.

"Iya mbak," sahut Santi.

"Kita di sini kan mau menuntut ilmu, dan kiyai Nasir sudah berbaik hati kepada kita membiarkan kita tinggal, dan menuntut ilmu di pondok ini Tampa mengeluarkan biaya sepeserpun, cukup hanya mengurusi dapur pondok saja. Jadi, pesan mbak, jangan macem macem ya di sini. Kita tidak boleh mengecewakan kepercayaan Kiyai Nasir dan Nyai Halimah kepada kita," ucap Fatimah.

Dan Santi mengangguk setuju, "Siap mbak. Santi janji tidak akan macem macem di sini."

Fatimah tersenyum, "bagus kalau begitu."

Terpopuler

Comments

Diana Dwiari

Diana Dwiari

adam yang ninggalin tasbihnya pada santi saat di bis ya

2025-03-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!