Santi duduk di kursi kayu sederhana di ruang tamu rumah Bu Nyai Halimah. Tangannya menggenggam erat tali tas kecilnya, sementara pikirannya masih berputar tentang keputusan yang telah ia ambil.
Matanya melirik sekeliling ruangan. Tidak ada kemewahan di sini, hanya perabotan sederhana yang mencerminkan kesederhanaan pesantren.
Di hadapannya, seorang wanita paruh baya duduk dengan anggun. Wajahnya teduh, sorot matanya lembut, tetapi ada wibawa yang terpancar kuat dari dirinya. Dialah Bu Nyai Halimah, istri pemilik pesantren ini.
“Santi, ya?” suara Bu Nyai Halimah lembut, tetapi terdengar cukup tegas.
Santi segera mengangguk. “Iya, Bu Nyai.”
Nyai Halimah tersenyum tipis, lalu menuangkan teh ke cangkir di hadapannya. “Ustadz Fahri sudah mengabarkan tentang kedatanganmu hari ini. Jadi, Ibu sudah sedikit tahu tentang kondisimu.”
Jantung Santi berdegup sedikit lebih kencang. Ia tidak tahu sejauh mana Ustadz Fahri telah menceritakan tentang dirinya. Namun, Ustadz Fahri bukanlah orang yang mau membuka aib orang lain.
“Kau tidak perlu khawatir,” lanjut Bu Nyai, seolah bisa membaca pikirannya.
“Di sini, kamu akan belajar seperti santri lainnya. Namun, karena kamu datang tanpa persiapan seperti mereka, maka kamu akan belajar sambil membantu mengurus di dapur santri," ucap Bu Nyai Halimah.
Santi hanya menunduk.
"Kamu tidak keberatan kan, jika harus mengurusi dapur pondok, sebagai imbalannya kamu bisa tinggal, dan menuntut ilmu di pondok ini. Makan dan keperluan lainnya ditanggung oleh pondok," lanjut Bu Nyai Halimah memastikan.
Santi menegakkan punggungnya. "Saya tidak keberatan sama sekali Bu Nyai, " sahutnya dengan cepat.
"Ustadz Fahri sudah memberitahukan saya sebelumnya. Tentang tugas saya yang akan bantu bantu di dapur umum pesantren. Tapi, sebelumnya saya meminta maaf, sebab saya tidak punya pengalaman sama sekali, di bidang ini," sahut Santi sedikit ragu diakhir kalimat.
Nyai Halimah mengangguk, dan tersenyum, "ka.u tidak perlu khawatir, nanti kamu akan belajar saat bekerja, kamu nanti memiliki teman yang InsyaAllah bisa mengajarimu."
"Baik Bu Nyai," sahut Santi menunduk.
"Dan yang paling perlu kamu ketahui adalah Pesantren ini memiliki aturan yang wajib dan harus dipatuhi oleh seluruh keluarga besar Pesantren Darussalam ini," jelas Bu Nyai.
"Ini dia tata tertib di pesantren ini," lanjut Bu Nyai menyerahkan selembar kertas yang berusia aturan tata tertib yang wajib dipatuhi di lingkungan pesantren ini.
Santi menerima kerta tersebut, "terimakasih kasih banyak Bu Nyai," ucapnya.
Santi langsung terdiam begitu mengisi tata tertib yang menurutnya begitu ketat itu. Pikirannya langsung membandingkan kehidupannya yang dulu dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Dahulu, ia bebas melakukan apa pun tanpa aturan, sedangkan di sini, ia harus menjalani kehidupan yang lebih tertata.
Namun, bukankah itu yang memang ia cari? Sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri?
“Saya mengerti, Bu Nyai,” jawabnya akhirnya.
Nyai Halimah tersenyum, kali ini lebih hangat. “Bagus. Jangan merasa rendah diri atau takut. Ka.u akan bertemu dengan banyak teman di sini yang juga memiliki kisah dan perjalanan mereka masing-masing.”
Beliau lalu menoleh ke arah pintu. “Nisa, tolong antarkan Santi ke kamarnya.”
Dari balik pintu, seorang perempuan muda berkerudung hijau muncul. Wajahnya ramah dan penuh kehangatan. “Mari, mbak santi. Aku antar ke asrama.”
Santi bangkit dan mengikuti Nisa keluar dari rumah Nyai. Langkahnya masih terasa canggung, tetapi ada kelegaan kecil di hatinya. Setidaknya, ia tidak ditolak. Setidaknya, ia diberi kesempatan.
*****
Asrama santri terletak di bangunan sederhana di sisi lain halaman pesantren. Ketika mereka sampai, Nisa mendorong pintu kayu dan tersenyum.
“Ini kamarmu mbak,” ucap Nisa.
"Terima kasih banyak mbak," balas Santi.
"Sama-sama, kalau begitu saya tinggal dulu, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumusslam."
Begitu Nisa pergi, Santi dengan langkah ragu
melangkah masuk ke dalam kamar, dan mendapati beberapa gadis sebayanha tengah duduk di atas kasur masing-masing. Mereka tampak asyik mengobrol, tetapi segera menghentikan pembicaraan begitu melihat Santi masuk.
Seorang gadis berwajah manis dengan jilbab cokelat muda langsung berdiri dan tersenyum, “kamu santri baru ya?”
Santi mengangguk dengan perlahan.
Zahra langsung berdiri, dan menyambut Santi,
“Saya Zahra," ucapnya mengulurkan tangan kepada Santi.
Santi menerima uluran tangan tersebut, "Santi," jawabnya pelan.
"Oh ya, ini mbak Fatimah dan ini Alea” Zahra menunjuk dua gadis lainnya yang juga tersenyum ramah.
"Santi," ucap Santi sekali lagi memperkenalkan dirinya.
"Saya Fatimah," ucap Fatimah tersenyum seraya mengulurkan tangan kepada Santi.
"Saya Alea," ucap Alea yang juga mengulurkan tangan perkenalan kepada Santi.
"Mari," ucap Fatimah.
"ini adalah tempat tidurmu, istirahat lah, kamu pasti lelah," ucap Fatimah mengantarkan Santi ketempat tidurnya.
Tempat tidur mereka terbuat dari kayu, dan diberi kasur lipat diatasnya. Satu orang memiliki satu kasur kecil yang hanya muat untuk satu orang.
Santi menaruh tasnya di ujung kasur, dan dia pun duduk pelan di atas kasur tersebut.
"Barang barangmu bisa kamu taruh di lemari, tapi kalau kamu lelah kamu bisa menaruhnya besok pagi atau bahkan lusa," ujar Fatimah.
"Baik, Mbak," ucap Santi pelan.
"Btw, kamu bantu-bantu di dapur juga, ya?" tanya Alea dengan nada ramah.
Santi mengangguk, "iya, benar, Mbak."
"Umurmu berapa?" tanya Alea lagi, kali ini lebih santai.
"Sembilan belas jalan dua puluh, Mbak," jawab Santi.
Alea tertawa kecil. "Kalau begitu, jangan panggil saya 'Mbak'. Kita ini seumuran. Saya, Zahra, dan kamu, sama-sama sebaya. Panggil saja saya Alea."
Santi agak terkejut, tapi segera tersenyum. "Baik, Alea."
Zahra yang sejak tadi mendengarkan ikut menimpali, "yang perlu kamu panggil 'Mbak' hanya Mbak Fatimah, karena dia satu tahun lebih tua dari kita."
"Iya, bener banget," sambung Alea dengan semangat.
Santi hanya tersenyum canggung, masih belum terlalu terbiasa dengan suasana baru ini.
Alea menyadarinya dan berkata dengan lembut, "santai saja, Santi. Kamu tidak perlu canggung di sini. Kita semua juga bantu-bantu di dapur, jadi posisinya sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah."
Santi menatap mereka dengan perasaan hangat. Ia tidak menyangka bahwa teman-teman sekamarnya akan menyambutnya dengan begitu baik.
"Oh ya, dari mana asalmu?" tanya Fatimah yang sedari tadi hanya banyakan diam.
Malam ini mereka habiskan untuk saling mengenal latar belakang masing masing. Dan tentu saja, Santi pun menceritakan semua latar belakangnya, kecuali satu hal. Ia tidak menceritakan bahwa ia sebelumnya pernah menjadi kupu-kupu malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Susi Akbarini
penasaran ama jodoh Santi..
Adam yg ktmu di bus.
atau Fahri.
❤❤❤❤❤
2025-02-28
1