Kenji perlahan menegakkan punggungnya, lalu menoleh ke arah Erina yang masih berdiri menghadap oven, menanti.
Suara lembut meluncur dari bibirnya.
“Nakiri-san…”
“Kalau nanti sudah matang… bolehkah aku mencicipinya?”
Erina mengerutkan kening. Wajah yang biasanya datar kini tampak serius — bukan marah, tapi jelas mempertanyakan. Ia memalingkan wajah sedikit, lalu menjawab dengan nada tegas,
“Ini adalah makanan yang aku buat.”
“Berikan satu alasan… kenapa aku harus membiarkanmu mencicipinya?”
Kenji tak tampak terintimidasi. Ia hanya mengangkat bahu dengan santai.
“Bukankah orang memasak makanan untuk dinikmati?” ujarnya.
“Jadi seharusnya tak ada salahnya membiarkanku mencicipinya, kan?”
Sebelum Erina sempat menanggapi, suara ping! dari oven tiba-tiba terdengar — penanda bahwa proses memanggang telah usai.
Kenji yang berdiri tak jauh dari oven segera bereaksi. Ia meraih sarung tangan tahan panas yang tergantung di samping, lalu membuka pintu oven perlahan.
Uap hangat menyembur keluar, membelai wajahnya. Aroma clafoutis yang sebelumnya samar kini menyeruak kuat — wangi manis buah ceri yang berpadu dengan custard hangat dan sentuhan tipis karamel mentega.
Dengan cekatan, Kenji mengangkat loyang bulat dari dalam oven dan meletakkannya di atas tatakan kayu di meja dapur.
Keduanya terdiam sejenak.
Erina menatap clafoutis itu dengan mata nyaris tak berkedip. Pinggiran adonan tampak sedikit mengembang keemasan, buah ceri tersebar rapi, dan ada gelembung kecil berkaramel di tepinya — persis seperti gambar dalam buku resep profesional.
Kenji berdiri di sampingnya, sama terpesonanya.
Tanpa berkata apa pun, kedua anak kecil itu mengagumi clafoutis di depan mereka — paduan wangi, tekstur, dan warna yang nyaris sempurna.
Kenji tersenyum kecil.
“Sepertinya clafoutis-mu berhasil, Nakiri-san,” ujarnya pelan. “Tapi untuk memastikannya… kita harus mencobanya dulu, kan?”
Erina menoleh, diam sejenak. Ada sedikit keraguan di wajahnya, tapi tak berlangsung lama.
Ia lalu berbalik, membuka lemari, dan mengambil dua piring kecil porselen. Gerakannya rapi — seperti seorang chef profesional, meskipun tubuhnya masih mungil.
Tanpa kata tambahan, itu sudah cukup menjadi tanda bahwa ia setuju untuk berbagi.
Namun sebelum Kenji bisa mengambil piring itu, Erina menatapnya tajam dan berkata,
“Tapi kau hanya boleh mencicipi sedikit.”
Erina mengambil pisau dari rak dan melangkah ke arah clafoutis. Tangannya sudah terangkat, siap memotong sebagian kecil untuk Kenji.
Namun sebelum ujung pisaunya menyentuh permukaan kue, Kenji bergerak cepat.
Dengan lembut, ia menahan tangan Erina yang memegang pisau.
“Tunggu sebentar,” ucapnya tenang. “Sepertinya… itu tidak adil.”
Erina menoleh ke arah Kenji, matanya menyipit sedikit, namun ia tak berkata apa-apa.
Kenji lalu berkata,
“Bagaimana kalau kita bagi rata saja? Sebagai gantinya… aku juga akan membuat sesuatu untukmu nanti.”
Erina mengerutkan kening, menatap Kenji beberapa detik, lalu bertanya ragu,
“…Apa kau bisa memasak?”
Keraguan jelas tergambar di wajah Erina.
“Aku tidak yakin kau bisa membuat sesuatu yang sebanding dengan clafoutis buatanku,” tambahnya.
Kenji tak menjawab dengan kata-kata.
Sebagai gantinya, ia mengulurkan tangan dan dengan gerakan halus, mengambil pisau dari tangan Erina.
Erina sempat terkejut, namun tak menolak. Ia hanya diam, matanya mengamati setiap gerakan Kenji dengan waspada.
Tanpa bicara, Kenji mulai memutar pisau di antara jari-jarinya. Gerakannya cepat, ringan, dan presisi. Ujung pisau meluncur mulus dari satu sela jari ke sela lainnya, berputar sejenak di atas punggung tangan, lalu kembali ke posisi awal.
Erina terdiam.
Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menyimpan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
Mata ungu itu mengikuti tiap gerakan pisau, seolah sedang menonton pertunjukan rahasia yang tak pernah ia sangka datang dari anak seusianya.
Setelah beberapa saat, Kenji menghentikan atraksi itu. Ia memutar pisau ke posisi normal, lalu mengembalikannya kepada Erina dengan gagang menghadap ke arahnya — seperti seseorang yang elegan mempersembahkan sesuatu yang berharga.
Melihat penampilan Kenji barusan, Erina akhirnya mengangguk kecil. Dalam diam, ia mengakui bahwa anak ini bukan sekadar percaya diri kosong.
Tanpa sepatah kata pun, ia menerima kembali pisau itu. Lalu, dengan gerakan mantap, ia memotong clafoutis… tepat di tengah.
Ia meletakkan setengah di piringnya, dan setengah lainnya di piring Kenji.
Melihat clafoutis di depannya, Kenji lalu mengambil sendok kecil dari sisi piring.
Dengan perlahan, ia menyendok sebagian kecil dari clafoutis yang masih mengepulkan uap tipis. Sendoknya menyusup lembut ke dalam tekstur kue — tidak terlalu padat, tapi juga tak mudah hancur.
Ia memperhatikannya dengan seksama.
Bagian pinggirnya terlihat sedikit berkulit karamel tipis, sementara bagian tengahnya lembut dan bergoyang perlahan di atas sendok, seperti puding yang matang sempurna.
Kenji lalu menyuapkannya ke mulut.
Begitu masuk, lapisan tipis bagian atas yang sedikit karamel memberi kesan pertama — renyah dan halus, nyaris seperti lapisan gula yang dilelehkan di bawah api atas.
Begitu lapisan itu hancur… bagian dalamnya meleleh lembut.
Telur dan susu menyatu membentuk tekstur custard yang ringan, dengan aroma vanila yang melayang lembut di langit-langit mulut. Di sela kelembutan itu, potongan buah ceri menyuguhkan kejutan rasa manis asam yang menyegarkan — seperti melodi kejutan dalam simfoni yang tenang.
Rasa manisnya tidak dominan — justru seimbang. Telur, susu, dan ceri saling menguatkan tanpa bertabrakan.
Hangat. Lembut. Elegan.
Sejenak, Kenji tidak berkata apa pun. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan sensasi itu menyebar sempurna.
Namun saat ia hendak menyendok suapan kedua, sebuah tangan kecil tiba-tiba menghentikannya.
Itu tangan Erina.
Dengan ekspresi tenang namun mata tajam, gadis kecil itu berkata,
“Kalau kau mau lanjut makan… penuhi janjimu. Buat sesuatu yang rasanya setara dengan clafoutis buatanku.”
Kenji menatap tangan itu sejenak, lalu menghela napas kecil. Ia meletakkan sendok dan mulai berpikir.
Kenji menutup mata, membiarkan memori dari kehidupan sebelumnya dan kehidupannya sekarang berkelindan. Berbagai hidangan melintas cepat di kepalanya — semuanya camilan sederhana yang sering ia buat sendiri.
Dalam hitungan detik, Kenji mengambil keputusan dan tersenyum kecil.
“Baiklah,” katanya. “Kalau begitu, aku akan buatkan pisang coklat.”
Setelah menentukan hidangannya, Kenji langsung bergerak.
Ia membuka lemari dapur dan mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan: pisang matang, coklat batang, margarin, serta kulit lumpia tipis yang tersimpan rapi di kotak pendingin. Semuanya ia letakkan satu per satu di atas meja masak.
Lalu, Kenji menarik bangku kecil dan naik ke atasnya agar sejajar dengan meja.
Ia berdiri tegak, tangan mungilnya siap bekerja.
Tak jauh dari sana, Erina yang awalnya hanya memperhatikan dari jauh… akhirnya menyerah pada rasa penasarannya. Ia menyeret bangku kecil lainnya, berdiri tepat di samping Kenji.
Matanya tertuju pada bahan-bahan yang disusun rapi — diam-diam penasaran seperti apa camilan yang dimaksud Kenji itu.
Ia menatap pisang, coklat, dan kulit lumpia di meja dengan kening sedikit berkerut.
“…Pisang coklat? Apakah itu cuma pisang yang dibaluri coklat?” tanyanya. Nada suaranya polos, tapi menyiratkan rasa ingin tahu yang tinggi.
Kenji tersenyum kecil sambil mulai memotong pisang menjadi dua bagian memanjang.
“Bukan, ini camilan rumahan,” jelasnya. “Pisang dibungkus kulit tipis, tambahkan potongan coklat di dalamnya. Lalu goreng sampai kulitnya renyah, dan coklat di dalamnya meleleh.”
Sambil menjelaskan, ia menaruh sepotong coklat batang kecil di atas irisan pisang, lalu membungkusnya dengan kulit lumpia dengan gerakan rapi.
“Kalau dimakan hangat, bagian luarnya renyah dan manis… dan begitu digigit, coklatnya langsung lumer bersama pisang yang lembut,” lanjut Kenji sambil mengambil satu lagi dan mengulangi prosesnya.
Erina memperhatikan gerakannya dengan serius. Dari sorot matanya, ketertarikan itu tumbuh… perlahan namun pasti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Killspree
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
2025-07-26
0