Kenji hendak membalikkan badan dan menutup pintu kamar tamu ketika suara tenang Erina terdengar dari dalam ruangan.
“Kalau begitu…”
Kenji berhenti, menoleh perlahan. Nakiri Erina masih berdiri di ambang pintu, kedua tangannya terlipat rapi di depan tubuh mungilnya. Ia menatap Kenji dengan ekspresi datar, namun sopan.
“Bisakah kau menunjukkan di mana letak dapurnya?”
Nada bicaranya tenang dan berjarak, namun tetap jelas. Kenji sedikit terkejut, tapi segera tersenyum kecil dan mengangguk.
“Tentu. Ikut aku.”
Mereka berjalan menyusuri koridor rumah, langkah kaki mereka nyaris tak bersuara di atas lantai kayu. Erina berjalan tanpa banyak bicara, namun matanya terus mengamati setiap detail rumah yang dilaluinya—dari desain dinding, penempatan lampu, hingga aroma khas kayu yang memenuhi udara.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan pintu geser menuju dapur utama keluarga Aoyama. Kenji membuka pintu itu dan mempersilakan Erina masuk terlebih dahulu.
Dapur itu luas dan terang, memadukan nuansa tradisional Jepang dengan peralatan modern berstandar profesional. Meja kerja dari batu granit berdiri di tengah ruangan, dikelilingi rak bumbu, lemari penyimpanan, dan berbagai alat memasak lengkap.
Erina melangkah masuk, matanya langsung menyapu ruangan dengan ketelitian seorang kritikus makanan.
Kenji menyusul masuk dan mulai menjelaskan dengan tenang.
“Di sisi kiri sini tempat semua bumbu dasar. Ada shoyu, miso, mirin, sake masak, dan lainnya. Sayuran dan bahan segar disimpan di lemari es besar di pojok sana.”
Ia lalu berpindah ke sisi kanan dapur, menunjuk ke beberapa lemari.
“Pisau, panci, dan peralatan kecil lainnya ada di lemari atas dan bawah. Alat-alat besar seperti food processor atau oven cadangan disimpan di rak bagian bawah.”
Erina tetap diam, hanya mengangguk pelan tanpa komentar. Namun dari matanya yang tajam, jelas bahwa ia mencatat setiap penjelasan dengan serius.
Kenji menambahkan, “Ada bangku kecil di sana yang bisa kau gunakan sebagai pijakan. Kalau kau tidak menemukan sesuatu, tanyakan saja padaku. Aku biasa memasak di sini, jadi aku tahu di mana letaknya.”
Erina menoleh sekilas padanya. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya ia berkata singkat,
“…Terima kasih.”
Meski suaranya pelan dan nyaris tanpa emosi, Kenji merasa cukup senang. Ini mungkin kali pertama Erina menunjukkan sedikit respons pribadi sejak mereka bertemu.
Kenji membalas dengan anggukan kecil. “Kalau begitu, aku tinggal dulu. Santai saja, anggap rumah sendiri.”
Ia pun meninggalkan dapur perlahan, sementara Erina mulai mempersiapkan bahan dan peralatan untuk memasak.
Sesampainya di kamarnya, Kenji mengambil manga yang belum sempat ia selesaikan. Ia berniat membacanya sambil menemani Erina… dari kejauhan, tentu saja.
Namun langkahnya terhenti sejenak.
“…Kalau tidak salah, Erina suka membaca manga juga,” gumamnya pelan. “Meski itu nanti… saat dia sudah agak besar.”
Ia termenung sejenak. Dalam ingatannya, Erina yang sombong dan perfeksionis itu pernah diam-diam membaca manga shoujo yang penuh kisah cinta manis dan drama, meski selalu menyembunyikan ketertarikannya.
Mata Kenji bergerak ke sisi bawah rak bukunya. Di sana tersimpan beberapa manga shoujo yang masih tersegel rapi, belum pernah ia buka.
Manga-manga itu adalah hadiah dari orang lain. Kenji sendiri tidak tertarik pada genre seperti itu, namun merasa tidak pantas menolak atau membuang pemberian, jadi ia hanya menyimpannya di rak paling bawah yang jarang tersentuh.
Kenji mengambil dua manga shoujo dan menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Yah, kalau Erina suka… mungkin ini bisa jadi awal percakapan.”
Dengan membawa beberapa manga di tangannya, ia kembali ke dapur, berjaga-jaga jika Erina memerlukan bantuan.
Saat Kenji masuk kembali ke dapur, ia melihat Erina baru saja selesai memilih peralatan dan bahan yang akan digunakan. Gadis kecil itu tengah berdiri di depan meja memasak, menginjak bangku kecil agar tingginya cukup untuk menjangkau meja.
Begitu mendengar langkah kaki Kenji, ia menoleh. Begitu melihat Kenji kembali dengan beberapa buku di tangannya, alis Erina sedikit terangkat.
“Kau kembali lagi?” tanyanya pelan. Nadanya tenang dan berjarak, namun tidak terdengar bermusuhan. “Untuk apa membawa buku itu?”
Kenji tersenyum kecil.
“Aku pikir… aku akan menunggu di sini saja. Kalau kau butuh bantuan atau tidak tahu letak sesuatu, aku bisa langsung menjelaskannya,” ujarnya sambil meletakkan manga yang ia bawa ke meja kecil di pojok dapur.
Ia tidak menyebutkan niat lainnya—bahwa ia sebenarnya ingin melihat keterampilan memasak Erina. Di matanya, ini adalah kesempatan langka: menyaksikan versi kecil dari seseorang yang di masa depan dikenal sebagai “lidah dewa” bekerja di dapur bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja.
Kenji lalu mengambil bangku kecil lain untuk duduk, dan mulai membaca manga. Ia tampak seperti sedang fokus, namun dari sudut matanya, ia sesekali melirik ke arah Erina yang mulai memasak.
Suasana dapur tetap tenang, hanya diiringi suara halus pisau yang memotong bahan dan suara halaman manga yang dibalik perlahan.
Erina bergerak dengan tenang. Tangannya lincah mengolah bahan-bahan yang telah ia siapkan sebelumnya.
Kenji yang duduk di pojok dapur mulai terbawa cerita manga yang memasuki klimaks. Sesekali ia melirik ke arah Erina, namun posisi gadis itu yang membelakanginya membuat ia sulit melihat apa yang sedang dibuat.
Kenji sempat ingin berdiri untuk melihat lebih jelas, tapi karena manga yang dibacanya sudah mencapai puncak cerita, ia memutuskan untuk menyelesaikannya terlebih dahulu.
Sementara itu, Erina juga fokus. Ia menuangkan adonan ke dalam cetakan dan menyusun ceri dengan rapi di atasnya sebelum memasukkannya ke dalam oven.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang damai. Hanya suara kipas oven dan halaman yang dibalik pelan terdengar.
Lalu, sebuah aroma manis dan lembut mulai memenuhi ruangan. Awalnya samar, namun perlahan menjadi lebih kuat dan menggoda.
Kenji, yang masih duduk, mengedip pelan. Ia menutup manga yang sedang dibacanya, menegakkan tubuh, dan menarik napas dalam-dalam.
“Clafoutis…” ucap Kenji pelan saat mengenali aromanya.
Erina yang berdiri mengawasi oven menoleh perlahan, tatapannya sedikit terkejut.
“Kau tahu?” tanyanya singkat. Nadanya tetap datar, namun ada sedikit rasa ingin tahu di dalamnya.
Kenji bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, menatap ke arah oven.
“Tidak banyak hidangan yang aromanya seperti ini,” ujarnya tenang. “Puding panggang khas Prancis dengan buah ceri segar. Pilihan yang menarik.”
Erina menatapnya sejenak, lalu kembali memalingkan wajah.
“…Kakek bilang aku boleh mencoba membuat sesuatu yang belum pernah kubuat sebelumnya,” ucapnya tenang. “Aku ingin tahu bagaimana hasilnya.”
Kenji mengangguk pelan. Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi dari senyumnya, jelas bahwa ia cukup terkesan.
“Kalau memang itu tujuanmu,” ujar Kenji sambil kembali duduk, “aku jadi makin penasaran seperti apa rasanya nanti.”
Erina tidak menjawab, namun dari sikapnya yang tetap fokus, terlihat bahwa ia sedikit tersentuh oleh pengakuan Kenji.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments