Beberapa hari sebelumnya, di kediaman keluarga Nakiri.
Udara pagi terasa sejuk dan segar di kediaman keluarga Nakiri. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam ruangan bergaya Jepang klasik yang luas, menyatu dengan aroma teh hijau dan kayu tua. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua berambut panjang berwarna putih keabu-abuan yang tergerai hingga punggung. Kumis dan jenggot lebat dengan warna senada menambah kesan bijaksana namun tangguh.
Di sisi kanan dahinya, terlihat luka panjang yang membentang melewati mata kanannya, memberi kesan mengancam namun penuh pengalaman.
Nakiri Senzaemon, sang Raja Iblis Makanan, tengah membaca sebuah surat. Setelah selesai membacanya, seulas senyum tipis muncul di wajahnya.
“Heh… kau masih seperti dulu, Satoshi,” gumamnya sambil terkekeh kecil.
Tanpa membuang waktu, ia melipat surat itu dengan rapi dan meletakkannya di atas meja, lalu memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu.
“Panggilkan Erina ke sini.”
Tak lama kemudian, seorang gadis kecil dengan rambut pirang terang dan mata ungu bening masuk ke dalam ruangan. Ia melangkah dengan anggun, seolah telah dilatih sejak lahir.
“Jii-sama, Anda memanggilku?”
Senzaemon menatap cucunya dengan ekspresi hangat—sesuatu yang sangat jarang terlihat di wajahnya.
“Erina, besok kita akan pergi liburan. Tempatnya cukup jauh, dan kita akan tinggal di sana beberapa hari.”
Mata Erina sedikit membesar. “Liburan?”
“Iya. Anggap saja ini kunjungan ke rumah seorang teman lama,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Kau akan bertemu seseorang yang… menarik.”
Erina mengangguk pelan, meskipun rasa penasaran terpancar jelas di wajahnya.
—
Kembali ke masa kini, di kediaman keluarga Aoyama.
Kenji menatap kakeknya dengan sedikit kerutan di dahi. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.
“Kakek…” tanyanya pelan. “Kenapa kakek mengundang Nakiri-sama ke rumah kita?”
Satoshi menghela napas pelan, menurunkan cangkir teh dari bibirnya lalu menatap keluar jendela sejenak, seolah menyusun jawabannya.
“Karena... keluarga Nakiri baru saja melewati masa yang sulit,” ucapnya lirih namun jelas.
“Jadi aku berpikir, mungkin mengajak Senzaemon untuk tinggal beberapa hari di sini bisa sedikit mengalihkan pikirannya. Bukan sebagai Raja Iblis Makanan, tapi… hanya sebagai teman lama yang butuh udara segar.”
Kenji terdiam. Matanya menatap lurus ke arah lantai tatami. Ia mengangguk perlahan, bisa merasakan ketulusan dari nada suara sang kakek.
“...Aku mengerti,” gumamnya.
Namun, di dalam kepalanya, roda pemikiran mulai berputar. Dunia tempatnya hidup saat ini adalah dunia Shokugeki no Soma, dan ia telah menyaksikan kisahnya hingga akhir di kehidupan sebelumnya.
“Masalah keluarga Nakiri... di usia Erina yang sekarang...” pikirnya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat alur waktu. Erina masih kecil. Jika ia tidak salah, pada usia ini... ayahnya, Azami Nakiri, baru saja diusir dari keluarga.
“Jadi kemungkinan besar... hal itu sudah terjadi,” gumamnya dalam hati. “Azami sudah diasingkan. Dan itu membuat situasi keluarga Nakiri tak stabil. Terutama Erina... dia mungkin belum sepenuhnya mengerti, tapi sudah merasakan tekanannya.”
Kenji membuka mata perlahan. Wajahnya kini tampak lebih serius dari biasanya.
Menurut perhitungannya, bukan hanya Senzaemon yang akan datang, tapi juga Erina. Dan saat ini, Erina masih dalam masa sulit karena trauma yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Tiba-tiba, rasa penasaran Kenji berubah menjadi tekad. Ia ingin menyambut mereka sebaik mungkin.
“Kalau begitu…” ucapnya pelan. “Aku akan menyiapkan sesuatu. Hanya makanan ringan, tapi semoga bisa membuat mereka merasa nyaman.”
Satoshi menoleh ke arahnya, satu alis terangkat. “Oh? Kau punya ide?”
Kenji tersenyum kecil, matanya berbinar.
“Mungkin… camilan yang cocok dinikmati bersama teh.”
Satoshi mengangguk puas, lalu kembali menatap keluar jendela. “Itu pilihan yang bijak.”
Baru saja Kenji hendak menuju dapur, terdengar suara mobil berhenti di depan kediaman mereka. Sesaat kemudian, suara ketukan ringan di pintu geser menyusul.
Seorang pelayan laki-laki berseragam tradisional membungkuk di ambang pintu.
“Maaf mengganggu, Aoyama-sama. Tamu Anda telah tiba. Kendaraannya baru saja berhenti di depan.”
Satoshi hanya mengangguk dan bangkit dari duduknya. “Baik. Mari kita sambut mereka.”
Kenji, yang tadinya berniat ke dapur, spontan membatalkan niatnya dan berbalik arah mengikuti sang kakek menuju pintu depan. Meski tak berkata apa-apa, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Langkah kaki mereka menyusuri koridor kayu rumah yang bersih dan tenang. Suara lantai berderit lembut menyertai perjalanan. Rumah keluarga Aoyama yang memadukan arsitektur klasik Jepang dengan sentuhan modern terasa lebih hidup oleh kehadiran tamu besar.
Begitu sampai di bagian depan rumah, sebuah mobil hitam elegan terparkir rapi. Dari pintu belakang, seorang pria tua turun perlahan, mengenakan kimono hijau tua dan haori hitam bersulam lambang keluarga Nakiri.
Nakiri Senzaemon.
Di sampingnya, seorang gadis kecil menggenggam tangannya. Rambut pirang lembut dan mata ungu tajam miliknya menyiratkan ketenangan sekaligus jarak.
Nakiri Erina.
Satoshi melangkah maju sambil tersenyum, membuka kedua tangannya.
“Senzaemon. Sudah lama sekali.”
Nakiri Senzaemon membalas dengan senyum tipis dan anggukan hormat. “Satoshi. Bahkan sebelum turun dari mobil, aku sudah bisa mencium aroma teh khasmu.”
Keduanya tertawa ringan, saling membungkuk dan menepuk pundak satu sama lain seperti dua pendekar tua yang telah melewati banyak musim bersama.
Kenji menunduk sopan di sisi kakeknya. “Selamat datang di kediaman kami.”
Senzaemon memalingkan pandangan ke arah Kenji, mengamatinya dengan tenang. Senyum kecil muncul di wajahnya.
“Jadi ini cucumu? Wajahnya... mengingatkanku pada Satoshi muda.”
Ia mendekat selangkah, menatap mata Kenji dengan saksama. “Dan matamu... tajam. Seperti mata seorang koki.”
Kenji menahan gugup dan membalas dengan tenang, “Terima kasih banyak, Senzaemon-sama.”
Erina di sisi kakeknya hanya melirik sekilas ke arah Kenji. Tatapannya tenang dan dingin seperti yang digambarkan dalam cerita aslinya, namun kini ia hanyalah seorang anak kecil. Masih polos, tapi sudah terbiasa dengan tekanan dunia kuliner.
Aoyama Satoshi menepuk pelan bahu Kenji. “Ayo, antar tamu kita masuk.”
Dengan itu, dua garis keturunan besar dunia kuliner—Aoyama dan Nakiri—melangkah masuk ke dalam rumah.
Satoshi dan Senzaemon menuju ruang tengah. Di atas meja telah disiapkan satu set perlengkapan teh yang tampak jauh lebih mewah dari biasanya. Begitu mereka duduk, pelayan segera menuangkan teh dan menyajikan beberapa camilan tradisional.
Keduanya kemudian melirik ke arah dua anak kecil yang berdiri tak jauh dari mereka. Satoshi berkata, “Kenji, sepertinya Erina sedikit lelah. Ayo antar dia ke kamar tamu. Bantu dia jika ada keperluan.”
“Baik,” jawab Kenji cepat. Ia menoleh ke arah Erina sambil tersenyum ramah. “Ayo, Nakiri-san. Kamar tamunya ada di sisi timur.”
Erina mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, lalu mengikuti langkah Kenji menyusuri koridor. Keduanya berjalan dalam diam. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar menyusuri lantai kayu.
Kenji sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Erina tidak tertinggal. Gadis itu berjalan dengan postur anggun dan tenang, meski jelas masih sangat muda.
Setelah beberapa belokan, mereka tiba di depan sebuah pintu geser dari kayu dan kertas shōji yang halus.
Kenji mendorong pintu itu perlahan, memperlihatkan kamar tamu yang rapi dengan tatami bersih, futon yang sudah disiapkan, dan jendela yang menghadap ke taman kecil dengan kolam koi.
“Ini kamarnya,” ucap Kenji sambil menoleh. “Kalau butuh sesuatu, kau bisa tanya ke aku.”
Ia menunjuk ke ruangan di seberang koridor, tepat di depan kamar tamu.
“Kamarku ada di sana. Jadi kalau kau butuh apa-apa… tinggal panggil saja.”
Erina menatap ruangan itu sekilas, lalu memandang Kenji dengan tatapan datarnya yang biasa. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun, ekspresinya lebih ke arah... waspada, bukan merendahkan.
Kenji tidak menanggapi sikap dingin itu. Ia sudah tahu seperti apa kepribadian Erina. Ia hanya tersenyum kecil dan membungkuk ringan.
“Kalau begitu, aku permisi dulu.”
Ia kemudian menutup pintu dengan pelan, membiarkan Erina sendiri di kamar yang tenang. Di balik pintu itu, Kenji menarik napas sebentar sebelum berbalik menuju ruang tengah.
Sementara itu, dari dalam kamar, Nakiri Erina berdiri sejenak memandangi jendela. Cahaya matahari siang menerobos masuk melalui kisi-kisi, menyinari siluet tubuh mungilnya. Ia menghela napas tipis.
Tempat ini... terasa asing. Tapi juga... tidak terlalu buruk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments