Kenji kembali ke dapur dengan langkah ringan, membawa piring berisi nasi goreng yang hanya berkurang satu suapan di sudutnya. Meskipun baru saja mendapat koreksi dari sang kakek, senyum kecil tetap terpancar di wajahnya. Ia meletakkan piring di meja dapur, lalu menarik kursi kecil dan duduk.
Uap nasi goreng masih mengepul tipis. Kenji menyendok satu suapan, mengunyah perlahan, lalu menatap makanannya sejenak.
“Memang agak lembek,” gumamnya, “tapi… ini tetap enak.”
Kenji terus makan perlahan, menikmati hasil karyanya sendiri dengan rasa puas. Baginya, membuang makanan adalah hal yang tidak boleh dilakukan; dia diajari untuk tidak pilih-pilih makanan dan harus menghabiskan makanannya.
Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Kenji kembali ke kamarnya. Dia melompat ke atas ranjangnya, berguling sekali, lalu berbaring telentang, menatap langit-langit kamar yang terbuat dari kayu halus berwarna terang.
Sambil menghela napas pelan, ia bergumam, “Sudah enam tahun… ya?”
Enam tahun sejak ia membuka matanya sebagai seorang bayi bernama Aoyama Kenji. Namun jauh di dalam dirinya, tersimpan jiwa dan ingatan dari orang lain. Seseorang yang berasal dari dunia berbeda, kehidupan berbeda, dan nama yang berbeda, yaitu Adrian Wijaya.
Dalam ingatan itu, Adrian adalah seorang chef terkenal asal Indonesia. Dia bukan sekadar koki, tapi seorang pionir yang memperjuangkan eksistensi makanan Nusantara di panggung kuliner dunia. Lewat restorannya, Adrian menyuguhkan hidangan perpaduan luar biasa antara berbagai makanan Indonesia dengan makanan dari negeri lain. Dunia mengenalnya karena keberaniannya bermain rasa tanpa melupakan akar budayanya.
Namun sekarang… dia telah menjadi anak kecil di Jepang.
Dalam ingatannya, Adrian meninggal karena sebuah ledakan gas yang terjadi di restorannya, kemudian ingatan selanjutnya adalah dia telah menjadi bayi.
Awalnya, Kenji mengira ini hanya reinkarnasi biasa, atau mimpi yang terlalu panjang. Tapi seiring waktu, ia mulai mengenali nama-nama yang tidak asing:
Nakiri. Totsuki. Shokugeki.
Saat pertama kali mendengar nama keluarga Nakiri disebut kakeknya, jantung Kenji sempat berdetak lebih cepat. Ia tahu nama itu—nama keluarga yang terkenal di anime yang pernah ditonton dirinya waktu masih sebagai Adrian.
“Tidak mungkin…” pikirnya kala itu.
Tapi semakin lama, semakin banyak bukti yang tidak bisa ia abaikan. Dunia ini tidak seperti dunia lamanya. Ini adalah dunia yang lebih berfokus dengan makanan, yaitu dunia tempat anime Shokugeki no Soma.
Ini adalah dunia di mana makanan bisa membuat orang seperti melayang di dimensi lain. Dunia di mana pertarungan kuliner bisa lebih panas daripada duel pedang, dan makanan adalah tema utama dunia ini.
Yang lebih gila lagi, entah ini adalah cheat yang diberikan karena terlahir kembali atau apa, namun Kenji tiba-tiba terlahir di sebuah keluarga yang tidak pernah disebutkan di alur cerita aslinya. Sebuah keluarga kuliner besar yang sejajar dengan keluarga Nakiri. Bahkan kakeknya, Aoyama Satoshi, dijuluki “Pahlawan Makanan”, setara dengan julukan “Raja Iblis Makanan” milik Senzaemon.
Kenji menutup mata dan tersenyum kecil. “Ini gila… tapi juga luar biasa.”
Sebagai Adrian, dia sudah mencapai banyak hal. Tapi sekarang sebagai Kenji, dia berharap akan mencapai hal yang lebih jauh lagi. Di dunia kuliner yang ekstrem, absurd, tapi juga sangat menantang ini, Kenji ingin melihat sejauh mana dia bisa melangkah.
Setelah puas berbaring dan merenung, Kenji menggeser tubuhnya sedikit dan meraih sebuah manga shounen yang belum selesai dia baca kemarin.
Kenji menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membaca manga tersebut. Saat dirinya selesai, hari sudah menjelang siang.
“Benar, kakek bilang ada tamu siang ini,” Kenji teringat perkataan kakeknya.
Tak ingin mengecewakan sang kakek, Kenji bangkit dan berjalan menuju lemari. Ia memilih pakaian yang paling sopan tapi tetap nyaman dari sana, yaitu kemeja putih polos lengan pendek dan celana kain biru tua yang sederhana namun rapi. Setelah itu, ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya yang agak berantakan karena tidur-tiduran tadi.
Setelah memastikan semuanya baik, Kenji tersenyum kecil, lalu keluar kamar menuju ke ruang tengah tempat kakeknya berada.
Di ruang tengah rumah keluarga Aoyama, dua orang—kakek dan cucu—duduk berdampingan menikmati teh yang diseduh oleh sang kakek. Di satu sisi, Aoyama Satoshi, dengan rambut putih panjang diikat rapi ke belakang, duduk santai mengenakan yukata biru tua dengan motif gelombang. Di sampingnya, Kenji duduk dengan rapi sambil memegang cangkir kecil berisi teh.
Mereka mengobrol ringan, sesekali diselingi tawa kecil, hingga akhirnya Kenji melirik ke arah pintu dan bertanya,
“Kakek… siapa tamu yang akan datang hari ini?”
Satoshi menyesap tehnya perlahan, lalu meletakkan cangkir ke atas meja dengan tenang. Ia tidak segera menjawab, malah menatap cucunya dengan senyum misterius.
“Kau akan tahu nanti.”
Kenji mengerucutkan bibir, sedikit kesal tapi juga penasaran. “Kakek selalu seperti itu kalau ada sesuatu yang penting…”
Satoshi tertawa pelan, suara khas seorang pria tua yang sudah melewati begitu banyak kompetisi, shokugeki, dan sejarah dapur.
Meskipun tidak mendapat jawaban dari kakeknya, rasa penasaran Kenji tidak bisa diredam begitu saja. Ia memandangi cangkir teh di tangannya, lalu melirik ke arah kakeknya yang kini asyik menyimak suara burung dari luar jendela, seolah tidak ingin membocorkan apa pun.
Kenji menghela napas. Ia tahu, jika sang kakek sudah memasang wajah seperti itu, maka tak akan ada satu kata pun yang bisa dipancing darinya. Namun di balik keheningan itu, pikiran Kenji bekerja lebih aktif.
“Teman lama… dan tinggal beberapa hari… kira-kira siapa ya?” Kenji bergumam pelan.
Ia mengingat lagi nada suara kakeknya saat menyebut kata “teman” tadi pagi. Ada nada penuh hormat tapi juga sedikit tantangan di dalamnya. Ini bukan cara bicara biasa. Bahkan saat menjamu rekan bisnis atau chef terkenal pun, Satoshi tidak pernah seperti itu.
Kenji menyipitkan mata, menggulir daftar nama di pikirannya.
“Jangan-jangan…” bisiknya lirih.
Ia mendekatkan cangkir teh ke bibirnya, namun alih-alih menyesap, ia justru bergumam dengan suara nyaris tak terdengar,
“... Nakiri Senzaemon?”
Namanya muncul begitu saja, seperti kilatan dari ingatan dan logika yang tersusun dengan cepat.
Meskipun gumaman Kenji sangat pelan, namun pendengaran Satoshi yang terasah dapat mendengarnya dengan jelas.
Satoshi menoleh perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
“Kau menebak dengan benar, Kenji.”
Kenji langsung tersentak, refleks menegakkan posisi duduknya. “H-hah? Apa Kakek dengar?”
Satoshi terkekeh pelan. “Aku mungkin sudah tua, tapi bukan berarti pendengaranku sudah tumpul.”
Kenji tertawa canggung, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tahu tidak bisa mengelak lagi.
“Umm… aku cuma… menebak,” katanya akhirnya.
“Dan juga… tiba-tiba aku ingat waktu itu Kakek sempat bilang akan mengirim surat. Dan nama penerima di surat itu adalah Nakiri Senzaemon.”
Satoshi mengangkat alis, tampak agak terkesan.
“Lalu tiba-tiba Kakek bilang akan ada teman lama yang berkunjung dan menginap selama beberapa hari…” Kenji melanjutkannya, matanya menatap ke arah cangkir tehnya, “...jadi, kurasa satu-satunya kemungkinan masuk akal ya Nakiri Senzaemon itu.”
“Hahaha… kau memperhatikan hal-hal kecil rupanya. Bahkan nama di surat pun kau ingat.” Ia menepuk pundak cucunya perlahan, dengan ekspresi penuh kebanggaan.
Kenji tersenyum lebar, merasa sedikit bangga karena berhasil menebak.
Satoshi kemudian memandangi teh di depannya, suaranya menjadi sedikit lebih dalam namun tetap tenang.
“Ya… benar. Tamu kita kali ini memang Senzaemon. Sudah lama sekali sejak kami terakhir bertemu. Dulu kami sering bertukar tantangan di dapur… dan mungkin, saling membuat pusing satu sama lain.” Ia terkekeh kecil, penuh nostalgia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments