Reinkarnasi Ke Dunia Shokugeki No Soma
Distrik Minato, Tokyo.
Sebuah kawasan yang mencerminkan keseimbangan antara kemegahan masa lalu dan denyut modernitas masa kini. Di sini berdiri gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi bersama kuil-kuil tua yang tetap setia menjaga sejarah. Jalan-jalan lebarnya dipenuhi mobil-mobil mewah dan langkah kaki pejalan yang terburu waktu. Namun, di sela hiruk-pikuk kota metropolitan ini, masih ada sudut-sudut tenang yang menyimpan cerita keluarga turun-temurun.
Di salah satu area perumahan eksklusif distrik ini, tersembunyi di balik gerbang besi tempa dan dinding batu tua yang dipelihara dengan cermat, berdiri sebuah rumah besar yang tampak mencolok namun anggun.
Bangunannya memadukan gaya arsitektur klasik Jepang, dengan atap genteng melengkung dan taman batu yang rapi. Kemudian ada juga sentuhan modern berupa jendela kaca besar, garis-garis tegas minimalis, dan pencahayaan hangat dari lampu gantung kontemporer. Inilah kediaman keluarga Aoyama, keluarga terpandang yang dikenal di kalangan koki dan pemilik restoran bergengsi di Tokyo.
Dari dalam rumah luas itu, aroma harum tumisan bawang putih dan kecap asin menguar dari dapur yang bersih dan modern, namun masih mempertahankan sentuhan kayu gelap dan rak-rak bumbu tradisional yang mengingatkan pada zaman dahulu.
Tiba-tiba, terdengar langkah kecil berlari tergesa.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun muncul dari balik pintu dapur sambil membawa sebuah piring besar berisi nasi goreng. Wajahnya cerah penuh semangat, mata cokelatnya berbinar, dan rambut hitamnya sedikit berantakan karena semangat yang menguap. Dengan langkah riang yang sedikit terseret karena beban piring, ia berteriak lantang sambil tersenyum lebar.
“Kakek! Coba ini! Aku masak sendiri!”
Nasi goreng di atas piring itu tampak sederhana, dengan potongan telur, irisan sosis kecil, dan sedikit daun bawang di atasnya. Namun, aroma hangat dan harum yang mengepul dari hidangan itu menandakan upaya tulus dari tangan kecil yang baru saja mengenal dunia masak-memasak.
Dari ruang tamu yang bergaya klasik dengan meja rendah dan lantai tatami, seorang pria tua berambut perak yang duduk membaca koran menoleh perlahan. Senyum tipis mengembang di wajahnya yang dipenuhi keriput, bukan karena lelah, melainkan karena penuh kenangan.
Ia meletakkan korannya, lalu menatap cucunya yang kini sudah berdiri di depannya dengan penuh harap.
“Kalau begitu,” ucap sang kakek, suaranya dalam dan tenang, “biar Kakek cicipi… nasi goreng buatan calon chef keluarga Aoyama.”
Anak itu kemudian memberikan piring nasi goreng tersebut kepada kakeknya. Sang kakek mengambil piring itu, kemudian mengangkat sendok perak kecil yang ada di sisi piring. Ia mengambil sesuap nasi goreng buatan cucunya, lalu perlahan menyuapkannya ke dalam mulut. Wajahnya tidak menunjukkan perubahan berarti. Ia tetap tenang, seperti sedang mencicipi hidangan seorang koki profesional, bukan masakan buatan anak kecil.
Anak itu menahan napas. Matanya melebar, menatap wajah sang kakek dengan harap-harap cemas. Kedua tangannya menggenggam celana pendeknya erat-erat, berdiri tegak seperti sedang diuji.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, sang kakek menelan suapan itu perlahan, meletakkan sendoknya ke samping piring dengan suara pelan, lalu memandang cucunya.
“Kenji,” ucapnya lembut namun mantap.
“Ya, Kek?”
“Ke sini sebentar.”
Kenji segera melangkah mendekat. Langkahnya cepat tapi tertahan, seperti takut tapi ingin tahu.
Begitu ia cukup dekat, kakek itu mengangkat tangannya dan menepuk kepala Kenji perlahan. Tepukan itu bukan hanya lembut, tapi juga dalam, penuh kasih sayang dan makna. Tangan keriput itu kemudian bergerak perlahan, mengelus rambut cucunya.
“Bagus,” katanya. “Kau sudah berani mencoba, dan itu hal terpenting. Rasa nasi gorengmu… belum sempurna, tapi ada potensi.”
Kenji menatap kakeknya dengan mata berbinar, meskipun sedikit kecewa karena belum mendapat pujian penuh.
“Pertama,” lanjut sang kakek, “nasi yang kamu pakai masih terlalu lembek. Untuk nasi goreng, sebaiknya pakai nasi yang sudah agak kering, minimal semalaman di kulkas. Kalau terlalu basah, bumbunya tidak akan meresap dan teksturnya jadi terlalu lengket.”
Tepuk pelan kembali jatuh ke kepala Kenji, membuat anak itu hanya bisa mengangguk pelan.
“Kedua… kamu perlu lebih percaya diri saat menumis bumbunya. Bawang putihmu belum cukup harum. Mungkin kamu terlalu takut gosong. Ingat, aroma itu yang menggoda selera.”
Kenji membuka mulutnya sedikit, ingin membalas, tapi hanya mengangguk lagi.
“Dan yang terakhir…” Kakek tersenyum tipis. “Sedikit kecap asin akan menyeimbangkan rasa. Sekarang masih terlalu netral.”
Setelah menuturkan kekurangan-kekurangan pada nasi goreng itu, sang kakek tetap mengelus kepala Kenji dengan lembut, seolah ingin menyeimbangkan teguran dengan kasih sayang yang tidak pernah berkurang.
“Bersemangatlah,” ucap kakeknya, kali ini dengan suara yang lebih hangat, “kau sudah berada di jalan yang benar, Kenji.”
Kenji tersenyum malu-malu, lalu membungkuk sedikit, sopan seperti yang diajarkan keluarganya sejak kecil.
“Terima kasih, Kek…”
Kenji pun mengambil kembali nasi goreng itu dan berbalik menuju dapur. Sekarang dia perlu menghabiskan nasi goreng ini dan membereskan dapur yang sudah digunakannya tadi. Namun sebelum ia melangkah jauh, suara kakeknya kembali terdengar, tenang namun cukup jelas.
“Kenji…”
Langkah anak itu terhenti. Ia menoleh.
“Nanti siang… akan ada tamu Kakek yang datang. Teman lama. Dia akan datang menginap beberapa hari di sini.”
Kenji mengangkat alisnya sedikit, lalu mengangguk patuh.
“Baik, Kek.”
Sang kakek menatap cucunya dengan tatapan yang dalam. Sejenak, seperti ada sesuatu yang tidak diucapkan. Tapi ia hanya membalas dengan anggukan pelan, lalu kembali meraih koran di pangkuannya.
Kenji pun melanjutkan langkahnya kembali ke dapur, namun kali ini dengan rasa ingin tahu yang baru. Siapa teman Kakek? Kenapa dia menginap? Dan seberapa dekat pertemanan mereka?
Sejauh yang Kenji tahu, karena status keluarga mereka, hanya sedikit orang yang dapat disebut teman oleh kakeknya.
Bagi banyak orang, nama Aoyama adalah simbol prestise, dedikasi, dan warisan dalam dunia kuliner Jepang. Di balik keanggunan rumah besar mereka di Minato, tersimpan sejarah panjang tentang generasi demi generasi yang mengabdikan hidupnya pada seni memasak.
Dan di puncak silsilah keluarga itu berdiri Aoyama Satoshi, kakek Kenji, sosok yang namanya dihormati sejajar dengan para legenda. Dijuluki sebagai “Pahlawan Makanan,” Aoyama Satoshi adalah koki yang tidak hanya memenangkan kompetisi bergengsi dan memimpin restoran bintang lima, tetapi juga menjadi pelopor dalam menjembatani teknik makanan tradisional Jepang dengan inovasi kuliner modern.
Keberaniannya menciptakan harmoni baru di piring makan membuatnya diakui sejajar dengan Raja Iblis Makanan, Nakiri Senzaemon, seorang tokoh yang dikenal karena ketegasan dan superioritas mutlaknya dalam dunia memasak.
Namun berbeda dari aura mengintimidasi milik Senzaemon, Aoyama Satoshi dikenal sebagai pribadi hangat dan bersahaja. Ia bukan hanya seorang ahli rasa, tapi juga seorang pendidik sejati yang meyakini bahwa setiap orang bisa menemukan makna hidup mereka melalui makanan, selama mereka mau mendengarkan bahan-bahan dan memasak dengan hati.
Tak heran jika cucunya, Kenji, sejak kecil telah menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada dapur. Bukan karena tekanan, bukan karena nama besar keluarga, tapi karena ia tumbuh di tengah aroma dashi yang lembut di pagi hari, bunyi wajan yang menari di atas api, dan cerita-cerita legendaris tentang pertarungan rasa yang diceritakan oleh kakeknya sebelum tidur.
Bagi Kenji, menjadi chef bukanlah tujuan… tapi panggilan. Dan walau tangannya masih kecil, dan bumbunya sering kali tak seimbang, semangatnya sudah menyala dengan terang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Karpet tempur
Pengen cepat lanjut!
2025-06-14
0