Duda Tapi Perjaka
Jangan cari konflik berat di sini, cukup beban hidup aja yang berat😄 Cerita ringan~
Please Baca NOTED di BAWAH sebelum lanjut...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mentari mulai menyembul dari peraduan. Sinarnya menghangatkan semua makhluk di bumi. Segala aktivitas pun telah dimulai.
Tak terkecuali seorang anak laki-laki yang kini berusia 14 tahun. Gandhi, nama yang disematkan untuk anak tersebut. Ia dirawat dan dibesarkan sejak masih bayi oleh seorang paruh baya yang tidak dikaruniai anak dalam pernikahannya.
"Bunda, Gandhi berangkat ya, Bun," pamit anak laki-laki mencium punggung tangan wanita yang telah merawatnya. Diikuti oleh Santi yang juga merupakan anak angkat Bunda Hanin.
"Hati-hati, ya. Jaga Santi, antar sampai sekolah," pesan Bunda menyerahkan dua kotak berisi brownis bertabur ceres warna-warni.
"Siap Bunda! Ayo, San!"
Satu tangan Gandhi membawa 2 kotak brownis yang akan dititipkan pada kantin sekolah menengah pertama. Sedang satu kotak lagi yang dibawa Santi akan dititipkan di kantin sekolahnya yang masih duduk di sekolah dasar.
"Da da! Bunda. Assalamu'alaikum!" ucap Gandhi dan Santi bersamaan.
"Wa'alaikumsalam," sahut Bunda melambaikan tangan dengan seulas senyum.
Ia bersama adik perempuannya berjalan menyusuri padatnya jalan raya dengan menenteng kotak-kotak berisi brownis.
Tak ada yang mengira mereka bukan saudara sedarah. Gandhi sangat menyayangi adiknya itu. Tangan kanannya menggenggam lengan kecil Santi saat hendak menyeberang.
Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan memastikan semua kendaraan sudah berhenti saat lampu hijau pejalan kaki menyala.
"Ayo, San!" ajak Gandhi mulai melangkah di area yang sudah ditentukan.
"Iya, Mas." Santi menyamakan langkah dengan sang kakak. Mereka selalu menjalani hari-hari dengan bahagia.
Kesederhanaan tidak membuat mereka berkecil hati. Bunda terus mengajarkan untuk selalu bersyukur. Karena itulah tidak pernah ada rasa iri di hati mereka kala melihat teman-teman seusianya berangkat dan pulang sekolah menaiki mobil mewah.
Sampailah kedua anak itu di pangkalan angkot. Tak ada yang menyadari sepasang manik sipit mengawasi setiap langkah mereka.
Gadis kecil berkuncir dua mengenakan seragam putih merah di dalam sebuah mobil alphard. Ia selalu meminta sopir mengantarnya berangkat pagi hanya karena ingin mengamati dua kakak beradik tersebut. Chaca, begitulah orang-orang memanggilnya. Ia seumuran dengan santi. Mereka baru duduk di kelas 1 sekolah dasar.
Terbesit rasa iri di hatinya, karena selalu melihat seorang kakak yang menjaga dan menyayangi adiknya dengan tulus.
Berbeda dengan dirinya, yang tidak mempunyai saudara. Ia anak tunggal dari sepasang suami istri yang memiliki beberapa perusahaan ternama di Kota Malang.
Ia bahkan sangat jarang bertatap muka dengan kedua orang tuanya. Karena kesibukan mereka masing-masing.
Chaca tumbuh dan dibesarkan oleh pengasuhnya sejak bayi. Sedih, meski bergelimang harta, Chaca tidak pernah merasakan kehangatan keluarga.
Pandangan Chaca beralih ke depan kala melihat Gandhi dan Santi yang sudah menghilang bersama angkutan yang ditumpanginya.
"San, nanti kalau pulang hati-hati, ya," pesan Gandhi membelai rambut Santi.
"Tenang aja, Mas. Santi udah hapal kok sekarang. Mas nggak usah keluar nanti buat antar Santi," terang Santi tertawa lebar.
Gandhi yang kini duduk di bangku sekolah menengah, harus izin keluar kelas saat jam menunjukkan waktu pulang Santi, untuk mengantarkannya sampai naik ke angkot.
"Bener ya, udah hapal. Terus kalau nyabrang nanti ngikut sama orang-orang. Atau minta tolong sama sopir angkot, nih uang jajannya," terang Gandhi mengulurkan selembar uang sepuluh ribu rupiah.
Cukup untuk naik angkot satu kali, dan sisanya untuk jajan Santi. Terkadang ia harus rela menahan lapar kala bunda tidak memiliki uang.
"Siap komandan!" Gaya Santi sedang hormat seperti saat ia sedang upacara bendera. Mereka cekikikan di angkot. Tak terasa sudah sampai di depan sekolah Santi.
Mereka pun turun, Gandhi masih menggandeng lengan adiknya itu. Dengan menoleh ke kanan, kiri memastikan aman untuk menyeberang, ia berjalan santai.
"Mamang, berenti sebentar," pinta Chaca pada sang sopir.
Ia bersekolah tak jauh dari sekolah Gandhi dan juga Santi. Entah kenapa, Chaca tertarik dengan keakraban dua saudara itu. Sampai rela membuntuti mereka.
Santi dan Gandhi berjalan sambil sesekali bersenda gurau. Membuat Chaca tersenyum miris, merasakan hidupnya yang kesepian sejak kecil.
"Da, Santi semangat sekolahnya, ya. Jangan lupa titip brownis sama ibu kantin dulu," ujar Gandhi tersenyum lebar sambil mengangkat kotak yang sama dengan yang dipegang Santi.
"Iya, Mas. Ini langsung ke kantin," sahut Santi melambaikan tangannya dengan senyum yang lebar pula.
Setelah memastikan sang adik masuk ke sekolah dengan selamat, Gandhi berjalan hanya beberapa meter saja untuk sampai di sekolahnya. Memang mereka sekolah di sebuah yayasan yang mengelola mulai dari SD, SMP dan SMA.
"Mang, tolong nyebrang dong. Aku mau makanan yang dibawa Mas-mas itu," ujar Chaca menunjuk ke arah Gandhi.
"Tapi, Neng. Mamang takut kalau makanannya enggak hegienis, nanti dimarahin Nyonya," sahut Mang Maman--sopir pribadi Chaca.
"Ayolah, Mang. Jangan bilang sama Mama atau Papa. Buruan, Mang! Nanti keburu masnya masuk ke sekolah," paksa Chaca pada sang sopir.
Meski awalnya ragu, ia tetap menuruti permintaan nona kecilnya itu. Tentunya akan merahasiakannya dari Nyonya besarnya.
"Baiklah, Neng di sini saja. Biar Mamang yang belikan," ucap Mang Maman dengan pasrah.
Chaca mengangguk bersemangat. Mang Maman pun turun setelah diberikan dua lembar uang lima puluh ribuan.
Mang Maman memborong semua brownis yang dibawa oleh Gandhi. Awalnya ia terkejut tidak percaya, bahkan uang pembayarannya pun lebih.
"Terima kasih banyak, Pak. Sudah memborong brownis saya," ucap Gandhi membungkuk dengan senyum melebar.
"Tapi, maaf, Pak. Saya enggak punya kembalian, totalnya cuma 70 ribu," sambung Gandhi setelah menerima pembayaran.
"Tak apa, kembaliannya buat kamu saja." Mang Maman lalu berbalik dan melenggang pergi.
Gandhi masih melongo tak percaya. Sampai punggung Mang Maman menghilang masuk ke mobil dengan pesanan Chaca.
"Alhamdulillah, Bunda," ucapnya penuh syukur dengan mata berkaca-kaca.
Chaca yang melihat dari balik jendela, tersenyum. Ia turut merasa bahagia. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa meter saja.
"Makasih ya, Mang," ucap Chaca turun dari mobil membawa dua box brownis dengan tangan mungilnya.
Sesampainya di kelas, Chaca membagi-bagikan semua brownis tersebut kepada teman-temannya.
"Wah dalam rangka apa nih, Cha?"
"Makasih ya, Cha."
"Sering-sering ya, Cha."
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan dari teman-temannya. Chaca, bocah periang yang suka sekali memiliki banyak teman.
Namun, hampir ke semuanya hanya memanfaatkannya. Banyak yang selalu minta traktir, minta contekin tugas dan masih banyak lainnya. Tak ada yang benar-benar tulus bermain dengannya.
Sejak hari itu, Chaca selalu mengikuti Gandhi setiap berangkat sekolah. Ia juga selalu memborong semua dagangan yang Gandhi bawa.
Bersambung~
Hai, buat semua readers kesayangan, thanks buat pembaca lama. Welcome untuk yang baru gabung.
Mohon maaf ya karya ini sudah direvisi total. Jadi jangan pusing kalau nggak nyambung komen sama isinya😄 makasih yang mau mampir. Dan makasih banyak gift serta votenya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Griselda Nirbita
aku mampir kak
2024-07-22
0
Qaisaa Nazarudin
Dari kecil aja Chaca udah kelihatan tuh sifat baik nya, Semoga ke dia besar ya sifat baiknya kek gitu..🤲🤲🤲
2023-11-29
1
🌈Pelangiku
baru Nemu cerita ini..
awal cerita yg menarik dgn kalimat yg bagus dan enak dibaca👍💙
2023-09-21
1