“Bisa tidak lebih peka satu inchi saja!”
“Siapa? Aku? Dengan siapa? Kate?”
“Wema!!!!” teriak Syaina, jika sudah tidak memanggil sebutan kakak, itu pertanda Syaina benar-benar marah.
“Syaina aku bener-bener tidak mengerti, bisa tolong jelaskan saja, kalau kamu terus saja marah dengan kata-kata seperti itu percuma, kakak gak ngerti.” Wema memang tidak tahu duduk perkara dan hal yang dibahas oleh adiknya.
“Bisa tidak menyempatkan waktu sedikit saja untuk Kate, dia sudah merasa kalau kakak berubah, yah … walaupun dulu kakak orangnya memang sangat cuek sekali dan selalu mementingkan kepentingan diri sendiri tapi sekarang kakak ada Kate, calon isterimu!” papar Syaina.
“Dia tidak bilang apa-apa padaku?” jawab Wema polos.
“Kate itu orangnya baik, dia ingin kamu tahu sendiri kalau dia butuh kakak.”
“Kenapa kami kaum laki-laki yang harus selalu mengerti terhadap wanita, bukan sebaliknya,” protes Wema.
“Kakak!!!”
“Aku itu kerja, bukan main-main, lagipula perusahaan papa di pusat yang mengurus kan aku jadi wajar kalau sibuk,” seru Wema.
“Tolong setelah pertunanganku ini, kakak sempatkan dan luangkan waktu untuk Kate, perbaiki hubunganmu dengan Kate ya ...,” pinta Syaina tulus.
“Seperti anak kecil saja, bukankah dia juga bekerja.”
“Ya perlu dong, kakak mau kalau nanti Kate ada yang ngambil? Bukankah dia juga bertemu banyak orang dan mungkin salah satunya ada yang lebih perhatian dari pada kakak, who knows?” goda Syaina.
“Apa-apaan ucapanmu itu.” Walau terlihat biasa saja mendengar ledekan Syaina tapi dalam hati Wema sedang terjadi gejolak yang luar biasa.
****
Wema mencari Kate ke segala penjuru rumahnya sambil terus saja terngiang kata-kata adiknya yang terakhir. Akhirnya Wema menemukan Kate di tepi kolam ikan di taman belakang. Wema mendekati Kate pelan sengaja ingin membuat Kate terkejut sayangnya bayangan Wema terlihat jelas oleh Kate tapi Kate berpura-pura tidak sadar akan kehadiran Wema.
“Ehmm ....” Wema mencoba berdehem. Lalu batuk batuk yang disengaja. Kate hanya melirik sebentar dan sedikit menahan senyumnya. Wema pun sudah berada disampingnya.
“Ikannya berenang-renang ya?” tanya Wema yang sedang membuka percakapan namun ampun garing banget.
Kate menahan senyum. “Dari dulu kenapa untuk yang satu ini tidak ada kemajuannya?” ujar Kate menyindir sikap Wema yang payah jika berbasa basi dengan perempuan yang disukainya.
“Apanya?” tanya Wema bingung.
“Basa-basimu.” jawab Kate singkat.
“Bukankah kau juga seperti itu?” sahut Wema tak mau disalahkan.
“Hei ... kamu ingin memutar balikkan fakta?” gugat Kate.
“Memang begitu.” Wema tidak mau kalah.
“Lantas? Ikannya berenang-renang ya ….” Kate mengulang kata-kata Wema dengan nada setengah mengejek.
Pria yang memakai setelah jas hitam itu mendesis. Kesal. “Hei ... itu karena aku selalu tidak bisa berbasa-basi dihadapanmu,” aku Wema.
“Benarkah? Kenapa?”
“Iya karena aku akan selalu tampak bodoh jika basa basi di depan orang yang aku cintai,” jawab Wema sembari merangkul bahu Kate, sengaja. Sebenarnya Kate sudah tahu akal bulusnya Wema, namun Kate membiarkannya, dia malah menyandarkan kepala ke bahu Wema.
“Kate bisakah kau memaafkan aku, aku salah telah membagi hati dengan pekerjaan, seharusnya kau nomor satu dihatiku.” Mendengar permintaan itu Kate memandang wajah Wema.
“Salah, ada seseorang yang bilang padaku bahwa aku ini nomor empat dihatimu,” ingat Kate.
“Benarkah? Bukankah ini adalah hatiku kenapa ada orang yang lebih tahu daripada aku,” sahut Wema bingung.
Sementara itu Kate hanya tersenyum, kemudian Wema bertanya, “Lantas siapa juaranya itu, aku ikut penasaran juga?”
“Katanya sih, nomor satu sampai tiga ditempati oleh adikmu tersayang.”
“Syaina yang bilang? Begitukah? Dasar! Aku beri tahu ya, sebenarnya kalian berdua adalah nomor satu dihatiku.”
“Dimana-mana tidak ada juara dua orang,” protes Kate.
“Aku yang memberlakukannya, ini kan hatiku, aku pemiliknya, aku berhak memenangkan siapa saja yang ku inginkan,” terang Wema sambil mendekap tubuh Kate. Saat Wema ingin mencium, Kate menghentikannya.
“Kenapa?”
“Aku tidak mau ikan-ikan yang sedang berenang-renang itu melihat.”
“Mereka sudah kusuap untuk tutup mata,” elak Wema. Kemudian Wema mencium kening Kate.
Sambil mendekap Kate, Wema berbicara lirih. “Aku tidak ingin siapapun mengambilmu dariku, aku tidak akan pernah rela karena kamu adalah milikku.” bisikan Wema membuat Kate tersenyum bahagia. Ditempat yang tidak begitu jauh sekitar empat meter dari arah adegan romantis itu ternyata ada seseorang yang sejak tadi mengawasi Kate dan Wema. Syaina tersenyum bahagia seperti Kate. Syaina senang bisa mengembalikan keharmonisan kakak dan calon kakak iparnya. Harry juga sudah lama berdiri disebelah Syaina.
“Bukankah mengintip itu tidak boleh?” tanya Harry.
“Jika yang diintip tidak tahu, itu diperbolehkan,” jawab Syaina nakal.
“Hukum apa itu?” timpal Harry, “Tidakkah sekarang kamu ingin seperti mereka?” lanjutnya.
“Itu sih keinginanmu, tergambar jelas diwajahmu, bagiku kita belum sampai ke level seperti mereka.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Syaina pergi meninggalkan Harry.
“Aku tahu” ucap Harry lirih, setelah Syaina sudah tidak bediri disampingnya.
****
Semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan, ada papa dan mama Syaina, Wema, serta Syaina. Saat sarapan berlangsung, suasana hening, tidak ada suara decapan mulut yang terdengar bahkan suara sendok garpu dan pisau yang menyentuh piring keramik itu pun seperti ada peredam suaranya, dalam senyap Syaina membuka pembicaraan.
“Pa, ma, Syaina mau ke luar negeri untuk beberapa bulan,” pamit Syaina.
“Ke mana sayang?” tanya mama.
“Indonesia,” jawab Syaina singkat. Sontak mama Syaina kaget.
“Bukankah negara itu sangat jauh?” tanya papa Syaina.
“Iya, aku memang sengaja memilihnya.”
“Kenapa harus ke sana?” tanya Wema.
“Kebetulan aku mendapat kontrak kerja disana, lagipula aku ingin ziarah ke makam kakek dan nenek, boleh kan ma … pa ...,” rengek Syaina.
“Indonesia ya, mama juga sebenarnya ingin ke sana.” Raut wajah mama Syaina jadi berubah murung. Mama Syaina juga sangat kangen dengan kampung halamannya. Melihat perubahan istrinya, papa Syaina berusaha menyemangati istrinya dengan menggenggam tangan istrinya yang duduk disebelahnya.
“Berapa lama kamu di sana?” tanya papa Syaina yang masih meletakkan tangannya di atas tangan mama Syaina.
“Kontraknya sih tiga bulan, tapi masih bisa diperpanjang,” papar Syaina datar tapi dalam hati dia amat teramat ingin pergi.
“Baiklah kalau itu keinginanmu, tapi jika tanggal pernikahanmu sudah ditentukan, kamu harus siap pulang,” ucap papa Syaina tegas.
“Iya, aku tahu. Terima kasih, pa,” jawab Syaina dengan seruan yang terdengar ada nada suka cita di dalamnya. Dan tampak raut kegembiraan dalam wajahnya, hal tersebut membuat semua keluarganya juga ikut gembira.
“Kapan kamu berangkat?” tanya Wema.
“Tiga hari lagi, untuk itu kalian semua mulai sekarang sampai keberangkatanku luangkan waktu untukku ya?” pinta Syaina dengan wajah memelas. Sehingga membuat semua langsung menyetujui permintaan Syaina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments