Malam telah tiba. Kate sudah ada di kamar Syaina. Mereka kini sedang duduk di atas ranjang dengan posisi santai. Sudah memakai piyama masing-masing.
“Bagaimana bibi tadi, pasti marah ya?” tanya Syaina.
“Seperti tidak tahu ibuku saja. Ibuku tidak akan marah. Karena apa? karena kita sudah sering melakukannya,” kelakar Kate.
Syaina tersenyum. “Dulu waktu kamu sakit, malah aku yang terus menemanimu bahkan sampai tidur di rumahmu. Sampai kamu sembuh,” kenangnya.
“Padahal sudah dibujuk ice cream kesukaanmu, tetap tidak mau pulang,” imbuh Kate.
“Benar. Semua rayuan Kak Wema pun gak ada yang mempan untuk bisa membawaku pulang,” timpal Syaina.
Kedua teman karib itu pun tertawa kencang dan tiba-tiba Syaina menghentikan tawanya. “Kamu sudah bertemu kakakku?” tanyanya sembari menoleh ke arah sang sahabat.
Pertanyaan Syaina membuat Kate tampak kesal. Tapi tetap ia jawab dengan jawaban singkat. “Belum.”
“Bukannya tadi sore dia sudah pulang, apa dia belum ke rumahmu?” tanya Syaina heran.
“Tau tuh,” jawab Kate sekenanya.
“Ada apa?” selidik Syaina.
Kate hanya menggelengkan kepala.
“Hei … Jangan menyimpan masalah sendiri, tidak baik untuk kesehatan loh,” papar Syaina.
“Dia akhir-akhir ini berubah, jarang menghubungiku. Tadi sebelum ke kamarmu, sewaktu aku berpapasan dengannya, dia biasa saja, gak ada ekspresi kangen,” curhat Kate.
“Kalian bertengkar?”
“Bagaimana bisa bertengkar, berkomunikasi saja jarang,” suara Kate pelan, raut wajahnya pun berubah, melihat hal itu Syaina pun mencoba menghibur calon kakak iparnya.
“Ah … mungkin Kak Wema sedang sibuk, bukannya kemaren pembukaan cabang di Perancis?”
“Wema juga bilang seperti itu. Tapi ….” Kate menghentikan perkataannya.
“Katy cerry sweety … kamu mengenal Kak Wema kan tidak satu, dua tahun tapi sudah dua puluh lima tahun, bagaimana keseharian Kak Wema, sifatnya, semuanya, kamu pasti sudah tahu kan?”
“Na, tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat dimengerti secara utuh oleh siapapun, bahkan orangtua kita sendiri,” tukas Kate. Mendengar itu Syaina serta merta memeluk Kate, mencoba menenangkan sahabatnya. “Tenanglah, Kak Wema itu setia kok, kamu masih nomor empat dihatinya” goda Syaina kemudian.
Kate melepas pelukan secara paksa. Sebab ia hendak protes. “Hei, nomor empat? Terus siapa itu rangking satu sampai tiganya?” seru Kate.
Syaina bergeming. Bungkam. Tidak mau menjawab.
“Syaina ….” seru Kate gemas sambil mengguncang badan sang sahabat.
Karena penasaran, Kate sampai harus menggoyang-goyangkan tubuh Syaina terus menerus.
“Iya iya aku jawab, jelas yang pertama aku dong,” aku Syaina.
Kate mengangguk. Tangannya ikut menghitung. “Terus yang ke duanya?” ucap Kate makin penasaran.
“Aku lah.”
“Ketiganya?”
“Aku lagi pastinya,” jawab Syaina untuk ketiga kalinya.
“Dasar !” Kate pun memukuli Syaina dengan guling. Mereka pun perang bantal. Setelah capek, mereka berbaring. Kate kemudian ingat sesuatu lalu langsung bangun dengan gerak cepat.
“Bukannya aku ke sini untuk menghiburmu, kenapa malah kamu yang menghiburku?” protes Kate sambil bersedekap.
“Kate, sejak Kak Bryan tiada, kamu selalu menghiburku, mencoba membuatku tertawa, dan selalu meluangkan waktumu untuk mengajakku jalan-jalan dan itu hanya sekedar untuk menyibukkanku. Sekarang saatnya aku yang menghiburmu. Bukannya sebagai seorang sahabat kita harus saling mensuport? Benarkan? Lagi pula aku tidak mau menjadi sahabat yang egois.”
Kate tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya tersenyum mendengar perkataan Syaina. Bagi Kate, Syaina sudah seperti saudaranya. Kate adalah anak tunggal, sejak kecil Syaina lah teman bermainnya.
“Kamu sudah benar-benar yakin dengan Harry?” tanya Kate sambil peluk bantal.
Syaina tampak menghela napas sebelum menjawab. “
Entahlah, mungkin dia memang takdirku.” Ekspresi Syaina datar dan helaan nafasnya pun panjang.
“Baiknya Harry sama dengan perhatiannya Bryan, dan pertunangan ini juga harus terjadi agar perusahaan papa tidak mengalami kegoncangan lagi seperti dulu, jika waktu itu Harry tidak membeli saham di perusahaaan papa, aku tidak tahu apa yang terjadi terhadap papa dan mama,” papar Syaina lagi.
“Tidak ada laki-laki yang sebaik Harry. Syaina, dia tulus mencintaimu,” ingat Kate.
“Aku tahu.” Syaina mendesahkan kebimbangan.
“Hei, setelah tunangan, apa yang akan kau lakukan?” tanya Kate untuk mengalihkan pembicaraan yang sepertinya sudah membuat sahabatnya murung kembali.
“Yang jelas bukan menikah, karena harus kau dulu,” ejek Syaina.
Wajah Kate memerah.
“Sambil menunggu perkembangan dari kalian, aku akan ke Indonesia,” lanjut Syaina.
Kate tercengang mendengar pernyataan sahabatnya.
“Sssttttttt…….. jangan bilang siapa-siapa dulu ya, kamu orang pertama yang tahu,” ujar Syaina sekali lagi.
“Kenapa sejauh itu dan untuk apa ke sana?”
“Ada seorang artis Indonesia yang butuh bantuanku, lagi pula aku kangen kakek dan nenekku dan juga ada seseorang yang ingin kutemukan.”
“Aku bagaimana di sini, aku pasti kesepian. Btw … seseorang siapa? Apa aku kenal?”
Syaina menggelengkan kepala. “Seseorang itu … ah sudahlah. Dia bukan siapa siapa. Tapi entah kenapa aku ingin menemukannya. Tapi kenapa kamu bilang kesepian? Kan ada Kak Wema, kalau dia tidak mau menemanimu akan ku gunakan jurus bela diriku untuk menghajarnya,” ujar Syaina sambil mempraktikkan gerakan bela diri yang ia kuasai hanya bagian gerakan tangan saja.
“Seseorang siapa sih? Jangan bikin orang penasaran, ayo katakan,” Syaina hanya geleng kepala. Tanda dia tidak mau mengatakannya. Sementara itu Kate terus saja merajuk, Syaina pun menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Syaina…………..!!!!!” teriak Kate, tapi Syaina makin menutup rapat selimutnya. Kate pun menyerah. Tidak beberapa lama Kate sudah tertidur pulas. Namun Syaina sedikitpun tidak bisa memejamkan matanya. Bayangan hari-hari bersama Bryan terus saja terlintas dalam benaknya. Bagai ratusan slide-slide yang tidak bisa terremove, walaupun sudah di delete berkali-kali.
Syaina menuju balkon, menepi memegang batas, menengadah melihat bintang di langit, suatu kebiasaan yang Syaina lakukan semenjak bertemu dengan seseorang. Kini hari lima belas, tampak bulan bundar memandang seorang gadis yg sedari tadi berdiri menerawang ke arahnya berada, seakan-akan sang gadis mengajaknya berbicara. Syaina tampak galau, rambut pirang nan panjang yang lurus, ia biarkan terurai terhempas angin malam yg juga menusuk tulang rusuk tubuh langsingnya itu. Sepertinya Syaina sedang memegangi sebuah cincin dengan manik-manik bintang yang saat ini dipandanginya namun bintang itu seperti tak utuh. Yap, ternyata bagian belahan lainnya berada pada orang yg memberikan cincin itu padanya.
Kenapa kamu lakukan ini padaku?
****
Pesta sudah berlangsung, semua kerabat dekat dari kedua belah pihak sudah datang. Syaina menjadi pusat perhatian saat menuruni satu persatu anak tangga, Syaina tampak anggun dan terlihat makin cantik dengan gaun merah muda serta rambut panjangnya yang sengaja di catok curly tertata apik, namun ada yg kurang dari semua itu yaitu senyuman. Sepertinya Syaina sadar dengan kekurangan itu, dia mencoba memasang senyuman senatural mungkin namun sayangnya Harry melihat itu.
Pertunangan pun berjalan lancar, cincin dari Harry sudah melingkar dijari manis Syaina. Walaupun sudah bertunangan hati Syaina masih milik oran lain, batin Harry dalam hati.
“Selamat untuk kalian berdua ya,” ucap Wema sambil menepuk bahu Harry.
“Terima kasih, Kak.” Harry dan Wema pun mengobrol basa-basi, sedang asyiknya ngobrol tiba-tiba Syaina datang mengampiri mereka.
“Kak, aku ingin bicara sebentar. Harry sebentar ya,” pinta Syaina. Kemudian Syaina mengajak Wema ke lantai dua tepatnya di ruangan kerja.
“Ada apa?” tanya Wema heran.
“Apa yang kakak perbuat terhadap Kate?” tanya Syaina dan membuat Wema mengernyitkan dahinya.
“Aku tidak menghamilinya,” jawab Wema sekenanya.
“Jangan bercanda!” wajah Syaina tampak serius.
“Aku seperti bukan kakakmu saja, memangnya kenapa Kate?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments