Aylin duduk di ujung ranjangnya, memeluk bantal erat-erat sambil menatap pintu dengan waspada. Namun lama kelamaan ia merasa lelah dan tak punya pilihan selain membaringkan tubuhnya. Tapi kejadian tadi terus berputar di benaknya, membuatnya takut untuk memejamkan matanya.
"Dasar pria mesum. Pasti sekarang dia nunggu aku lengah." Aylin menggigit bibirnya, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Matanya sudah mulai berat, tapi setiap kali ia nyaris terpejam, bayangan Akay tiba-tiba muncul di kepalanya. Senyum licik pria itu, tatapan penuh godaan, dan suaranya yang dalam menggema di pikirannya.
"Aku pria dewasa, Aylin. Aku bisa melakukan banyak hal kalau aku mau."
Aylin tersentak, napasnya tercekat. Dalam bayangannya, ia kembali teringat bagaimana Akay mengungkungnya di atas ranjang, kedua lengannya yang kokoh menahan sisi kepalanya, napasnya yang hangat menyapu wajahnya. Mata tajam pria itu menatapnya dalam, nyaris seakan menelannya bulat-bulat.
Ia menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena pikirannya sendiri.
Dengan cepat, ia merapatkan selimutnya, menatap pintu kamar yang sudah ia kunci rapat. Tapi tetap saja, itu tidak cukup membuatnya tenang. Bayangan Akay yang terlihat berhasrat dan terlalu dekat dengannya masih melekat di benaknya.
Akhirnya, dengan putus asa, ia menyeret kursi rias dan meletakkannya di balik pintu sebagai tambahan penghalang.
Lebih baik begini… lebih aman.
Ia menghembuskan napas lega, tetapi begitu kembali berbaring, pikirannya kembali dihantui.
"Kita bisa melakukannya dengan cara lain…"
Aylin menjerit kecil dalam hati, buru-buru menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
"AKAY BRENGSEK! GARA-GARA DIA AKU NGGAK BISA TIDUR!"
Namun sesaat kemudian ia langsung duduk, menggelengkan kepala keras-keras. "Jangan sampai ketiduran! Jangan sampai ketiduran!" Ia bahkan menampar pipinya sendiri untuk tetap terjaga.
Lalu, sesuatu terjadi.
Klik.
Aylin menahan napas. Suara itu terdengar samar, seperti ada yang mencoba membuka pintu!
Jantungnya langsung berdegup kencang. Dengan cepat, ia meraih sesuatu—sisir! Ya, sisir! Senjata paling mematikan di kamarnya saat ini!
"A-aku sudah siap berkelahi!" serunya panik.
Namun, setelah beberapa detik, tak ada suara lagi. Mungkin hanya imajinasinya. Atau mungkin, Akay hanya ingin menguji keteguhannya.
"Brengsek! Aku jadi paranoid begini gara-gara dia!"
Pukul tiga pagi.
Pukul empat.
Pukul lima.
Aylin masih terjaga, tapi tubuhnya sudah seperti mayat hidup. Kepala mengangguk-angguk sendiri, mata setengah terpejam. Akhirnya, entah jam berapa, ia benar-benar tumbang.
Keesokan paginya
Aylin tersentak bangun saat suara ketukan keras terdengar dari luar. "Oi, bocah! Bangun! Jangan bilang kamu tidur kaya pangeran putri di menara!"
Dengan kesadaran yang masih setengah jalan, Aylin bangkit dengan mata sembab dan lingkaran hitam di bawahnya. Rambutnya berantakan, berdiri ke segala arah seperti singa yang baru bangun tidur. Pakaian tidurnya kusut masai, salah satu lengannya bahkan nyaris melorot.
Ia menatap dirinya di cermin dan langsung meratap. "Astaga… aku kayak zombie."
Akay kembali mengetuk. "Kalau nggak bangun juga, aku dobrak pintunya!"
Mata Aylin melebar. Ia buru-buru merapikan rambut dengan tangan, lalu berlari ke pintu dan membukanya dengan kasar. "Ngapain sih ribut-ribut?! Aku udah bangun!"
Akay, yang berdiri di depan pintu dengan ekspresi santai, menatap Aylin dari ujung kepala sampai kaki. Bibirnya perlahan melengkung dalam senyuman penuh kemenangan. "Pagi, panda."
Aylin langsung mendengus, menutup pintu kembali dengan suara--BRAK!
Di luar, Akay terkekeh. "Kasihan banget, bocah ini pasti semalaman nggak tidur gara-gara takut aku masuk ke kamarnya."
Sambil berbalik pergi, ia bersiul kecil. Jujur saja, dia cukup terhibur.
Pagi yang Sepi
Akay sudah rapi dengan pakaian kantornya. Kemeja putih bersih membalut tubuh tegapnya, dasinya terikat sempurna, dan jasnya tersampir rapi di bahu. Sarapan sudah tersaji di meja makan—roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Namun, ada satu yang kurang.
Istri kecilnya belum juga muncul.
Menghela napas kasar, Akay melirik jam tangannya. Jika Aylin tidak segera keluar, ia akan benar-benar terlambat.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke kamar Aylin, mengetuk pintu dengan sedikit tak sabar. "Bau Kencur, bangun! Sarapan dulu sebelum aku pergi."
Hening.
Tak ada jawaban dari dalam.
Akay mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Bau Kencur?"
Dari dalam kamar, suara malas terdengar, samar namun cukup jelas. "Aku belum lapar."
Dahi Akay berkerut. Tentu saja ini karena kejadian semalam. Gadis itu pasti masih enggan bertemu dengannya setelah keusilannya yang keterlaluan. Ia menyeringai kecil, sedikit merasa bersalah tetapi tetap menikmati reaksinya.
Namun, waktu tidak berpihak padanya. Jika ia terus membujuk Aylin, ia bisa benar-benar terlambat.
"Kalau begitu, jangan menyesal kalau cacing di perutmu demo dan bikin kerusuhan nanti," ujar Akay sebelum berbalik menuju ruang makan.
"Cacing di perutku punya otak! Mereka nggak asal demo yang nggak guna dan merugikan orang. Mereka tahu etika, nggak sembarangan turun ke jalan!" seru Aylin dari dalam.
Akay menghela napas panjang, menatap sarapannya dengan lelah. "Ya...ya...cacing di perutmu emang beda. Punya prinsip."
Tanpa banyak bicara lagi, ia pun duduk dan mulai menikmati makanannya sendiri.
Biasanya, apartemennya selalu terasa sepi. Tapi entah kenapa pagi ini ada sedikit kekosongan yang mengganggunya.
Setelah menghabiskan makanannya, Akay mengambil jasnya, lalu kembali ke depan kamar Aylin. Ia tidak mengetuk kali ini, hanya bersandar sebentar di daun pintu.
"Aku pergi kerja dulu," katanya datar. "Jangan macam-macam di rumah."
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan Aylin yang masih mengurung diri di dalam kamar.
Aylin menempelkan telinganya ke pintu kamar, mendengar suara langkah kaki Akay menjauh. Kemudian, suara pintu apartemen terbuka… lalu tertutup kembali.
Ia menahan napas.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, ia berjingkat menuju balkon dan mengintip ke bawah. Sosok pria itu sudah benar-benar pergi, menaiki mobilnya dan melaju ke arah kantor.
Aylin menghela napas lega. "Akhirnya..."
Tanpa membuang waktu, ia segera menuju meja makan dan menyambar roti panggang yang tersisa. Sarapan dengan tergesa-gesa, hampir seperti pencuri yang takut ketahuan. Sambil mengunyah, matanya sesekali melirik ke arah pintu, seolah-olah Akay bisa muncul kapan saja.
Begitu suapan terakhir masuk ke mulutnya, ia langsung bergegas ke kamarnya.
"Aku harus keluar dari sini," gumamnya, mengganti pakaiannya dengan cepat. Ia tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Tidak setelah kejadian semalam.
Bayangan Akay yang mengungkungnya di atas ranjang dengan tatapan intens kembali muncul di benaknya.
Aylin bergidik ngeri. "Sialan, pria itu benar-benar gila!"
Meski tahu Akay hanya menggodanya, ia tetap tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pria itu lebih besar, lebih kuat, dan... pria dewasa. Ia tidak ingin mengambil risiko.
Selesai berkemas, ia menarik napas dalam-dalam dan menatap apartemen itu untuk terakhir kalinya. Matanya terhenti di pintu kamar Akay yang tertutup rapat.
Seolah pintu itu bisa terbuka sendiri dan pria itu muncul begitu saja.
Aylin menggigit bibir, buru-buru berjalan menuju pintu. "Aku harus pergi sebelum dia kembali!"
Tanpa menoleh lagi, ia bergegas keluar, meninggalkan apartemen itu dengan langkah cepat dan tanpa niat untuk kembali.
Di Kantor Akay
Langkah kaki Akay mantap saat memasuki kantor. Namun, begitu ia melewati lobby, ia bisa merasakan tatapan-tatapan aneh dari para pegawai yang berseliweran. Mereka tak mengatakan apa pun, tapi jelas ada sesuatu yang membuat mereka menatapnya lebih lama dari biasanya.
Bisik-bisik terdengar ketika ia masuk ke dalam lift. Beberapa karyawan pria saling sikut, sementara yang wanita berusaha menahan senyum sambil berpura-pura tidak melihat.
Akay mengabaikan mereka. Ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian di kantor, tapi kali ini ia merasa ada sesuatu yang lain.
Begitu tiba di lantai atas, ia melangkah keluar lift dan langsung menuju ruangannya, tetapi langkahnya terhenti ketika Yoga, asisten Zayn—atasannya—menghampirinya dengan seringai jail di wajahnya.
"Akay," panggil Yoga dengan nada menggoda. "Kamu habis digigit vampir, ya? Vampirnya cowok atau cewek ?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
sum mia
hadeeechhhh.... bocil kabur lagi . jelas-jelas bikin pusing si Akay .emang butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi bocil bau kencur yang badungnya minta ampun . tambah pekerjaan lagi Akay.... yaitu mencari si bocil istrimu . ya habisnya Akay bikin trauma si bocil sampai-sampai semalaman dia gak tidur hanya karena takut kalau Akay masuk ke kamarnya .
tapi Aylin udah kasih tanda cinta dilehernya Akay hingga dia jadi pusat perhatian .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2025-03-01
3
Fadillah Ahmad
Yess,ada Yoga dong,aku harap Zayn dan Khaira Juga ada di Kantor itu juga ya kak Nana, 🙏🙏🙏 Soalnya Aku Kangen Sama Khaira dan Zayn Kak Nana. 🙏🙏🙏 Dan Aku Juga Mau Request nih kak Nana,Setelah Novel inii Selesai nanti,lanjut Ke Adiknya Zayn Ya kak Nana 🙏🙏🙏
2025-02-28
2
Anitha Ramto
waduh si Aylin kabuuur dan Akay ga tahu...kamu ceroboh Akay harnya di kunci..bawa kuncinya..
Itukah yang membuat para Kariyawan berbisik² gara² Leharnya Ajay di gigit Aylin
2025-03-01
1