Bab 6

Tenggara Karunasankara adalah seorang dokter sekaligus CEO Asteria Company, perusahaan yang didirikan oleh ayahnya, namun diberikan padanya karena ayahnya lebih fokus pada profesi dokter. Selain itu, Tenggara bertugas di rumah sakit milik keluarganya juga.

Tenggara keturunan Jawa. Ayahnya memiliki darah asli Jawa, sedangkan ibunya blasteran Jawa-Belanda. Kaya dan tampan, namun sulit dimiliki. Tenggara bukanlah pria yang dingin atau cuek, dia terkenal ramah pada semua orang. Senyumnya yang menawan membuat para wanita mengagumi nya.

Pagi ini Tenggara berniat mengunjungi pasiennya yang tak lain adalah Alletta Grizellyn.

Tenggara masuk setelah mengetuk pintu ruang rawat Alletta. Terlihat Alletta sedang memainkan ponselnya. Gadis itu tersenyum sopan ke arah Tenggara.

"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Tenggara diiringi senyum tipisnya.

"Masih pusing sedikit, Dok," jawab Alletta dengan jujur.

"Maaf, saya izin periksa, ya..."

Alletta mengangguk. Dia membiarkan Tenggara memeriksa keadaannya. Semoga saya besok dia bisa diperbolehkan pulang. Selain bosan, Alletta juga memikirkan biaya rumah sakit ini.

Semoga saja bulan ini gajinya benar-benar dinaikkan oleh Keandra.

Tepat saat Tenggara selesai memeriksa Alletta, pintu ruangan diketuk, lalu seorang perawat masuk membawa nampan berisi makanan untuk Alletta.

"Silakan dimakan sampai habis ya, biar cepat sembuh," ucap si perawat dengan sopan.

Alletta tersenyum. "Terimakasih, Sus."

"Sama-sama. Saya permisi dulu. Mari, Dok."

Tenggara mengangguk membalas.

Setelah perawat keluar, Tenggara bergerak meninggikan ranjang yang ditempati Alletta agar gadis itu dalam posisi duduk.

"Saya bisa makan sendiri, Dok." Alletta hendak mengambil mangkuk yang dipegang Tenggara, namun pria itu langsung menolak.

"Biar saya yang suapi kamu. Kamu tidak boleh banyak bergerak. Katanya pusing, benar kan?"

Alletta mengangguk kaku. Dia tidak bisa menolak karena yang bicara adalah pakar ahli kesehatan.

Meski tidak ada orangtuanya, Alletta tidak merasa kesepian di kota orang. Ada saja manusia yang mengajukan diri untuk membantu atau menemaninya. Alletta bersyukur sekali karena masih ada orang-orang baik mengelilinginya.

Tenggara terkekeh kecil melihat ekspresi Alletta saat merasakan makanannya.

"Rasanya aneh, ya?" tanyanya dan Alletta mengangguk.

"Agak hambar, tapi masih bisa dimakan," jawab Alletta.

"Tahan dulu, setelah sembuh, kamu bisa makan yang lebih enak dari ini," kata Tenggara.

Alletta hanya tersenyum. Dia kembali membuka mulutnya menerima suapan dari Tenggara.

Hingga suapan ke lima, Alletta menutup mulutnya sambil menggeleng. "Sudah. Saya mual, Dok."

Tenggara mengangguk, dia tidak memaksa. Pria itu mengambil obat dan air untuk Alletta minum.

"Minum obatnya dulu."

Alletta menurut.

Bersama Tenggara, dia merasa tenang. Padahal hanya sebatas dokter dan pasien. Berbeda dengan Keandra yang selalu berakhir cek-cok.

"Kamu bosan?" tanya Tenggara.

Alletta mengangguk. "Saya gak bisa gerak bebas soalnya," ujarnya sambil terkekeh kecil.

"Mau saya antar ke taman? Matahari pagi bagus untuk kesehatan," tawar Tenggara.

Tentu saja Alletta mau. Dia ingin menghirup udara segar pagi ini.

"Mau mau mau!" jawab Alletta antusias.

Melihat itu, Tenggara tersenyum geli. Kenapa gadis di depannya ini sangat menggemaskan?

Tenggara berjalan mengambil kursi roda di sudut ruangan. Di setiap ruang rawat, akan disediakan kursi roda untuk pasien.

"Pelan-pelan aja," ucap Tenggara. Dia membantu Alletta bangun. "Kamu pegang tiang infusnya, ya."

Alletta mengangguk patuh. Dia memegang tiang infus, sedangkan Tenggara bergerak menggendong Alletta ke kursi roda. Jarak sedekat ini, Alletta bisa mencium wangi parfum Tenggara. Wangi manis dan segar. Alletta menyukai wangi Tenggara. Mungkin lain kali dia akan menanyakan parfum apa yang dipakai pria itu.

Setelah memastikan Alletta duduk dengan nyaman, Tenggara segera ke belakang kursi roda dan memegang gagangnya, bersiap untuk mendorong.

"Siap?"

Alletta mengangguk antusias. "Go go go!" serunya.

Tenggara terkekeh kecil. Ia mulai mendorong kursi roda nya. Tubuh Alletta yang mungil membuatnya tidak merasa keberatan.

Sepanjang koridor, Alletta terus mengoceh menanyakan hal-hal yang membuatnya penasaran pada Tenggara. Dan dengan sabar pria itu menjawab dan sedikit menjelaskan pada Alletta.

Ternyata kalau sudah akrab, Alletta lebih berisik dari perkiraan Tenggara.

"Dokter sudah berapa lama kerja di sini?" tanya Alletta.

"Belum lama, sekitar 2 tahun," jawab Tenggara.

"Itu lama tau!"

Tenggara hanya terkekeh saja.

"Kalau boleh tau, umur Dokter berapa?"

"26 tahun."

"Oh ya? Aku 22 tahun! Kita cuma beda 4 tahun aja ternyata." Alletta cengengesan.

"Saya pikir kamu masih 18 tahun," sahut Tenggara. Alletta memang baby face, mungil pula. Wajar kalau Tenggara mengira Alletta masih 18 tahun.

Mendengar itu, Alletta tersenyum malu. "Ternyata saya awet muda ya," ujarnya tertawa kecil.

Tenggara mengangguk meski Alletta tidak melihatnya. "Sepertinya bukan cuma saya yang mengira kamu masih anak sekolahan."

Alletta mengangguk setuju. "Pas awal saya masuk kerja, karyawan di sana ngira saya baru umur 17 tahun."

Alletta terus mengoceh sampai akhirnya, tak terasa mereka sudah tiba di taman yang cukup ramai.

Mata Alletta berbinar melihat para pasien yang tersenyum lebar di sana. Terlihat ada beberapa anak kecil yang bermain bersama perawat.

Tenggara berdiri di samping Alletta. Dia menatap wajah cantik si empu yang sedang menikmati pemandangan.

"Mereka kelihatan senang, padahal lagi sakit," gumam Alletta yang masih bisa didengar oleh Tenggara.

"Harus begitu, supaya mereka tidak terlalu stress memikirkan yang lain. Kebahagiaan pasien itu nomor satu," ujar Tenggara.

Alletta mendongak menatap Tenggara sambil tersenyum.

Merasa diperhatikan, Tenggara pun menunduk dan mendapati binar mata pasiennya. Mata teduh yang kini berhasil membuat Tenggara merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Alletta mengalihkan pandangannya sedikit gugup. Dia berdehem, berusaha biasa saja.

"O-oh iya. Dok, tolong antar saya ke bagian administrasi, bisa?" kata Alletta.

"Gak perlu. Saya udah membayar semuanya," balas Tenggara.

Alletta terbelalak. "Maksudnya?!"

Tenggara tersenyum tipis. Dia sedikit menunduk pada Alletta. "Saya sudah membayar perawatan kamu di sini, Alletta. Jadi, jangan memikirkannya lagi. Hm?"

Alletta mengerjapkan matanya. Dia terkejut, tentu saja. Bagaimana bisa Tenggara dengan enteng mengatakan hal itu?

"Dokter, t-tapi saya—"

"Nggak apa-apa, Alletta," sela Tenggara.

Alletta menunduk memainkan jemarinya. Dia bingung. Ia tau biaya rumah sakit di sini pasti mahal, fasilitasnya saja tidak main-main, tapi kenapa Tenggara dengan enteng membayarkan semuanya.

"Rumah sakit ini milik keluarga saya," celetuk Tenggara membuat Alletta semakin syok. Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan.

"SERIUS?!" pekiknya.

Fakta yang sangat mengejutkan. Pantas saja pria itu dengan enteng sudah membayar semua perawatan Alletta selama di rumah sakit ini.

Tenggara tertawa melihat reaksi Alletta. Kenapa reaksi pasien cantiknya ini selalu berlebihan?

"Gak perlu berlebihan. Santai aja," ucap Tenggara seraya tersenyum kecil.

"Gimana saya bisa santai?!" Alletta menutup wajahnya malu. Dia bingung harus bagaimana.

Alletta menghela nafas kasar. Dia menatap Tenggara yang sedang menatapnya sambil tersenyum tipis.

"Kalau gitu, nanti saya ganti uangnya ya, Dok. Biayanya pasti mahal, saya gak mau berhutang sama Dokter," ucap Alletta pada akhirnya. Meski tidak langsung lunas, setidaknya dia menyicil sampai semua terbayarkan.

Tenggara langsung menggeleng. "Gak perlu. Saya ikhlas bantu kamu, Alletta. Anggap saja ini sebagai bentuk terimakasih saya."

"Terimakasih untuk apa, Dok? Perasaan saya gak pernah kasih Dokter sesuatu." Alletta kebingungan.

Terimakasih karena telah menatap saya dengan binar mata yang cerah.

"Terimakasih karena kamu mau dirawat di rumah sakit ini," jawab Tenggara sangat berbeda dengan batinnya.

Alletta semakin bingung. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut. Ada apa dengan dokter tampan ini? Kenapa gemar sekali membuatnya bingung.

"Alletta?"

Alletta mendongak menatap seseorang yang berjalan ke arahnya. Dia terbelalak kecil. "Pak Reygan?"

Reygan tersenyum tipis. Dia melirik ke arah Tenggara sebentar lalu kembali menatap Alletta.

"Kamu sakit apa?" tanyanya.

"Ah, ini cuma demam biasa, Pak. Kecapekan," jawab Alletta. "Bapak sendiri ngapain di sini?"

"Saya jenguk teman saya yang dirawat di sini. Kebetulan saya lihat kamu, saya pikir orang lain, ternyata benar kamu," ucap Reygan.

Tenggara seakan tak nampak di sana. Alletta terus berbincang dengan Reygan. Seperti biasa, gadis itu selalu antusias.

Ternyata Alletta memang seramah itu dengan orang lain. Kenapa hatinya merasa tidak ikhlas melihat kedekatan mereka berdua?

"Sudah hampir siang, sebaiknya kita kembali ke ruangan kamu," ucap Tenggara, dia sudah berdiri di belakang Alletta.

Alletta mengangguk patuh. Dia menatap Reygan lalu berkata, "Saya pergi dulu, Pak."

"Tunggu, ruang rawat kamu ada di sebelah mana?" tanya Reygan.

"VIP lantai 5, ruangan nomor 10," jawab Alletta.

Reygan mengangguk. Dia membiarkan Alletta pergi dari sana. Pria itu terkekeh kecil melihat Alletta melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar, Reygan pun membalas lambaian tangan mungil itu.

"Ah, sangat menggemaskan," gumam Reygan.

bersambung...

Terpopuler

Comments

Noey Aprilia

Noey Aprilia

Untng biang kerok blm dtng,kl udh mh alamt bkln ribut lg....lgian,dia ga tau y kl psona aletta sllu bkin cwok2 jth cnta....

2025-03-01

2

vj'z tri

vj'z tri

oh oh oh pak bos saingan makin bertambah gimana duonk 🤣🤣🤣🤣🤣

2025-03-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!