Pagi itu, Mahen membuka matanya dengan kepala yang terasa berat. Tubuhnya lemas, tenggorokannya kering, dan setiap sendi di tubuhnya terasa nyeri. Ia mencoba bangun, namun rasa pusing membuatnya kembali terjatuh ke kasur tipis di kosannya yang sempit.
"Aduh... kenapa tiba-tiba begini?" gumamnya sambil menekan pelipisnya.
Hari ini seharusnya ia pergi ke sekolah sebelum lanjut bekerja di minimarket. Namun, tubuhnya seakan menolak untuk bergerak. Ia menoleh ke arah jam dinding—pukul enam pagi. Biasanya, di jam segini ia sudah bersiap-siap. Tapi kali ini, bahkan untuk sekadar duduk pun ia kesulitan.
Mahen mencoba memaksakan diri. Ia menggenggam ujung kasur dan berusaha bangkit perlahan. Namun, baru beberapa detik berdiri, pandangannya berputar, dan ia kembali jatuh terduduk di lantai.
"Nggak bisa... kayaknya harus izin hari ini," katanya pelan.
Dengan sisa tenaga yang ada, ia meraih ponselnya di meja kecil samping kasur. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan izin ke pihak sekolah dan minimarket tempatnya bekerja. Setelah mengirimkan pesan, ia kembali merebahkan diri. Tubuhnya panas, tapi keringat dingin justru mengalir di pelipisnya.
Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa. Suara kendaraan mulai ramai, anak-anak kecil berlarian di gang kos-kosan. Namun, di dalam kamarnya, Mahen hanya bisa berbaring, melawan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
Sementara itu, di tempat lain, Kanaya menjalani harinya tanpa mengetahui bahwa Mahen sedang terbaring sakit. Pagi ini, ia kembali ke minimarket seperti biasa, berharap bisa melihat sosok yang belakangan menarik perhatiannya. Namun, begitu tiba, ia tidak menemukan Mahen di sana.
"Lagi libur, ya?" gumam Kanaya dalam hati, sedikit kecewa.
Ia tidak tahu bahwa pria yang sering ia perhatikan kini sedang melawan demam tinggi seorang diri, tanpa ada siapa pun yang bisa merawatnya.
Dengan perasaan sedih, akhirnya Kanaya tetap memutuskan belanja di minimarket tersebut. Tak seperti biasanya, Kanaya sudah tau apa yang ingin Ia beli dan langsung menuju meja kasir.
"Maaf, Mbak. Mahendra lagi libur ya?" tanya Kanaya sambil menyerahkan barang belanjaannya.
"Mahen kalau pagi hari sekolah, Mbak. Dia pekerja paruh waktu disini. Mahen cuman kerja pas sore sampai malem aja" jawab ovi, salah satu rekan kerja Mahen.
"Owalah, saya baru tau Mbak" jawab Kanaya dengan sedikit terkejut.
Kanaya mengangguk pelan, mencerna informasi baru yang baru saja ia dengar. Selama ini, ia hanya melihat Mahen bekerja dan tak pernah terpikir bahwa pria itu masih bersekolah.
"Jadi dia sekolah pagi, kerja sore, dan tetap bisa secerdas itu dalam pekerjaannya?" batinnya kagum.
Setelah menyelesaikan pembayarannya, Kanaya keluar dari minimarket, tapi pikirannya terus berputar. Entah kenapa, ada rasa penasaran yang makin besar dalam dirinya. Ia melirik jam tangan. Masih pukul sepuluh pagi. Jika Mahen tidak ada di minimarket, itu berarti sekarang dia sedang berada di sekolah, bukan?
Kanaya ragu sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, ia masuk ke mobilnya dan mencari informasi di internet tentang sekolah di sekitar daerah itu. Beberapa nama muncul di layar ponselnya, dan ia mencoba mengingat seragam yang biasa Mahen pakai. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya ia menemukan sekolah yang paling masuk akal.
Dengan kecepatan sedang, ia melajukan mobilnya menuju sekolah yang ia yakini sebagai tempat Mahen belajar. Namun, sesampainya di sana, ia tidak melihat sosok pria itu.
"Mahendra Aditya?" tanya Kanaya pada seorang siswa yang baru keluar dari gerbang sekolah.
Siswa itu mengerutkan kening, lalu mengangguk. "Oh, Mahen? Dia nggak masuk hari ini, Mbak. Katanya sakit."
Jantung Kanaya berdegup lebih cepat. "Sakit?" ulangnya, memastikan ia tidak salah dengar.
Siswa itu mengangguk lagi. "Iya, tadi wali kelasnya bilang dia demam tinggi dari pagi. Mungkin kecapekan."
Kanaya terdiam. Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya. Selama ini, ia tidak terlalu peduli dengan orang lain di luar urusannya sendiri. Tapi entah kenapa, mendengar Mahen sakit dan sendirian membuatnya merasa tidak tenang.
Tanpa pikir panjang, ia kembali ke mobilnya dan menghidupkan mesin. Tujuan berikutnya sudah jelas: kos-kosan Mahen.
Di dalam mobil, Kanaya berpikir sejenak "Aku kan gatau tempat kos nya Mahen"
Namun, Kanaya tidak berhenti disana saja. Pikiran Kanaya terus menalar. Kanaya baru ingat, kalau Mahen tidak memiliki kendaraan pribadi, yang kemungkinan besar pasti kos nya tidak jauh dari tempat Mahen bekerja.
Akhirnya Kanaya mencari kos terdekat menggunakan maps di ponsel nya.
"Ketemu... " ucap Kanaya dengan perasaan bahagia.
"Tapi, ada dua kos yang berbeda disini. Ini nama kosnya bunga asih, yang satu lagi namanya kos cakra" gumam Kanaya dengan nada bingung.
"Eh, tunggu dulu. yang bunga asih khusus perempuan, sedangkan yang cakra khusus laki aja" gumam Kanaya lagi dengan perasaan terkejut.
Tanpa banyak pikir. Kanaya langsung tancap gas menuju tempat kos Mahen.
Ketika di perjalanan. Kanaya baru teringat, kalau mau menjenguk orang sakit harunya dibawakan makanan.
Kanaya mengemudikan kendaraannya dengan pelan, sembari mencari beberapa tempat makanan yang cocok.
Kanaya menurunkan kecepatan mobilnya saat melihat sebuah rumah makan kecil di pinggir jalan. Ia menepikan mobil, lalu turun dan masuk ke dalam.
“Permisi, Bu. Ada bubur ayam?” tanya Kanaya kepada pemilik warung.
“Oh, ada, Mbak. Mau berapa porsi?”
“Satu saja, Bu. Sama teh hangatnya satu.”
Sambil menunggu pesanannya disiapkan, Kanaya berpikir. Ia tidak tahu apa yang disukai Mahen, tapi setidaknya bubur ayam lebih mudah dimakan saat sakit.
Tak butuh waktu lama, pesanan Kanaya siap. Ia membayar lalu segera kembali ke mobilnya, melanjutkan perjalanan ke kos Mahen.
Sesampainya di depan kos Cakra, Kanaya menghentikan mobilnya dan menatap bangunan sederhana itu. Beberapa pakaian tergantung di jemuran, beberapa penghuni terlihat duduk santai di teras.
Kanaya keluar dari mobil sambil membawa plastik berisi bubur dan teh hangat. Ia melangkah mendekati seorang pria yang duduk di depan kos, tampak baru saja selesai mencuci pakaian.
“Permisi, Mas,” sapa Kanaya dengan sopan.
Pria itu menoleh, sedikit terkejut melihat wanita dengan pakaian rapi dan wajah yang tidak asing. “Eh, Mbak yang sering belanja di minimarket, ya?”
Kanaya tersenyum kecil. “Iya, benar. Saya mau tanya, Mahendra Aditya kos di sini, kan?”
Pria itu mengangguk. “Iya, Mahen di kamar nomor lima, yang di ujung.”
“Dia ada di dalam?”
“Ada, tapi lagi sakit, Mbak. Dari tadi pagi dia nggak keluar kamar.”
Kanaya mengangguk, lalu berjalan menuju kamar yang ditunjukkan. Begitu sampai, ia mengetuk pintu pelan.
Tok, tok, tok
Awalnya, Kanaya hanya ingin mengantar makanannya sampai depan pintu saja, karena, mereka berdua tidak begitu mengenal. Namun, Kanaya tidak tega melakukan hal seperti itu. Terlebih lagi dengan kondisi Mahen yang sakit di dalam pintu itu.
"Mahen?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. Kanaya mencoba lagi.
"Mahen, ini aku, Kanaya."
Masih tak ada sahutan. Kanaya mulai khawatir. Dengan hati-hati, ia mencoba mendorong pintu. Tidak terkunci.
Begitu pintu terbuka, pemandangan di dalam kamar langsung membuat Kanaya terdiam. Mahen terbaring di kasurnya, wajahnya pucat, napasnya terdengar berat. Keringat dingin membasahi dahinya.
“Mahen…” Kanaya bergegas masuk dan meletakkan bawaannya di meja kecil. Ia duduk di tepi kasur, menepuk bahu Mahen pelan.
Mahen menggeliat lemah, membuka matanya sedikit, lalu mengerjap kaget saat melihat Kanaya di kamarnya.
“Mbak… Kanaya?” suaranya serak.
“Sstt… Jangan banyak bicara. Kamu demam tinggi,” ucap Kanaya lembut.
Mahen menatapnya dengan kebingungan. “Kok… Mbak bisa di sini?”
Kanaya tersenyum kecil. “Jangan mikirin itu dulu. Kamu harus makan biar cepat sembuh.”
Mahen menatap bubur yang dibawa Kanaya, lalu kembali menatap wanita itu dengan ekspresi tak percaya.
“Kenapa… repot-repot?”
Kanaya menghela napas. “Kamu pikir aku bisa diam saja setelah tahu kamu sakit?”
Mahen tak menjawab. Matanya yang berat perlahan mulai menutup lagi, tapi senyum tipis tersungging di wajahnya.
Sementara itu, Kanaya duduk di sampingnya, memastikan bahwa pria itu benar-benar tidak sendirian saat sakit.
"Aku bawa ke rumah sakit ya. Badanmu panas banget" ucap Kanaya sambil memegang tangan Mahen yang lemah.
"Ngga usah, Mbak. Ngga papa, disini aja" jawab Mahen dengan nada lemah.
Kanaya menghela napas, menatap Mahen dengan khawatir. “Mahen, kamu butuh perawatan. Kalau dibiarkan, nanti malah makin parah.”
Mahen menggeleng pelan. “Aku udah biasa begini, Mbak. Nanti juga sembuh sendiri…”
Kanaya mendecak kesal. “Keras kepala sekali, ya?”
Mahen hanya tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan matanya. Napasnya masih terdengar berat, dan Kanaya tidak tega membiarkannya sendirian.
Ia mengambil kain kecil dari meja, kemudian merendamnya di dalam air dingin yang ada di gelas. Setelah itu, Kanaya memeras kainnya dan menempelkannya di dahi Mahen.
Mahen membuka matanya sedikit, lalu menatap Kanaya. “Mbak nggak perlu repot-repot…”
“Diam dan istirahat,” potong Kanaya tegas. “Aku nggak akan pergi sampai kamu baikan.”
Mahen terdiam. Hatinya terasa aneh. Ia tidak terbiasa diperhatikan seperti ini. Namun, entah kenapa, kehadiran Kanaya memberinya sedikit ketenangan.
Waktu berlalu. Mahen tertidur, sementara Kanaya tetap di sisinya, mengganti kain kompres setiap kali kain itu mulai mengering. Sesekali, ia memeriksa suhu tubuh Mahen yang perlahan mulai turun.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Mahen akhirnya terbangun. Ia mengerjap, merasa tubuhnya lebih ringan dibandingkan sebelumnya.
“Udah mendingan?” tanya Kanaya begitu melihat Mahen bangun.
Mahen mengangguk pelan. “Kayaknya udah nggak terlalu panas.”
Kanaya tersenyum lega. “Baguslah. Sekarang kamu harus makan.”
Mahen melirik bubur di meja yang masih tertutup rapi. “Mbak belum pulang?”
“Tadi aku bilang apa?” Kanaya menatapnya tajam. “Aku nggak akan pergi sampai kamu baikan.”
Mahen menunduk, lalu tersenyum kecil. “Makasih, Mbak.”
“Udah, jangan banyak ngomong. Makan dulu,” ujar Kanaya sambil menyodorkan mangkuk bubur ke arah Mahen.
Mahen menerima bubur itu, lalu mulai menyendoknya perlahan. Kanaya tetap duduk di dekatnya, memastikan pria itu makan sampai habis.
Saat itulah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Mahen merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
"Mbak, kalau mau pulang gapapa kok. Saya udah enakan" ucap Mahen dengan perasaan senang.
"Beneran nih udah enakan?" tanya Kanaya yang tidak percaya.
"Iya, Mbak. Terimakasih banyak ya Mbak, udah repot repot kesini. Padahal kita belum saling mengenal" jawab Mahen sambil menundukkan badannya.
"Jangan mikirin itu. Istirahat yang cukup sana" jawab Kanaya dengan ketus, padahal di dalam dirinya, hati Kanaya senang tak karuan.
"Yaudah, aku pulang dulu ya" ucap Kanaya dengan tangannya yang membuka pintu kamar kos.
"Iya, hati-hati ya, Mbak... Kanaya" jawab Mahen dengan keras karena saking senangnya.
Kanaya langsung memasuki mobilnya dan segera menuju rumahnya.
Di perjalanan pulang. Kanaya menyetir mobil sambil menggigit bibir manisnya "Mahendra Aditya. Kamu ganteng banget,,, badanmu keras sekali" ucap Kanaya yang bahagia tak karuan.
"Cepet sembuh yaa, Mahen. Biar besok kita bisa ketemu" gumam Kanaya dengan suara lembut dengan diiringi suara lagu yang keluar dari sound mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments