Keseharian

Mentari pagi mulai bangun, menandakan hari telah berganti. Suara ayam berkokok terdengar nyaring, bersahut-sahutan dari kejauhan. Udara pagi yang masih sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela kos Mahen, menyentuh kulitnya yang masih terasa hangat di bawah selimut tipis.

"Masih libur, ya?" gumam Mahen sambil menguap. Matanya masih terasa berat, tapi ia tahu ia tak boleh bermalas-malasan.

Tak seperti kebanyakan orang yang masih terbaring di kasur saat hari libur, Mahen justru tetap menjalani aktivitas rutinnya. Ia melipat selimut, merapikan tempat tidur, lalu mengambil sepatu larinya yang sudah agak usang. Baginya, olahraga bukan sekadar kebiasaan, tetapi investasi untuk masa depan. Ia sadar, tak ada yang bisa menjamin kehidupannya nanti. Jika ia jatuh sakit di usia tua, siapa yang akan merawatnya? Maka, sebelum itu terjadi, ia harus menjaga tubuhnya tetap sehat.

Saat keluar dari kos, udara pagi menyambutnya dengan kesejukan yang khas. Ia menghirup dalam-dalam, membiarkan paru-parunya dipenuhi udara segar sebelum mulai melangkah. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, ditambah orang-orang yang mulai membuka lapak dagangan mereka di pinggir jalan.

Langkahnya mantap, ritmenya teratur. Setiap tarikan napas terasa segar, membantunya mengusir sisa kantuk yang masih menggelayuti pikirannya. Dari kejauhan, ia melihat seorang penjual bubur tengah merapikan gerobaknya, sementara seorang ibu-ibu menyapu halaman toko. Mahen tersenyum kecil. Ada ketenangan dalam kesederhanaan pagi ini, sesuatu yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk siang hari.

Saat melewati taman kecil di pinggir jalan, Mahen memperlambat langkahnya. Sekelompok anak kecil tampak sedang bermain bola, tertawa riang tanpa beban. Sesaat, Mahen teringat masa kecilnya—masa di mana hidupnya belum seberat sekarang. Tapi ia segera mengusir pikiran itu. Hidupnya memang sulit, tapi ia tak punya waktu untuk meratapi.

Setelah beberapa putaran, ia berhenti sejenak, mengatur napasnya. Keringat mulai membasahi pelipisnya, tapi tubuhnya terasa lebih segar. Ia melihat ke arah langit, matahari mulai naik sedikit demi sedikit, menandakan hari akan semakin sibuk.

Mahen menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Waktunya pulang dan bersiap untuk hari yang baru.

Saat perjalanan pulang, kendaraan sudah berlalu lalang. Mahen tidak terlalu menyukai keramaian tetapi juga tidak suka sendirian.

Langkah Mahen terhenti di depan sebuah toko kecil di pinggir jalan. Rak-rak kayu berjejer rapi disana, berbagai kebutuhan sehari hari terpampang rapi di dalamnya. Mahen memutuskan untuk masuk, berniat membeli sebotol air putih untuk melepas dahaganya setelah selesai joging pagi.

"permisi Bu. Air putihnya satu, yang dingin" ucap Mahen dengan nada lembut.

Seorang wanita paruh baya yang menjaga toko datang sambil tersenyum ramah "sebentar ya nak, ibu ambilkan".

Wanita itu berjalan ke dalam, membuka kulkas kecil yang ada di sudut ruangan. Mahen menunggu dengan sabar, sesekali dia menatap keluar dan melihat jalanan yang sudah dilewati banyak kendaraan.

Tak lama kemudian, wanita itu kembali sambil membawa botol air dingin yang dibeli Mahen. "ini, Nak. tiga ribu rupiah," ucapnya sambil menyerahkan botol dingin itu.

Mahen mengeluarkan dua lembar uang yang Ia ambil dari dompet, lalu menyerahkannya dengan sopan "ini, Bu. Terimakasih".

Mahen keluar dari toko, tangannya masih menggenggam botol air yang terasa dingin di kulitnya. Pandangannya tertuju pada bangku kayu di depan toko, terlihat nyaman dan sedikit terlindung dari sinar matahari yang mulai menghangat.

Ia berjalan ke sana dan duduk perlahan, merasakan semilir angin pagi yang masih menyisakan kesejukan. Dengan satu gerakan, ia membuka segel botol airnya.

Krekk!

Bunyi segel yang terbuka terdengar jelas di tengah kesibukan pagi. Tanpa pikir panjang, Mahen meneguk air itu perlahan. Rasanya begitu segar, membasahi tenggorokannya yang kering setelah berolahraga. Ia menutup matanya sejenak, menikmati sensasi dingin yang mengalir ke dalam tubuhnya.

Beberapa menit berlalu dalam ketenangan. Mahen menyandarkan punggungnya pada bangku, matanya memandang lalu lintas yang semakin ramai. Ada sesuatu yang menenangkan dalam momen sederhana ini. Hanya duduk, minum air, dan mengamati dunia bergerak tanpa henti.

Setelah merasa cukup beristirahat, Mahen berdiri, meregangkan tubuhnya sedikit. Hari masih panjang, dan ia harus segera kembali ke kos untuk bersiap menjalani aktivitas berikutnya.

Sesampainya dirumah. Mahen melepas sepatunya dan menaruhnya di rak depan kos nya. Mahen membuka pintu kos nya yang disambut dengan kesunyian dan kegelapan.

Mahen yang lelah, langsung membaringkan tubuhnya ke kasur tipis di kos nya yang berniat hanya untuk mengistirahatkan badannya yang lelah setelah selesai joging. Mata Mahen melihat ke langit-langit kamar, kelopak mata Mahen mulai menutup dengan sendirinya. Tanpa sadar, Mahen sudah tertidur karena kelelahan.

Waktu berlalu tanpa terasa. Suasana kamar yang sepi membuat tidurnya semakin lelap. Namun, ketika suara samar dari luar mulai terdengar—bunyi kendaraan melintas dan suara anak-anak bermain—Mahen menggeliat pelan. Matanya terbuka sedikit, tapi begitu melihat jam di dinding, ia langsung tersentak.

Pukul 14.00.

Mahen terkejut, matanya membelalak. Ia buru-buru bangkit dari kasur, menatap arah jarum jam yang dengan jelas menunjukkan angka dua. Jantungnya berdegup lebih cepat.

"Astaga, sudah jam dua!" gumamnya panik.

Padahal, jam tiga sore ia harus berangkat kerja. Itu berarti ia hanya punya waktu satu jam untuk mandi, makan, dan bersiap-siap. Tanpa pikir panjang, Mahen segera beranjak, meraih handuknya, lalu bergegas menuju kamar mandi dengan langkah tergesa-gesa. Untungnya, minimarket tempat Mahen bekerja tidak terlalu jauh dari tempat kos nya. Mahen segera berlari sekencang-kencangnya, berharap bahwa ia belum terlambat.

Mahen mulai masuk ke dalam minimarket dan bergegas menuju bagian gudang untuk mengambil barang yang perlu ia tata. Setelah menata barang, Mahen langsung mengambil alih meja kasir, karena Tyo dan dua rekan kerja Mahen yang lain masih mengangkut barang-barang yang baru saja dikirimkan truk.

Mahen terlihat begitu santai di meja kasir. Ia menata uang sambil bersiul, padahal di luar ruangan, teman teman Mahen sedang sibuk mengangkut barang.

"INI SAYA DULU YA MBAK YANG NGAMBIL!!!"

"ENAK AJA, INI SAYA DULU YANG NGAMBIL!!!"

Tiba-tiba saja terdengar suara yang keras dari arah tempat mie instan. Mahen yang kaget langsung bergegas menuju ke sumber suara itu.

Benar saja, ternyata ada dua Ibu - ibu sedang berebut mie instan. Mahen segera menghampiri kedua Ibu - ibu itu.

"Permisi, Bu. Ada apa ya?" tanya Mahen dengan suara lembutnya.

"Ini loh, Mas. Padahal saya dulu yang ngambil mie nya, eh tiba tiba aja si Ibu ini narik mie nya" jawab salah satu Ibu itu dengan nada kesal.

"Tapi, Mas. Saya dulu yang liat mie nya" jawab Ibu lainnya yang tak terima.

Mahen bingung, bagaimana cara menghadapi dua Ibu-ibu yang sedang berebut makanan. Tapi, Mahen baru ingat kalau minimarket nya sedang melakukan re-stock.

"Ibu-ibu, jangan bertengkar dulu ya. Kita lagi re-stock kok, Ibu. Jadi, ngga perlu khawatir" ucapan yang lembut dan sopan itu keluar dari mulut Mahen, yang membuat kedua Ibu - ibu itu berhenti bertengkar dan memutuskan untuk saling mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Mahendra lega, karena bisa menenangkan kedua Ibu-ibu itu. Ia pun segera kembali ke meja kasirnya untuk melayani pelanggan lainnya.

Langit berubah menjadi gelap, bintang - bintang bertaburan di atas gelapnya malam, udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan udara dingin dari luar mulai menyelimuti sekujur tubuh Mahen. Malam itu, Mahendra izin pulang terlebih dahulu, karena ia merasa jika badannya terasa lemas dan tidak sanggup menahan dinginnya malam.

Sesampainya di kos, Mahen segera mengambil obat pusing yang tergeletak di atas meja. Ia meraih segelas air, lalu menelan obat tersebut dengan sekali teguk. Setelah itu, ia duduk di tepi kasurnya, merasakan kelelahan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tangannya mengusap wajah, mencoba menghilangkan rasa pening yang masih tersisa.

Dari luar jendela, suara motor dan obrolan penghuni kos lain terdengar samar-samar. Mahen menoleh ke arah jam dinding—baru pukul sembilan malam. Ia menarik napas panjang, lalu merebahkan tubuhnya di kasur yang terasa dingin.

Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar yang penuh bercak noda akibat kebocoran lama. Pikirannya melayang, mengingat kejadian hari ini, pertengkaran kecil antara Ibu-ibu, dan kelelahan yang semakin terasa.

"Dingin sekali malam ini..." gumamnya pelan.

Mahen menarik selimut tipisnya, mencoba menghangatkan tubuhnya. Perlahan, matanya mulai terasa berat, dan tanpa sadar, ia pun terlelap dalam keheningan malam.

Sementara itu, Kanaya sedang bermain ponsel di kamarnya. Kanaya tersenyum, sambil melihat lihat foto Mahendra Aditya yang Ia ambil diam diam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!