paginya pada hari sabtu, Mahen memulai harinya seperti biasa. Setelah bangun dari kasur tipis di kosannya yang sempit, dia langsung bersiap-siap untuk bekerja di minimarket tempatnya mencari nafkah. Rutinitasnya sudah terbentuk: bangun, mandi cepat, sarapan seadanya, lalu bergegas menuju tempat kerja dengan langkah yang pasti.
Di minimarket, Mahen dikenal sebagai pegawai yang rajin. Meski baru beberapa bulan bekerja di sana, ia sudah lebih cekatan dibanding beberapa pegawai lama. Supervisor-nya sering memuji ketekunannya, meski tetap memberikan tugas-tugas berat seperti menyusun stok barang atau menangani pelanggan yang rewel.
Sekitar pukul sembilan pagi, seorang pelanggan masuk ke minimarket. Wanita itu mengenakan pakaian elegan, rambutnya tertata rapi, dan aroma parfumnya begitu lembut namun mahal. Dia adalah Kanaya Anindya. Seorang wanita kaya yang cukup sering belanja di minimarket itu. Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya, mengingat dia pasti bisa belanja di tempat yang lebih mewah.
Mahen yang sedang menyusun rak makanan ringan sekilas melirik ke arah pintu. Matanya sempat menangkap sosok Kanaya, tapi dia langsung kembali fokus ke pekerjaannya. Baginya, pelanggan ya pelanggan. Tidak peduli sekaya atau semewah apa pun mereka.
Namun, hari itu berbeda. Kanaya tidak langsung mengambil barang dan menuju kasir seperti biasanya. Ia terlihat berkeliling lebih lama, sesekali mencuri pandang ke arah Mahen yang sibuk dengan tugasnya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang menarik perhatiannya. Mungkin karena ketekunan yang terpancar dari setiap gerakannya, atau mungkin karena ekspresi wajahnya yang selalu serius tapi tetap tenang.
"Maaf, bisa tolong ambilkan susu di rak atas?" tanya Kanaya tiba-tiba.
Mahen yang sedang membungkuk membereskan barang sedikit terkejut. Ia segera berdiri dan berjalan ke arah Kanaya, lalu mengambil satu kotak susu dari rak.
"Yang ini, Mbak?" tanyanya singkat.
Kanaya tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Iya, terima kasih."
Mahen menyerahkan susu itu tanpa banyak bicara, lalu kembali ke pekerjaannya. Tapi Kanaya tidak langsung pergi. Ia berdiri di sana beberapa detik, memperhatikannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke pesan orang tuanya yang selalu menekankan pentingnya mencari pasangan yang bekerja keras dari nol, bukan sekadar menikmati warisan.
Saat Kanaya berjalan menuju kasir, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang Mahen. Apa yang membuatnya begitu berbeda dari pria-pria kaya yang selama ini mencoba mendekatinya? Tanpa sadar, ia mulai merencanakan sesuatu.
Sementara itu, Mahen hanya menganggap kejadian tadi sebagai interaksi biasa. Dia tidak tahu bahwa hari itu adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
Siang bergulir dengan cepat. Mahen terus sibuk dengan pekerjaannya, sesekali menyusun ulang rak yang mulai kosong atau membantu pelanggan yang kebingungan mencari barang. Meski lelah, ia tetap melakukan pekerjaannya dengan tekun.
Sementara itu, Kanaya masih belum pergi. Setelah membayar belanjaannya, ia duduk di dalam mobilnya yang diparkir di depan minimarket. Entah kenapa, pikirannya terus tertuju pada Mahen.
“Kenapa aku jadi memperhatikannya seperti ini?” gumamnya pelan.
Kanaya menghela napas panjang. Ia mencoba mengabaikan pikirannya dan fokus pada kegiatannya yang lain. Namun, sebelum sempat pergi, ia melihat Mahen keluar dari minimarket, membawa kardus kosong ke tempat pembuangan. Ia memperhatikan cara Mahen bekerja—gerakannya cepat, tapi tetap rapi. Wajahnya tampak serius, seperti seseorang yang terbiasa bekerja keras tanpa mengeluh.
Kanaya tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh melihat pemandangan itu.
Malam harinya, Mahen menutup toko seperti biasa. Setelah memastikan semua barang di dalam minimarket sudah tertata dengan baik, ia merapikan seragamnya dan bersiap pulang. Namun, saat keluar dari minimarket, ia terkejut melihat sebuah mobil mewah masih terparkir di sana. Lampunya menyala, menandakan ada seseorang di dalamnya.
Dari dalam mobil, Kanaya memperhatikan Mahen. Ia ragu-ragu, tapi akhirnya menurunkan kaca jendela dan menyapa.
"Mahendra Aditya," ucapnya tiba-tiba.
Mahen yang baru saja mengunci pintu minimarket menoleh dengan bingung. “Iya, Mbak?”
Kanaya tersenyum. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh."
Mahen mengerutkan kening. "Maksudnya, Mbak?"
Kanaya tertawa kecil. “Aku penasaran dengan seseorang yang bekerja sekeras dirimu.”
Mahen masih bingung dengan maksud perkataan wanita itu, tapi ia hanya mengangguk pelan. “Saya cuma melakukan pekerjaan saya, Mbak.”
Kanaya menatap Mahen sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, sampai jumpa lagi.”
Ia menutup jendela mobilnya dan melajukan kendaraannya, meninggalkan Mahen yang masih berdiri dengan ekspresi bingung.
Di dalam mobil, Kanaya tersenyum kecil. Ia tahu, ini bukan terakhir kalinya mereka bertemu.
Di perjalanan pulang. Kanaya mengendarai mobilnya sendiri, dengan wajah serius dia mengemudikan mobilnya, tetapi sekali kali dia tersenyum dengan sendirinya karena mengingat interaksi yang terjadi tadi.
Mahen baru sampai rumahnya. Dengan wajah yang kusam dan badannya yang seperti mengangkat beban, dia langsung meletakkan badannya di kasur tempat kos nya. Dia menatap langit langit tembok dengan tatapan kosongnya, tanpa sadar mulutnya berbicara pelan "cantik sekali... "
Mahen menggelengkan kepala, merasa aneh dengan hal itu. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi, mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar mandi. Mahen mengambil handuk itu dan menaruhnya di pundaknya.
Pintu kamar mandi terbuka. Aroma wangi dari sabun tersebar ke seluruh kamar kos yang sempit itu. Mahen berjalan keluar dari kamar mandi, sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Udara malam yang dingin menyelimuti tubuh Mahen, tetapi ia tidak memedulikannya
Mahen selesai mengganti bajunya menggunakan celana pendek dan kaos oblong, tidak seperti anak muda lainnya yang ketika lelah langsung tidur. Mahen bukan orang yang memiliki sifat pemalas. Mahen berjalan menuju meja belajarnya sambil menyeret kursi yang ada di dalam meja. Terlihat tumpukan buku buku yang tertata rapi di atas meja. Ia mengambil salah satu buku yang telah lama ingin ia baca, lalu membuka halaman pertama dengan tenang.
Meskipun hidupnya penuh dengan kerja keras, Mahen selalu menyempatkan dirinya untuk membaca buku setiap hari, ia sadar bahwa satu satunya cara untuk keluar dari lingkaran kemiskinan adalah dengan terus mencari ilmu dan meningkatkan dirinya. Buku adalah tempat pelarian dia ketika lelah.
Di luar, suara kendaraan sesekali terdengar dari jalanan kecil tempat kosnya berada. Angin malam berhembus perlahan melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Mahen menarik napas dalam, menikmati momen-momen kecil yang hanya bisa ia rasakan seorang diri.
Di tempat lain, Kanaya juga tidak bisa berhenti memikirkan Mahen. Ia menepikan mobilnya sejenak di pinggir jalan, lalu menatap ke luar jendela sembari menghirup udara malam. Kota terlihat begitu hidup di malam hari, tapi pikirannya melayang ke satu orang.
"Mahendra Aditya..." ucapnya pelan dengan nada senang.
Ia tersenyum kecil, lalu kembali melajukan mobilnya. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan besok—sesuatu yang akan membawanya lebih dekat pada pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments