"Selamat datang, di Avalon. Tempat para Survivor, (Orang yang selamat dari tragedi Day Zero) saling berkumpul dan saling menguatkan. Perkenalkan, namaku Leo Nauvale, kau boleh memanggilku Leo." Jelas dari salah satu pria yang berkumpul mengawalku, tepat ketika kami mulai memasuki gerbang dengan benteng yang terbuat dari pasak-pasak kayu besar berujung runcing.
"Tempat ini? Kenapa kalian membuat semacam benteng yang mengeliling tempat ini, sebenarnya kalian berlindung dari apa?" Tanyaku yang kebingungan melihat kayu berukuran dua kali ukuran manusia dewasa, tertancap teguh ke tanah.
"Sebelum itu, bukannya tidak sopan untuk tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu nona?" Pukasnya, mengernyitkan dahi ke arahku, sebelum akhirnya dengan ringkas, aku mulai memperkenalkan diri.
"Aku Nayra." Jawabku singkat.
". . . ? (Dia tertegun) Sudah? Perkenalan yang singkat untuk seorang anak gadis." Ujarnya meremehkanku.
Aku memilih untuk diam seribu bahasa, akan lebih baik kiranya bila menahan semua informasi yang aku miliki, dan mengorek segala yang mereka ketahui.
Memasuki desa dengan tatapan warga yang khawatir, aku celingukkan menatap sekitar. Ke arah ratusan mata yang penuh cibir berbisik penuh gunjingan.
Menuju ke satu rumah panggung yang bertuliskan aula di bagian depannya, aku di minta segera masuk dan duduk di lantai papan kayu tanpa alas, berhadapan langsung dengan "Kepala Desa" atau mungkin dia sekedar orang yang di "Percaya" untuk menjadi tetua di sana. Sedangkan beberapa orang yang lainnya duduk melingkar menyimak dan menatap kami berdua. Beberapa pertanyaan diajukan langsung ke arahku mengenai siapa, darimana, dan bagaimana aku bisa bertahan hingga sampai di tempat dimana aku ditemukan.
Aku memasang muka tebal untuk sekedar menutupi perasan bahagia, berfikir bahwa, aku ternyata tidak sendirian di dunia ini. Syukurlah, akan tetapi aku tidak boleh menurunkan kewaspadaanku terhadap situasi ini.
Dari hasil analisa sesaatku, melihat dinding tinggi menjulang yang melindungi desa ini, tatapan khawatir dan defensif warga desa, dan cara mereka menyelamatkanku, aku tahu bahwa ada yang mengancam di sekitar sini.
Di balik kulit keriput dan janggut yang tumbuh memutih di dagunya, kepala desa menanyakan hal yang janggal kepadaku.
"Jadi nak Nayra. Apa saja yang sudah kamu lihat di luar sana?" Ujarnya dengan suara gemetar, renta termakan usia.
"Saya tidak mengerti dengan apa yang bapak maksud, sejauh ini aku hanya mengurung diri di rumah, mengandalkan perbekalan seadanya. Kemarin adalah hari pertamaku di alam liar." Jawabku yang mencoba sopan, namun tegas kepadanya.
Leo, mengangkat tangan nya tinggi-tinggi dari salah satu barisan yang memutar di sekelilingku. "Pak kepala desa. Mohon maaf sebelumnya. Menurut saya, kita sebaiknya memberikan gadis ini sedikit ruang. Barangkali dia masih terguncang pasca tragedi DayZero." Ujar Leo tegas namun dengan nada yang lembut.
Mendengar pengajuan Leo, kepala desa terdiam mempertimbangkan perkataan darinya, walaupun aku dengar bahwa orang yang lain saling berbisik entah soal apa.
Nada yang berat dan menekan keluar dari kepala desa, tatkala dia mengumumkan suatu gagasan, "Baiklah, untuk sekarang gadis ini (aku) dalam pengawasan dan tanggung jawabmu (Leo). SEKIAN!" Segera setelah kalimat terakhir di ucapkan oleh kepala desa, bagaikan aba-aba yang matang, seluruh warga yang ada di dalam Aula berdiri dan bubar meninggalkan tempat ini, seakan tidak boleh ada seorangpun yang protes.
"T.. Tunggu dul- Akhh! Sudahlah! (Leo mengeluh dan segera menatapku) Kamu! (Aku bergidik ketika Leo memanggilku) Ikut denganku." Aku mengangguk dan dengan langkah kecil mengikuti tepat di belakangnya.
Terus berjalan mengikuti Leo, aku celingak-celinguk sambil tetap waspada memperhatikan sekitar. Sepertinya, tidak sesuai dengan dugaanku sebelumnya, yang membayangkan bahwa tempat ini akan seperti pengungsian bencana alam. Desa ini terlihat cukup terarah, dan lumayan maju. Terdapat banyak rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu, lalu ada juga aula tempat kami berkumpul barusan, pandai besi, toko, bahkan Tavern pun tersedia di sini.
(Tavern: Kedai untuk minum bir)
Selagi asik mengamati, tiba-tiba saja ada yang mengganggu konsentrasi ku, yaitu gumpalan asap putih tipis yang menjalar panjang, beraroma sedap yang langsung menggoda indra penciumanku.
"L-Leo, aroma ini!?" Tanyaku tertarik dengan wangi masakan yang melintas melewati hidungku.
"Oh ini? (Dia juga sepertinya menyadari aroma ini) Apa kau lapar Nay?" Dia menunduk, menatap wajahku.
"Umm. Ya!" Aku mengangguk.
Kami lalu berjalan menyusuri jejak asap yang memancing rasa lapar ku ini, mengarahkan kami ke suatu tempat yang menyerupai Food Court sederhana, yang penuh dengan kumpulan pedagang berbaris rapi, beratapkan terpal di pinggir jalan setapak.
(Food court: Pusat jajanan)
"Leo Sebentar." Aku menahan Leo, dengan mencubit di bagian lengan baju panjangnya.
"Hmm? Kenapa?"
"Aku, ... Aku tidak membawa uang. Aku pikir itu tidak penting lagi karena semua- humph!" Kalimat ku di potong dengan jari telunjuk Leo yang menempel di bibirku.
"Tenang saja, lagi pula mata uang sudah tidak digunakan lagi. Di tempat ini kita menggunakan, ini (uang koin)." Nadanya yang ceria, disaat menunjukkan sebuah koin berbahan perunggu tepat di depan wajahku, membuatku berfikir bahwa sepertinya dia adalah orang yang sangat suka dengan uang.
Gold, silver dan juga bronze coin. Leo menjelaskan kepadaku bahwa, satu gold coin sama dengan seratus silver coin atau sepuluh ribu bronze coin.
^^^(1 gold \= 100 silver \= 10.000 bronze)^^^
^^^(1 silver \= 100 bronze)^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments