Beberapa waktu yang lalu, terjadi bencana besar yang mempengaruhi keberlangsungan hidup umat manusia, bencana yang masih belum diketahui asal usulnya itu, kemungkinan membuat lenyap 99% dari populasi umat manusia, dan sayangnya aku adalah bagian dari 1% tersebut, memaksaku untuk tetap bertahan meski sendirian.
Melihat ke arah langit luas, hanya menenggelamkan pandanganku kepada bulan yang sudah tidak utuh lagi. Bulan yang berada dalam mataku saat ini sudah hancur separuhnya, membentuk debu intan berwarna lembayung, khas luar angkasa yang berkilauan di langit malam. Mengingatkanku kepada cincin planet saturnus, hanya saja warnanya lebih dominan biru dengan sedikit bias merah muda.
"Gerangan apa yang terjadi kepada semesta." Gumamku kepada rembulan, menatapnya tajam penuh tanda tanya.
Di tengah hutan pinus, aku tidak tahu sudah berjalan sampai dimana, kakiku berhenti bergerak, enggan menuruti kemauanku untuk berjalan, hingga aku memutuskan untuk membangun kemah sederhana di tempat ini.
Kukira malam tidak pernah segelap ini. Mungkin karena bulan sudah tidak penuh seperti sediakala, membuat keadaan ini menjadi semakin mencekam, terlebih aku harus menyiapkan segala sesuatunya hanya di temani dengan alunan merdu binatang malam.
Selama aku hidup, baru kali ini aku memiliki inisiatif untuk tinggal di alam liar, sembari menampik hawa dingin menggunakan kayu bakar. Aroma dari arang yang terbuat dari batang pinus kering, sedikit mengingatkanku kepada rumah, dikala semua masih baik-baik saja.
Aku alihkan pikiran manjaku dengan membaca beberapa buku, dan mulai menuliskan diary lengkap, yang sepertinya akan mendokumentasikan akhir dari perjalanan umat manusia. Dengan tangan gemetar, aku memegang pensil, menuliskan nama dari buku harianku yang berjudul "Era Baru".
Setiap goresan yang aku buat, setiap derak dari bertemunya pensil sebagai lambang dari sisa-sisa akal sehatku dengan sehelai kertas, aku merasa hidup, aku merasakan nuansa yang menjaga nalarku, agar tetap menyala demi bertahan atas semua yang telah terjadi. Sedikitnya aku alirkan tulisan dari apa yang aku pelajari, juga aku praktekkan dalam kehidupanku saat ini. Dimulai dari cara membuat api saat darurat, yang ternyata tidak sekedar menggosok dua batang kayu, lalu menyaring air sebelum di rebus, dan lain sebagainya.
Mengupas tutup dari kaleng, menggunakan pisau yang aku dapat dari toko perlengkapan hiking, aku menaruh sendok di mulutku seperti yang biasa aku lakukan ketika memasak. Selagi menunggu makanan ku hangat, aku tetap saja sibuk menulis, memikirkan kata dan pengalaman terbaik bagi semua pembaca jurnalku, meski aku tahu bahwa pembacanya hanya aku seorang.
Tidak buruk juga pikirku, hidup seperti ini cukup mengasyikan. Hanya saja, akan lebih lengkap bila aku tidak sendirian. Aku merebahkan tubuhku sebentar, menikmati rasa lapar yang akhirnya akan segera terpuaskan oleh daging cincang kalengan, yang sudah menjadi makanan pokokku setiap hari.
Dalam lamunanku sambil menatap bulan yang sudah tersisa separuhnya saja, apakah iklim akan baik-baik saja? Mengingat pasang surutnya air laut bergantung kepada gravitasi bulan, setahuku. Lalu bagaimana dengan siklus bumi yang lain? Apa yang akan berubah?
Sudahlah, terlalu banyak berfikir juga tidak baik bagi mentalku. Untuk sekarang aku akan memejamkan mata dan beristirahat sebentar. Tidur singkat sebelum aku harus berjalan kembali menuju antah berantah.
°°°°°°
*Krasak-kresek, kesh~ shak.*
Aku terbangun dengan mata yang terbelalak. Menyadari kehadiran sesuatu di dekatku, sesuatu yang mengganggu tidurku dengan perasaan takut.
"Tidak ada orang lain lagi selain aku bukan? Lalu mengapa ada tanda-tanda kehidupan disini? Makhluk apa yang ada di sekitar Tenda? Hantu? Hewan buas?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam batinku, mempertanyakan eksistensi apa yang mendekatiku.
Dengan gerakan kecil dan terorganisir, aku memerintahkan tanganku untuk merayap perlahan, mencari pisau yang saat ini menjadi pelindung satu-satunya. Aku terlalu gegabah, berfikir kalau aku hanya sendirian, padahal itu bukan berarti aku akan aman dari segala ancaman.
Aku menggenggam belati (pisau ramping) dengan kedua tangan mengacung ke atas, tanpa suara dan tanpa meninggalkan posisis berbaring. Berharap bila memang itu binatang buas, ia akan segera tertikam bila mencoba untuk menerkamku.
*Kresek-kresek!*
Suara nya mendekat, mungkin benar saja bila aku sedang di intai oleh binatang lapar ini! Mengeratkan gigi, aku bersiap dengan apapun yang akan datang. Suara serasah yang basah semakin santer di telingaku, aku tahu bahwasanya posisi makhluk ini semakin dekat, dan dekat lagi ke arahku. Aku tidak pernah merasa seterancam ini sebelumnya, bulu kudukku meremang sinyal bahaya, sedangkan kedua kakiku bergetar hebat tidak terkontrol.
Hingga pada akhirnya, aku dapat melihat siluet dari makhluk tersebut terpancar oleh api unggun, tepat berada di depan tendaku. Aku harus terlebih dahulu membuat pergerakan, suara keras mungkin akan membantu untuk membuat makluk itu menjauh, karena bayangan nya semakin naik menjalar hingga kebagian atas tendaku, tanda bahwa dia semakin dekat.
"AAHH!!!!! PERGII..!! WAAAA!!!!" Aku berteriak lantang, mencoba menakut-nakuti makhluk itu, terus-menerus.
Dengan tenaga yang masih belum terisi sepenuhnya pasca berjalan seharian, aku terus berteriak dan memukul-mukul peralatan yang sepertinya itu tidak berarti. Bayangan itu hanya berhenti dan tidak memberikan tanda-tanda menjauh dariku. Nafasku mulai habis, aku kelelahan akan tetapi aku harus terus berteriak untuk hidupku. Ritme pukulanku juga mulai melemah, dan tidak memiliki tenaga.
Namun tepat sebelum aku tersungkur kelelahan, ketakutan. Aku mendengar suara yang mematahkan segala teori yang sempat aku kumpulkan sebelumnya mengenai "Day Zero"
"Hoooiii, cepat kemari, siapkan tandu dan obat-obatan. Kita punya survivor di sini." Ujar dari siluet yang berada tepat di depan tendaku.
(survivor : penyintas/orang yang selamat dari bencana)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments