Delapan bulan yang lalu..
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Allea yang tirus, seorang siswi dengan bando merah di atas kepalanya tiba-tiba muncul entah darimana dan menamparnya. Semua orang yang baru sampai dikelas langsung syok. Sebentar lagi bel masuk jam ketiga akan berbunyi.
Allea yang baru sampai di kursinya pun terkejut bukan main, untuk pertama kalinya ada yang main tangan dengannya. Seseorang yang tidak ia kenal tiba-tiba menamparnya begitu saja. Sejauh ini—ini paling jauh.
"Kau gila?!" hentak Allea dengan suara yang tertahan. Semua orang memperhatikannya, beberapa di antara mereka bahkan sudah mulai berbisik-bisik.
Ada apa ini tiba-tiba? Bukankah dia Agnes kelas 2-b? Aku dengar dia berpacaran dengan Kelvin. Maksudmu mantan waketos di kelas 3-a? Sepertinya masalah nya agak serius, tapi mungkin seru..
Bisikan-bisikan yang hampir terdengar oleh Allea terasa begitu menyesakkan, ingin rasanya Allea menutup mulut orang-orang itu serapat-rapatnya.
"Berapa harganya?" tanya Agnes dengan nafas memburu meminta jawaban secepatnya.
Namun Allea tak menjawab, dia hanya mengernyit, dia sungguh tak tahu apa yang sedang dibicarakan gadis itu padanya.
Plak.
Gadis itu kembali menamparnya untuk yang kedua kalinya, serasa lebih pedih dari sebelumnya. "Berapa? Cepat katakan berapa?! Aku akan membayar mu lebih, dua kali atau tiga kali lipat pun akan ku bayar."
"Apa yang kau bicarakan?" tanya Allea masih menahan diri.
"Aha, apa ibu tiri mu tidak memberi uang saku? Atau kurang? Atau ayah tiri mu juga tidak memberi uang? Menyedihkan ya, ada ayah-ibu tiri? Sekaligus? Kau ini memang bermasalah. Dan kau bahkan tidur—"
Plak.
Bando merah yang di pakai gadis bernama Agnes itu terjatuh ke lantai. Allea menamparnya dengan sangat keras. Dibalas dua —tiga kali lipat?
"Apa yang kau tau, Ha?"
Plak!
Allea menamparnya lagi dan mendorongnya hingga terjatuh, "Kalian membicarakan ini itu seenaknya! Apa keluarga yang utuh se— sempurna itu dimata kalian!"
Plak. Plak.
Tamparan yang dilayangkan Allea tanpa henti membuat semua siswa di kelas itu terkejut, mereka tak pernah melihat Allea hilang kendali seperti itu. Tidak. Harus ada yang menghentikan mereka, gadis itu sudah berdarah. Siapapun...
"ALLEA!" teriak keras di ambang pintu langsung menghentikan tamparan ke tujuh Allea. Bu Wina, guru bahasa Indonesia masuk ke kelas dan langsung menghampiri Allea yang masih menindih Agnes yang sudah lemas hampir tak sadarkan diri di bawahnya. Hidungnya berdarah dan pipinya tampak menyisakan rona merah.
"Ya Tuhan, Allea...," ucap Bu guru itu terkejut dengan perbuatannya. "Clara, tolong bawa siswi ini ke UKS," lanjutnya menunjuk siswi terdekat dari tempat dia berdiri. "Dan Allea ikut ibu ke ruang guru, sekarang."
Suasana kelas mulai riuh, semua siswa tanpa terkecuali mulai bergosip tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang tidak peduli, atau mereka hanya tak ingin peduli.
Bel pulang sekolah berbunyi, Allea masih duduk di ruang BK. Dia menunggu ayah atau ibunya, karena dia baru diperbolehkan pergi jika walinya datang. Namun jam sekolah sudah berakhir dan tidak ada satu pun yang datang, hingga detik-detik paling akhir seorang wanita mengetuk pintu dan masuk. Bibi Gea, itu ibu tiri nya. Lagi-lagi seperti itu. Bukan ayah ataupun ibu-nya.
"Aku ingin ke toilet," ucapnya tiba-tiba begitu Gea duduk di sampingnya.
"Allea, tunggu.. Allea," ucapan Bu Vivi, guru BK, tak diindahkan sedikitpun olehnya. Allea keluar dari ruangan itu tanpa menutup pintu, meninggalkan Gea dan Bu Vivi di dalam ruangan itu.
Dia berbohong. Dia tak pergi ke toilet. Allea pergi ke kelasnya, mengambil tasnya dan pergi dari sekolah itu. Dia sungguh membiarkan Bibi Gea mengurus apa yang sudah dia lakukan, sebenarnya dia ingin meminta maaf tapi melihat siapa yang datang untuknya. Sepertinya ucapan gadis yang tidak dia kenal tadi memang benar, ia hanya punya ibu tiri.
**
Rasanya sangat tidak nyaman. Hari sudah malam, namun Allea masih tak bisa menenangkan pikirannya tentang apa yang terjadi tadi siang. Dia masih bertanya-tanya, dia masih penasaran alasan gadis itu tiba-tiba menamparnya. Seharusnya dia bisa menahan sedikit lagi dan ia tahu apa yang terjadi.
Namun dipikir bagaimanapun, semuanya sudah terjadi. Allea memutuskan untuk pergi ke tempat karaoke seorang diri. Ia butuh penghiburan diri. Allea pergi berjalan kaki, ia hanya mengatakan untuk pergi jalan-jalan sebentar pada Bi Len yang menanyai tujuannya keluar rumah.
Sepuluh menit berjalan, Allea sampai di sebuah karaoke yang tak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Tempat karaoke yang sungguh berada tak jauh dari rumahnya. Ia menyewa satu ruangan kecil, menutup pintu, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam lagu yang mengisi ruangan itu.
Creep – Radiohead
~But I'm a creep, I'm a weirdo
What the hell am I doing here?
I don't belong here
I don't belong here~
Hampir setengah jam berlalu, Allea memutuskan untuk duduk. Di tangannya, sebatang rokok menyala, asapnya mengepul ke udara, berbaur dengan kilauan lampu yang menari-nari di sekelilingnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan nikotin mengaliri paru-parunya sebelum perlahan menghembuskannya. Malam itu terasa bebas. Tidak ada siapa pun yang bisa menghakiminya di sini. Jiwanya serasa sedikit terhibur, dia sudah merasa hidup kembali.
Namun, di saat ia baru saja menghabiskan setengah batang rokoknya, pintu ruangan mendadak terbuka lebar. Seseorang menerobos masuk tanpa aba-aba.
BRAK!
Allea terlonjak kaget. Di depannya, seorang pria dengan kemeja putih yang sedikit kusut berdiri dengan langkah goyah. Mata mereka bertemu dalam kegelapan ruangan, dan saat itu juga Allea mengenalinya.
—Davendra.
Pria itu tampak nya mabuk. Wajahnya merah, dasinya longgar, dan napasnya tercium aroma alkohol yang kuat. Ia berjalan tidak stabil, dan hampir saja jatuh jika Allea tidak segera berdiri dan meraih lengannya.
"Kamu...?" Allea memicingkan mata, memastikan ia tidak salah lihat.
Pria itu hanya mendesah berat, kepalanya terangguk lemah. "... Aku merasa pusing..."
Allea menoleh ke luar lorong, tapi tak ada siapa pun di sana. Sepertinya pria ini benar-benar sendiri. Ia menghela napas sebelum mematikan rokoknya dan memapah Davendra ke sofa hitam yang dia duduki sedari tadi.
Davendra duduk dengan tubuh lunglai, tangannya mengusap wajahnya sendiri, seolah mencoba mengembalikan kesadarannya. "Sial.! Hari ini benar-benar menyebalkan~" gumamnya dengan suara berat.
Allea duduk di sampingnya, menatap pria itu dengan bingung. Ia tahu bahwa Davendra adalah seorang pria beristri, dia bahkan sudah pernah bertemu dengan istrinya. Dalam ingatannya, pria itu selalu terlihat tenang dan elegan, tapi malam ini, sosoknya berbeda—tampak berantakan dan penuh kepedihan.
"Apa yang terjadi, —Om?" tanyanya pelan. Dia tidak bisa memikirkan panggilan selain —Om. Mungkin itu adalah panggilan yang cocok, lagipula pria itu juga mengenal ayahnya. Dipanggil Om sepertinya sudah hal yang benar.
Davendra tidak menjawab. Ia hanya mendongak dan menatap Allea dengan mata yang sedikit sayu, tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Seakan pria itu sedang memikirkan suatu tindakan di kepalanya.
Tiba-tiba, pria itu bergerak. Dalam hitungan detik, ia mendorong Allea ke sofa, membuat Allea langsung terbaring. Tubuhnya yang besar menindih gadis itu, membuat Allea terkejut. Sangat terkejut.
"Om! Apa yang—"
Allea tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena bibir Davendra sudah menyapu bibirnya. Dalam dan menuntut. Lebih lagi—.
Allea membelalakkan matanya, tangannya secara refleks mendorong dada pria itu. Namun, semakin ia berusaha melawan, semakin kuat ciuman yang diberikan pria itu terhadapnya.
Napas mereka beradu, dan Allea mulai kehilangan pijakan. Ia tahu ini salah. Ia tahu ia harus menghentikan pria ini. Tapi anehnya, tubuhnya tidak bisa bergerak seperti yang ia inginkan. Rasanya, pria itu sudah mengambil alih kendali atas dirinya.
Davendra mencium bibirnya seolah ingin melampiaskan semua kepedihannya di sana. Ia mabuk, pikirannya tidak sepenuhnya sadar, tetapi sentuhannya begitu nyata. Jemarinya menggenggam pinggang Allea erat, menariknya lebih dekat seolah ia tidak ingin melepaskannya.
Saat itu, sesuatu berubah dalam diri Allea. Bibirnya mulai mengikuti tiap gerakan pria itu. Entah sejak kapan, ia mulai membalasnya. Nafas mereka semakin berat, jantungnya berdebar tak karuan, tetapi ia tidak bisa menghentikannya.
Ini seharusnya tidak terjadi. Ini salah. Tapi mereka berdua sudah larut dalam sesuatu yang tidak bisa mereka hentikan. Atau— karena mereka memang tak berniat untuk berhenti.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments