Rania kini menatap kearah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di hadapannya, Wijaya Grup berdiri dengan gagahnya diantara bangunan-bangunan lain yang ada di sekitarnya. Udara sore terasa sejuk, tetapi keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Tatapan Rania terpaku pada logo besar di atas gedung—Wijaya Grup—nama yang sudah tidak asing di telinganya. Nama yang lekat dengan kekuasaan, kendali, dan… Bagaskara Wijaya.
Hari ini, setelah pulang dari pabrik tempatnya bekerja . Rania memutuskan untuk datang langsung ke kantor tempat Bagaskara bekerja, tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu ia nekat untuk datang kesini.
Setelah menenangkan diri, Rania menarik napas dalam lalu melangkah masuk ke dalam gedung, dan begitu ia masuk ia langsung disambut dengan lobi yang luas dan megah. Cahaya dari lampu kristal menggantung di langit-langit, memantulkan kilau mewah di lantai marmer yang mengilap. Suasana di dalam begitu sibuk—para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, beberapa berbicara di telepon, sementara yang lain menatap layar laptop mereka dengan fokus penuh.
Rania berjalan mendekati meja resepsionis, seorang wanita berpenampilan rapi dengan rambut yang disanggul elegan menatapnya dengan senyum profesional. Namun, Rania dapat melihat kerutan heran dari resepsionis itu.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanuta resepsionis dengan sopan sambil menatap Rania .
Rania yang ditatap seperti itu pun tidak bisa menjawab pertanyan itu dengan segelas , ia berusaha meredam kegugupan yang terasa menyesakkan dadanya dengan berdeham pelan "Saya ingin bertemu dengan Pak Bagaskara Wijaya." Ucapnya sambil tersenyum kecil , berusaha untuk menutupi kegugupannya.
Resepsionis itu menatapnya lagi lebih meneliti sejenak sebelum mengangguk. "Bisa saya tahu nama Anda?" ucapnya dengan profesional, mau bagaimana pun ia tidak bisa bersikap semena-mena pada Rania. Ia masih menyayangi gajinya yang besar dan tidak akan bisa ia dapatkan lagi jika bekerja di tempat lain.
"Rania." Ucapnya singkat dan langsung di angguki oleh wanita yang bekerja sebagai resepsionis.
Wanita itu langsung mengetik sesuatu di komputer di hadapannya, dengan serius. Kemudian, dengan gerakan cekatan, ia menekan tombol telepon dan berbicara dengan seseorang di seberang sana.
"Ibu Rania ingin bertemu dengan Pak Bagaskara. Apakah beliau bisa menerima tamu saat ini?" Ucapnya langsung pada lawan bicaranya di seberang sana .
Suasana terasa hening bagi Rania, sebenarnya Rania agak rusuh dipanggil ibu dengan orang yang lebih tua darinya. Ia pi menggenggam erat jemarinya, untuk menutupi kegugupannya, ia menunggu panggilan itu berakhir dengan jantung berdebar. Tidak lama kemudian, suara di ujung telepon terdengar memberikan jawaban.
"Baik, saya akan mengarahkan beliau ke lantai atas." Ucapnya setelah mendapatkan jawaban dari seberang sana, sambil matanya menatap Rania dengan senyumannya dan anggukan kecil.
Resepsionis menutup teleponnya lalu tersenyum. "Silakan naik ke lantai paling atas, sekretaris Pak Bagaskara sudah menunggu Anda di sana." Ucapnya sambil menunjukan ke arah mana Rania harus berjalan.
Rania mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum mengikuti petunjuk yang diberikan. Dan Rania pun masuk ke dalam lift dan memencet tombol paling atas .
Setelah beberapa menit berada di dalam lift, akhirnya Rania pun sampai di lantai tertinggi gedung pencakar langit ini. Sebuah pintu besar dengan ukiran elegan berdiri di hadapannya, dan di sampingnya seorang pria berpakaian formal—sekretaris pribadi Bagaskara—menyambutnya dengan anggukan sopan.
"Ibu Rania, silakan masuk. Pak Bagaskara sudah menunggu." Ucapnya sambil menuntun Rania agar semakin mendekat kearah pintu ruangan bos-nya itu.
'Menunggu?' ucap Rania disalam hatinya, Jantungnya semakin berdegup kencang. Seolah pria itu sudah tahu bahwa ia akan datang. Dengan menghela nafas pelan dan langkah yang hati-hati, Rania membuka pintu dan melangkah masuk.
Satu kata yang Rania ingin ucapkan saat memasuki ruangan ini, yaitu ruangan tempat Bagaskara bekerja sangat luas, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota. Cahaya matahari sore menyelinap masuk, memberikan cahaya keemasan pada interior kayu gelap yang elegan. Di tengah ruangan itu, duduklah Bagaskara Wijaya—pria yang beberapa hari ini menghantui pikirannya.
Bagaskara tampak gagah saat mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit longgar, ekspresinya tenang tetapi penuh arti. Matanya menatap lurus ke arahnya, seolah sudah tahu apa yang akan dikatakannya.
"Duduklah, Rania." ucapnya dengan suara yang berat, dan hal itu pun mampu membuat Rania lemas dibuatnya.
Rania menelan ludah, lalu dengan hati-hati menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu. Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu dalam keheningan, sebelum akhirnya Bagaskara yang memulai pembicaraan.
" Ada masalah apa ? " Tanya Bagaskara pelan namun masih dapat di dengar oleh Rania yang duduk disebelahnya.
" Kedatangan saya kesini karena ada yang harus saya bicarakan , Pak ! " Ucap Rania yang tidak berani mengangkat kepalanya.
" Apa yang ingin kamu sampaikan ? " Tanya Bagaskara yang pandangannya tidak pernah lepas dari Rania .
" Saat ini , saya... Hamil ! " Ucap Rania yang semakin menundukkan kepalanya , Bagaskara yang mendengar itu pun tidak bisa menahan senyumannya . Namun , untuk saat ini ia tidak mau terlalu menampakan raut senangnya itu .
" Lalu ? " Ucap Bagaskara yang ingin melihat reaksi Rania saat ia berkata seperti itu.
" Saya jamin kalau anak yang saya kandung ini , adalah anak bapak ! Saya tidak pernah berhubungan dengan siapa pun , kecuali dengan bapak saat itu ! " Ucap Rania yang buru-buru bicara seperti itu. Dan Bagaskara yang mendengarnya pun tersenyum .
"Saya sudah tahu kalau kamu hamil, anak saya ! Dan saya juga sudah tahu kalau kamu itu wanita baik-baik ! " Ucap Bagaskara lagi dengan sangsinya , dan Rania yang mendengar itu pun mengangkat wajahnya, terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Bagaskara .
"Apa?" ucap Rania yang tidak bisa menahan keterkejutannya atas pernyataan yang dilakukan oleh laki-laki yang telah menghamilinya itu.
Bagaskara yang mendengar perkataan Rania pun menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi yang ia duduki, lalu menatap Rania dengan tatapan yang lebih dalam.
"Saya sudah tahu kalau kamu hamil." ucapnya dengan santainya, dan kata-kata Bagaskara itu mampu membuat darah Rania seolah berhenti mengalir. Bagaimana mungkin ia bisa tahu sebelum ia beritahu !
Seolah bisa membaca pikirannya, Bagaskara melanjutkan, "Aku melihatnya dalam mimpi." ucap Bagaskara melanjutkan perkataannya tadi. Rania yang mendengar perkataannya itu pun terdiam. Hatinya semakin berkecamuk.
Bagaskara melanjutkan dengan nada yang lebih serius, "Percaya atau tidak. Beberapa minggu terakhir, saya terus memimpikan kamu tengah hamil besar. Saya melihat kamu… dengan perut yang membesar. Saya tidak mengerti apa maksudnya pada awalnya, tetapi firasatku mengatakan sesuatu sedang terjadi. Dan kemudian, saat saya meminta kamu untuk mengecek keadaanmu… dan sebelum kamu bicara aku sudah mendapatkan jawabannya." Ucapnya dengan panjang lebar , tentang apa yang terjadi lada dirinya selama ini.
Rania yang mendengar itu pun membeku. Jadi, Bagaskara sudah tahu bahkan sebelum ia datang ke sini?
"Itu sebabnya saya menyuruhmu untuk memeriksakan diri," lanjutnya, "karena saya harus memastikan semuanya benar-benar nyata." Ucapnya lagi. Katakanlah ia bodoh karena percaya pada mimpi yang ia lalui , namun ternyata mimpinya itu nyata.
Rania menunduk, menggenggam tangannya yang gemetar di atas pangkuan. "Kenapa… kenapa Bapak tidak langsung menanyakannya pada saya?" Tanya Rania pada bos besarnya itu.
Bagaskara terdiam sejenak, sebelum menjawab, "Karena saya ingin kamu takan sendiri dan berkata langsung pada saya. Saya ingin tahu apakah kamu berani menghadapi dan memberitahu saya secara langsung." Ucap Anthony dengan tegas, sambil terus menatap Rania.
Rania yang mendengar itu pun Hatinya terasa semakin sesak. Ia tidak tahu apakah harus merasa lega atau semakin gugup dengan kenyataan ini.
"Jadi… apa yang akan bapak lakukan?" tanya Rania pada akhirnya dengan suara pelan ia nekat bertanya pada Bagaskara , dan memberanikan diri untuk menatap wajah laki-laki itu.
Bagaskara yang mendengar itu pun menghela napas panjang, lalu menatap Rania dengan intens. "Saya bertanggung jawab, Rania. Anak ini… adalah bagian dari darah saya. Saya tidak akan lari dari masalah ink." Ucapnya dengan tegas , tanpa keraguan sedikitpun.
Mata Bagaskara menunjukkan ketegasan yang tidak bisa disangkal. Bagaskara bukan pria yang akan meninggalkan tanggung jawabnya.
Tetapi Rania masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. "Bagaimana dengan status kita? Kita bahkan tidak memiliki hubungan…" ucap Rania mengeluarkan apa tangan ada di dalam pikirannya saat ini .
Bagaskara tidak segera menjawab. Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela, lalu berbalik menatap Rania dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Kalau begitu, kita harus memutuskan sekarang… apakah kita akan tetap seperti ini, ataukah kita akan melakukan sesuatu untuk anak ini?" Ucapnya lagi dengan santainya.
Mendengar hal itu pun mampu membuat jantung Rania berdetak semakin kencang. Bagaskara ingin mereka membuat keputusan? keputusan tentang apa?
Ia belum siap dengan ini. Ia belum tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi satu hal yang pasti—pria di hadapannya ini tidak akan pernah lari dari tanggung jawabnya.Dan kini, semua keputusan ada di tangannya.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments