Kini Rania merasa dadanya semakin sesak setelah tahu apa yabg terjadi pada dirinya . Tangannya gemetar saat meremas kertas panduan kehamilan yang baru saja diberikan dr. Winda. Pikirannya berputar begitu cepat, penuh dengan pertanyaan dan ketakutan yang belum bisa ia jawab.
Bagaskara…
Nama itu terus terngiang di kepalanya. Pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai pemilik perusahaan besar, seorang ayah angkat yang seharusnya dihormati. Tapi sekarang, pria itu adalah ayah dari bayi yang tengah tumbuh di rahimnya.
Bagaimana jika ia tidak mengakui bayi ini? Bagaimana jika ia menganggap semua ini sebagai kesalahan?
"Rania?" ucap dokter winda lagi yang membuat Rania kembali menatapnya lagi.
Suara dokter Winda membuyarkan lamunannya. Rania tersentak, lalu mengangkat kepala dengan tatapan kosong. Dokter itu menatapnya dengan penuh perhatian, seakan memahami beban yang tengah ia pikul.
"Kamu tidak harus menghadapi ini sendirian," ujar dr. Winda dengan lembut. "Aku tahu ini sulit, tapi kamu harus menjaga kesehatanmu juga. Kamu bisa mencari seseorang yang kamu percaya untuk mendukungmu." Ucapnya lagi memberi saran pada pasiennya itu.
Rania menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Siska. Ya, hanya Siska yang tahu sejauh ini. Kini mata Rania memandang sahabatnya itu yang masih menatap foto USG yang berada di tangannya.
"Tapi, Dok… bagaimana jika aku tidak siap?" tanya Rania dengan suaranya yang bergetar, hampir seperti bisikan. Siska yang mendengar itu pun menatap Rania dengan sendu.
Dokter Winda yang mendengar pertanyaan Rania pun menghela napas pelan sebelum menjawab, "Tidak ada ibu yang benar-benar siap, Rania. Tapi aku percaya bahwa seorang wanita selalu memiliki kekuatan lebih dari yang ia sadari. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima ini." ucapnya dengan tenang sambil menatap keibuan pada Rania.
Rania yang mendengar itu pun menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus menghadapi kenyataan ini. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana ia bisa mengatakan kepada Bagaskara bahwa ia mengandung anaknya?
Seolah mengerti kebingungannya, dokter Winda pun melanjutkan perkataannya, "Aku tidak ingin memaksamu untuk mengambil keputusan sekarang. Tapi aku ingin kamu memikirkan masa depanmu dan bayi ini dengan hati-hati. Jika kamu butuh bantuan, aku di sini." ucapnya dengan lembut, ia sudah sering mendengar kasus seperti Rania ini. Dan ia selalu berusaha memberikan nasihat yang terbaik.
Rania yang mendengar itu pun hanya bisa mengangguk lemah. Kata-kata dokter itu masuk ke telinganya, tapi sulit baginya untuk benar-benar mencerna semuanya. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Perawat kembali dengan beberapa lembar resep vitamin yang harus dikonsumsi Rania.
"Ini suplemen yang sebaiknya kamu minum untuk menjaga kesehatan kandunganmu," ujar dokter Winda seraya menyerahkan kertas resep itu kepadanya. "Asam folat sangat penting untuk perkembangan janin di trimester pertama." Ucapnya lagi, menyarankan apa saja yang bagus untuk kehamilan Rania.
Tangan Rania pun terulur menerima resep itu tanpa benar-benar melihatnya. Pikirannya masih berkecamuk. Setelah berpamitan dengan dokter Winda, mereka pun melangkah keluar dari ruang pemeriksaan dengan langkah gontai.
Begitu mereka keluar dari ruang pemeriksaan, udara di koridor klinik terasa jauh lebih berat daripada sebelumnya. Rania berjalan dengan langkah goyah, pikirannya masih penuh dengan suara-suara yang saling bertabrakan. Tangannya yang masih menggenggam hasil USG terasa dingin dan gemetar.
Siska, yang berjalan di sampingnya, diam untuk beberapa saat, mungkin mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Ia tahu ini bukan momen yang bisa dihadapi dengan kata-kata biasa. Namun, keheningan ini terasa semakin menekan.
Mereka akhirnya sampai di area lobi, tempat orang-orang berlalu-lalang, beberapa di antaranya juga ibu hamil yang sedang menunggu giliran pemeriksaan. Melihat mereka, Rania merasa seperti ada dinding besar yang menghalangi dirinya dari dunia mereka.
Ibu-ibu itu tampak bahagia, beberapa berbincang dengan suami mereka, yang dengan sabar menemani mereka. Beberapa yang lain sibuk mengelus perut mereka dengan penuh kasih sayang. Rania justru merasa seolah ia berada di tempat yang salah.
Ini bukan kehamilan yang ia rencanakan. Ini bukan kehamilan yang ia impikan dengan pasangan yang mencintainya. Ini adalah sesuatu yang terjadi begitu saja—sesuatu yang bahkan belum bisa ia terima sepenuhnya.
Siska yang melihat arah pandang Rania pun menarik napas panjang, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan, "Rania… kita harus pergi sekarang! " ucapnya sambil memegang tangan Rania dan menuntunnya keluar klinik. Rania yang dituntun keluar pun tetap diam, membiarkan dirinya ditarik oleh sahabatnya itu.
"Lo mau ke mana sekarang?" tanya Siska lagi, kali ini suaranya lebih lembut begitu mereka sudah sampai di depan klinik dab di setelahnya juga terdapat motor Siska yang tadi mereka pakai hingga bisa sampai kesini.
Rania menatap sahabatnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke atas , awan mendung menutupi langit yang tadi terang saat mereka pergi "Gue nggak tahu." Ucapnya dengan pelan.
Siska mengerutkan kening. "Lo mau pulang ke rumah?" Tanyanya lagi sambil terus menatap ke arah sahabatnya itu.
Rumah. Kata itu seharusnya terdengar menenangkan, tapi justru membuat Rania semakin gelisah. Pulang ke rumah berarti kembali bertemu dengan orang tuanya. Kembali ke rutinitas sehari-hari seolah tidak ada yang berubah. Kembali menyembunyikan sesuatu yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Bagaimana ia bisa menyembunyikan kehamilan ini dari kedua orang tuanya , ia tidak bisa menyembunyikan ini dari mereka dan juga tidak mungkin memberitahukan mereka lebih awal, karena ia belum berani menerima kemarahan dan kekecewaan mereka nantinya setelah ia memberitahukan kehamilan ini.
Siska sepertinya bisa menebak apa yang ada di pikirannya. "Atau… lo mau cari tempat lain dulu? Kita bisa pergi ke tempat yang lebih tenang." Ucapnya lagi memberikan saran pada Rania.
Rania berpikir sejenak sebelum mengangguk pelan. "Gue nggak mau pulang dulu. Bisa kita cari tempat yang nggak banyak orang?" Ucapnya pada akhirnya.
Tanpa banyak bertanya lagi, Siska merangkul bahunya dan menuntunnya menjauh dari parkiran klinik. Dan mereka pun berjalan melewati trotoar basah, meninggalkan motor yang di bawa mereka tadi di depan klinik, di bawah awan mendung yang membuat siang hari terasa lebih sendu.
Mereka akhirnya sampai di sebuah kafe kecil di ujung jalan, tempat yang tidak terlalu ramai. Interiornya hangat, dengan pencahayaan lembut yang sedikit mengurangi ketegangan di dada Rania. Mereka memilih tempat di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Begitu duduk, Siska langsung memesan makanan dan minuman untuknya dan sahabatnya yang baru saja mendapatkan kabar yang entah baik ataukah buruk.
Siska pun menghela nafas panjang begitu mengingat kejadian yang menimpa Rania saat ini , entah bagaimana sahabatnya itu menyikapinya. Namun yang pasti akan selalu ada untuk Rania.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments