Lampu ruangan itu masih menyala, meski hampir seluruh lantai kantor sudah sepi. Hanya ada suara pelan dari pendingin ruangan dan sesekali bunyi gesekan kertas yang Arsal bolak-balik. Pandangannya fokus pada dokumen di tangannya, tidak menyadari bahwa Ayra sudah berdiri di ambang pintu.
Ayra berdeham pelan, membuat Arsal akhirnya menoleh. "Saya boleh menunggu di sini?" tanya Ayra pelan.
Arsal mengerutkan dahi, sejenak tidak mengerti.
"Saya boleh tunggu anda di sini? Ruangan saya sudah kosong. Mas Haykal dan yang lainnya sudah pulang dari tadi sore," lanjut Ayra masih berdiri di ambang pintu.
Arsal diam sesaat, baru teringat. Benar, tadi sore ia memang meminta Ayra pulang bersamanya. Namun karena kesibukan dan pikirannya yang masih kusut, ia benar-benar lupa.
"Iya, masuk," jawab Arsal akhirnya, kembali fokus pada berkas di hadapannya.
Ayra menghela napas pendek, kemudian berjalan ke sofa di sisi ruangan. Tanpa banyak bicara, ia menjatuhkan tubuhnya ke sana, menyandarkan kepala di bantalan kursi. Matanya melirik sekilas ke arah Arsal yang masih sibuk.
"Anda masih lama?" tanya Ayra pelan.
Arsal melihatnya sekilas. Lalu kembali fokus ke dokumennya. "Sebentar lagi."
Ayra menatap ke arah langit-langit. Kantor sudah sangat sepi, hanya tersisa mereka berdua di lantai ini. Ia mengabaikan debar aneh yang muncul dalam dadanya dan memilih untuk menutup mata sejenak.
Arsal yang sesekali melirik ke arahnya, tidak mengatakan apa pun. Namun entah kenapa, kehadiran Ayra di ruangan membuat suasana agak berbeda. Mereka bertahan dalam keheningan hingga beberapa menit kemudian Arsal selesai juga.
"Ayo, Ay. Saya sudah selesai." Arsal sedang merapikan beberapa berkasnya.
"Iya," sahut Ayra yang langsung berdiri.
Mereka berdua pun keluar ruangan. Berjalan beriringan namun tetap dalam hening. Ayra yang masih saja canggung karena perdebatan mereka pagi tadi, sementara Arsal sibuk dengan pikirannya sendiri, baginya Ayra seolah kurang nyaman berada di dekatnya.
Istrinya itu bahkan masing berbicara formal padanya. Padahal mengingat bagaimana dekatnya pertemanan mereka dulu, seharusnya Ayra tidak perlu menjaga jarak seperti itu.
Akhirnya mereka sampai di parkiran. Keduanya pun langsung masuk ke mobil. Perjalanan terasa begitu lama. Apalagi Arsal yang fokus menyetir menatap jalanan membuat Ayra sangat sungkan berbicara lebih dulu.
"Kalau mau bicara, silahkan, Ay. Saya tidak akan makan kamu," kata Arsal akhirnya. Sedari tadi ia merasa Ayra selalu melihat ke arahnya. Seolah ingin mengajaknya bicara.
"Kita bisa mampir ke kontrakan saya dulu nggak? Barang dan sebagian besar baju saya masih disana," tanya Ayra hati-hati.
Arsal tetap fokus mengemudi, hanya memberikan jawaban tanpa menoleh sedikit pun. "Bajumu semuanya sudah di tempat saya. Beberapa barang pribadimu juga," jawab Arsal ringan.
Ayra menoleh cepat, matanya sedikit membesar. "Apa? Kapan?"
Arsal masih sama, ekspresi dinginnya tak berubah. "Kemarin saya minta orang untuk mengambilnya. Yang penting-penting sudah ada di sana."
Ayra terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Hatinya terasa sedikit terusik. Bagaimana bisa Arsal bertindak tanpa memberitahunya lebih dulu? Seakan-akan ia tak punya hak atas keputusan tentang barang-barangnya sendiri.
"Anda seharusnya bicara dulu dengan saya," sahut Ayra kesal.
Arsal tak langsung menjawab. Tangan kirinya bertumpu di setir sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk dengan ritme pelan.
"Dari kemarin kamu terkesan menghindari saya. Jadi saya berinisiatif sendiri," jawab Arsal dengan tenang tanpa menoleh pada Ayra.
Sudut matanya menangkap perubahan wajah Ayra. Ia yakin, istrinya itu pasti sedang kesal dengannya.
"Itu ide Helen. Katanya biar kamu nggak bolak-balik, jarak kontrakan ke apartemen saya lumayan soalnya." ujar Arsal.
Penjelasan Arsal membuat perasaan Ayra menghangat. Mencoba mengalihkan pikirannya, Ayra akhirnya bertanya hal lain. "Kita mau jemput Kalya, ya?"
Arsal menggeleng. "Tidak. Kalya masih betah di rumah neneknya."
Hening kembali. Ayra memilih untuk menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil sambil memandang luar jendela. Namun tiba-tiba pikirannya terusik kembali.
"Jadi kita hanya berdua di apartemenmu?" tanya Ayra dengan nada agak panik.
"Hmmh...." jawab Arsal mengangguk. Senyum samar itu kembali muncul, namun tidak disadari Ayra sama sekali.
"Kenapa kita harus tinggal di apartemenmu?"
"Saya belum beli rumah."
Ayra menghela napasnya. "Bukan itu maksudnya. Kita bisa ikut menginap di rumah orang tuamu. Saya rasa, itu lebih baik daripada hanya berdua di apartemenmu. Supaya tidak terasa canggung," kata Ayra mencoba memberi saran.
"Akan lebih canggung kalau di sana." sahut Arsal sekenananya.
Saat itulah tubuh Ayra lemas rasanya. Apalagi ketika mereka sampai di gedung apartemen Arsal. Tanpa menunggu Ayra lebih dulu, Arsal langsung keluar dari mobil dan berjalan di depan. Sementara Ayra mengekor di belakang lelaki itu.
Semua ekspresi dan pergerakan Ayra tidak luput dari pandangan Arsal. Sebenarnya tidak hanya Ayra, namun Arsal juga merasakan kecanggungan itu. Namun Arsal berusaha menepis itu.
Sesampainya mereka di unit apartemen Arsal, begitu mereka masuk, Arsal hendak berjalan menuju kamar. Namun Ayra justru duduk di sofa ruang tamu seperti dirinya memang tamu.
"Kamu kenapa disitu?" tanya Arsal heran.
Ayra mendongak, agak bingung. "Memangnya saya harus duduk di mana?"
Arsal menghela napas, lalu berjalan mendekat. "Kamu bisa istirahat di kamar. Atau kamu juga bisa bersih-bersih dulu. Pakaianmu sudah disusun di lemari."
"Kamar? Kamar saya?"
Kening Arsal berkerut, tampaknya Ayra memang belum memahami status mereka sekarang. "Kamar kita." jawab Arsal.
"Kita sekamar? Harus secepat itu, ya? Saya belum siap." cicit Ayra. Isi kepalanya penuh dengan obrolannya bersama Riana tadi siang. Pengantin baru berada dalam satu kamar. Malam pertama? Tapi apakah harus secepat ini?
Arsal menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Kamu istri saya, Ayra. Wajar kamu sekamar dengan saya. Sana bersih-bersih dulu. Saya mau ke dapur."
Ayra terdiam, tak tahu harus berkata apa. Semua ini masih terlalu baru baginya. Namun ia tidak bisa membantah kenyataannya mereka memang sudah menikah.
Tanpa banyak bicara lagi, ia akhirnya bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar, sementara Arsal kembali ke dapur, menyiapkan makanan.
Setibanya Arsal di dapur, Arsal masih terpaku menatap isi kulkasnya yang hampir kosong. Hanya ada telur dan sosis. Ia menghela napas pelan, berpikir akan membuat apa dengan bahan sesedikit itu. Kemampuan masaknya pun sangat terbatas.
Lama ia termenung di depan kulkas. Tampaknya memesan makanan di luar sepertinya pilihan terbaik.
Namun, sebelum ia sempat mengambil ponselnya, suara langkah ringan terdengar. Ayra muncul di dapur, masih dengan rambut yang sedikit lembap. Aroma sabunnya masih melekat, wangi yang segar dan lembut. Arsal yang semula santai, tiba-tiba merasa canggung.
Terlebih lagi, Ayra kini mengenakan dress rumahan selutut. Itu memang pakaian biasa, bahkan sangat sopan untuk pakaian rumah. Namun melihat Ayra yang memakai itu, terlebih tanpa adanya jilbab untuk menutupi rambutnya, itu menjadi berbeda. Apalagi ini adalah Ayra, gadis yang sejak tujuh tahun lalu masih ada di hatinya.
"Mau masak apa?" tanya Ayra menatap Arsal.
Arsal merutuki hal itu. Tatapan polos Ayra, ditambah aroma shampo dan parfum Ayra seolah membangkitkan sesuatu dari diri Arsal. Ia sudah berusaha kuat saat malam pertama di kamar Ayra beberapa waktu kemarin. Saat pertama kali ia melihat Ayra tanpa jilbabnya, memperlihatkan rambut cokelatnya yang membingkai wajah cantiknya, saat itu rasanya ia ingin memeluk Ayra.
Namun mengingat kondisi mereka yang masih sangat kaku, ia pun berusaha bersikap biasa saja.
Seolah tak menyadari efek kehadirannya, Ayra melangkah mendekat dan melirik isi kulkas. "Mau aku saja yang masak?" tanyanya santai. "Kamu bersih-bersih dulu. Aku yakin dari tadi belum mandi."
"Lebih baik pesan makan di luar," sahut Arsal mengalihkan pandangannya dari mata Ayra.
"Nggak perlu. Biar saya saja yang masak." Ayra berhenti sejenak. "Anda lebih baik bersih-bersih dulu."
Arsal menoleh. Menatap Ayra yang kini juga menatapnya. Akhirnya ia mengangguk kecil, bersiap pergi. Namun, baru satu langkah ia berbalik, tangan Ayra menahan lengannya.
Arsal membeku di tempat. Matanya langsung jatuh pada jemari Ayra yang mencengkeram ringan lengannya. Sentuhan itu kecil, namun cukup membuat Arsal berdebar.
"Ada apa?" Suara Arsal terdengar lebih berat dari biasanya.
Tanpa menjawab, Ayra berjinjit mendekat. Terlalu dekat. Arsal menahan napas. Jarak mereka terlalu tipis. Bisa dihitung dalam satuan milimeter. Bahkan Arsal bisa melihat jelas bola mata Ayra yang tampak bening.
Hingga akhirnya ia merasakan sesuatu menyentuh keningnya. Jemari Ayra dengan lembut mengambil sesuatu di sana.
"Ada sesuatu di sini," gumam Ayra pelan. Dengan santai, ia mengambil sesuatu yang tersangkut di kening Arsal.
Namun Ayra tidak tahu. Gerakan kecil itu telah mengusik sesuatu dalam diri Arsal. Perasaan yang selama ini ia tekan. Keinginan yang ia tahan.
Tatapan Arsal menggelap, tapi ia cepat-cepat berdeham, memalingkan wajah sebelum semuanya semakin sulit dikendalikan.
"Saya mandi dulu."
Ia melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Sementara Ayra hanya mengerutkan kening, tak mengerti perubahan ekspresi suaminya.
"Kenapa wajahnya jadi memerah?" Suara pelan Ayra itu masih terdengar jelas di telinga Arsal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments