RASA BENCI DAN CINTA

Malam semakin merangkak. Rumah Ayra sudah mulai sepi. Para tamu yang sejak tadi memenuhi rumah duka sudah satu per satu berpamitan. Beberapa saudara yang datang dari luar kota juga ada yang menginap di rumah mereka, namun ada juga yang di rumah Sarah.

Semenjak selesai sholat Isya, Ayra bersandar dengan ranjangnya dengan mukena masih dikenakannya. Ia baru selesai membaca Qur'an dan doa untuk abinya. Di dekatnya ada Helen yang sedang berbaring menatap langit-langit kamar. Gadis itu memilih ikut menginap karena rencananya ingin menumpang mobil Arsal untuk pulang ke kota.

"Aku masih belum nyangka, Ra. Kok bisa akhirnya kamu menikah sama Arsal, ya." Suara Helen memecah keheningan.

Ayra menoleh dengan ekspresi datar. "Namanya juga jodoh, Len. Jangankan kamu, aku aja masih belum percaya."

Helen tertawa. "Tapi gimana rasanya pas selesai akad? Nggak, bukan itu. Gimana rasanya setelah kamu sah jadi istrinya Arsal?"

Ayra mendesah pelan, matanya menatap lurus ke depan. Lebih tepatnya pada foto mereka jaman kuliah dulu. "Bingung, Len. Bahagia karena abi masih bisa dikasih waktu untuk menikahkan ku, sedih juga karena setelah akad abi meninggal."

Helen menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Kamu pernak naksir dia nggak? Atau kamu pernah deg-degan nggak waktu dekat dia?"

Ayra terdiam. Ia sama sekali tidak terpikirkan akan hal itu.

Helen memperhatikannya lebih saksama. "Ayra?"

Ayra akhirnya menatap sahabatnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Helen, aku menikah dengan Arsal karena abiku memintaku. Aku tidak sempat memikirkan perasaanku sendiri."

Helen menatapnya dengan penasaran. "Dan dia? Bagaimana dengan Arsal?"

Ayra tertawa kecil, tetapi tidak terdengar bahagia. "Dia? Aku tidak tahu. Arsal yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Jaman masih sama Karina, dia kayaknya nggak sedatar itu deh."

Helen kemudian duduk, lalu melipat tangannya. "Tapi aneh, Ra. Kenapa dia harus repot-repot nikahin kamu kalau dia nggak suka kamu? Dia malah menerima ajakan kamu yang sebenarnya hanya karena spontan kamu ngajakin dia nikah."

Ayra terdiam, memikirkan kata-kata Helen.

Lalu, Helen tersenyum jahil. "Jangan-jangan dia emang masih suka kamu, tapi terhalang gengsi aja. Hmmh..., berarti malam ini kalian-"

Ayra langsung melempar bantal ke arah Helen. "Helen!"

Helen tertawa sambil menghindar. "Ya ampun, tenang, Ra. Aku cuma bercanda!"

Ayra menghela napas panjang. Matanya menatap tajam pada Helen yang masih tertawa. "Jangan membahas ini lagi. Aku aja nggak kepikiran masalah itu."

Tawa Helen semakin terdengar begitu menjengkelkan di telinga Ayra. "Berhenti tertawa Helen. Ish...."

Ayra dan Helen masih asyik mengobrol ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Sosok Arsal muncul di ambang pintu, kemejanya sudah berganti baju kaos polo berwarna hitam. Penampilan Arsal terlihat lebih santai dari biasanya. Tatapannya langsung bertemu dengan Ayra, sebelum bergeser ke arah Helen yang duduk santai di atas tempat tidur.

Ayra terkejut. "Ada perlu apa ya, Pak?" Tanyanya refleks.

Arsal tidak langsung menjawab, hanya menarik napas pendek. "Nggak. Saya keluar."

Helen yang duduk di ranjang langsung berlari pelan dan menahan lengan Arsal sebelum lelaki itu sempat berbalik. "Eh, eh, jangan buru-buru pergi, Sal. Gue juga udah mau tidur. Jadi silahkan menikmati waktu lo berdua." Kata Helen tersenyum jahil.

Ayra mendelik ke arah Helen. "Helen, jangan mulai—"

Namun Helen justru menyeringai nakal, menatap bergantian antara Ayra dan Arsal. "Aku serahkan istrimu, Pak Arsal. Jaga baik-baik, ya~" Godanya sebelum cepat-cepat melesat keluar dari kamar, meninggalkan Ayra yang membeku di tempat dan Arsal yang tetap tenang seperti biasanya.

Ayra masih mencerna kata-kata Helen, wajahnya memerah. "Helen!"

Sementara itu, Arsal hanya menutup pintu kembali dengan tenang. Ia lalu duduk di kursi meja rias Ayra. Lelaki itu tampak begitu santai beraktivitas di kamar Ayra. Setelah itu, ia ikut duduk di ranjang sebelah kanan. Sedangkan Ayra masih dengan mukenanya duduk di sebelah kiri.

"Kamu tidur pakai mukena?" Tanya Arsal tanpa melihat pada Ayra. Tatapannya fokus pada layar ponselnya.

Ayra menggeleng cepat. Ia segera membuka mukena tersebut. Saat itulah ia memberanikan diri membiarkan rambutnya tanpa jilbab. Tanpa ia sadari setiap pergerakannya tidak luput dari pandangan Arsal.

Namun saat Ayra berbalik menatap Arsal, saat itulah Arsal segera memalingkan pandangannya dari Ayra. Keduanya tampak canggung. Ayra tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah pertama kalinya mereka saling diam di dalam kamar setelah pernikahan mendadak mereka. Ia merasa harus mengatakan sesuatu, tapi pikirannya kosong.

Langkah Ayra berjalan pelan menuju tempat tidurnya. Sebelum ia benar-benar berbaring, matanya menatap Arsal. Lelaki itu tampak begitu santai dan tenang. Tatapannya masih fokus dengan ponselnya. Entah apa yang dilihatnya, Ayra tidak tahu.

Ayra berdeham pelan, mencoba mengusir rasa aneh yang melingkupinya. "Kalya... bagaimana kabarnya?" Tanyanya akhirnya, mencoba membuka pembicaraan.

Arsal meletakkan ponsel tersebut di nakas samping tempat tidur. Masih dengan posisi bersandar di kepala tempat tidur, ia menatap Ayra sekilas sebelum menjawab. "Baik. Dia sudah tidur."

Ayra mengangguk kecil. "Dia tahu kita sudah menikah?" Tanya Ayra hati-hati. "Maksud saya, apakah dia mengizinkan anda menikah lagi?"

"Belum," Jawab Arsal, nada suaranya tetap datar. "Nanti saya akan bicara dengannya. Pelan-pelan."

Ayra menggigit bibir. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang anak kecil menerima fakta bahwa ayahnya menikah lagi. Apalagi dengan kondisi mendadak seperti ini.

Keheningan kembali melanda. Ayra merasa udara di kamar terasa lebih berat dari biasanya.

"Ayra," Panggil Arsal.

"Iya?" Ayra menatap Arsal. Ia masih menunggu kelanjutan dari perkataan Arsal.

"Jangan panggil saya bapak saat berada di luar kantor. Apalagi saat di depan ibumu."

"Saya harus panggil apa? Mas? Abang? Atau anda ada saran?" Tanya Ayra ingin tahu.

Arsal diam. Ia menghela napasnya. "Arsal saja tidak apa." Jawab Arsal menatap Ayra datar.

"Hmmh, kayak dulu, ya. Jaman kita masih kuliah dulu." Kata Ayra tertawa pelan.

Sebenarnya ia hanya ingin suasana canggung ini segera berakhir. Apalagi kini ia memberanikan dirinya untuk membuka jilbabnya di hadapan Arsal. Ini tidak seperti yang Ayra bayangkan selama ini. Berada di dalam ruangan berdua dengan lelaki asing.

Ayra menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuannya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

"Soal biaya administrasi Abi… boleh saya tahu berapa? Hmmh... Saya akan menggantinya."

Arsal yang sejak tadi duduk bersandar dengan santai hanya meliriknya sekilas. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya, tetap datar seperti biasanya.

"Kamu tidak perlu memikirkan itu." Jawab Arsal tenang.

Ayra menghela napas. "Tapi tidak bisa begitu. Biarkan saya menggantinya."

Arsal masih diam, seolah tidak tertarik untuk menanggapi.

"Saya bisa mencicilnya kalau jumlahnya besar," Lanjut Ayra, mencoba meyakinkan. "Atau saya bisa mengajukan itu sebagai pinjaman dan kantor bisa memotong gaji saya. Saya tidak ingin berhutang budi dengan orang lain."

Saat itu juga, Arsal menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Ayra," Panggilnya pelan namun tegas.

Ayra menegang. Cara Arsal memanggilnya terdengar asing dari biasanya.

"Ini bukan soal hutang budi," Lanjut Arsal. "Saya juga bukan orang asing sekarang. Almarhum abi kamu adalah mertua saya, jadi itu masih menjadi tanggung jawab saya. Berhenti berpikir untuk mengganti itu."

"Tapi—"

"Jangan memperumit hal yang seharusnya sederhana," Potong Arsal cepat.

Ayra terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Arsal yang membuatnya tak bisa lagi membantah. Lelaki itu jelas tak ingin membahasnya lebih lanjut. Bahkan Arsal kemudian berbaring membelakangi Ayra.

Sementara Ayra yang masih gelisah dengan pembicaraan mengenai administrasi abinya, Arsal memilih untuk menutup matanya, berniat mengakhiri pembicaraan yang mulai terasa berlarut-larut. Ia tahu betul bagaimana keras kepalanya Ayra, dan jika dibiarkan, perempuan itu pasti akan terus membahas soal biaya administrasi abinya.

Tak lama, suara napasnya mulai teratur. Ayra sudah tertidur. Arsal membuka matanya perlahan. Ia membalikkan tubuhnya, menatap Ayra yang terlelap di sisi ranjang.

Wajah Ayra terlihat lebih tenang saat tidur. Tanpa sadar, pikirannya kembali ke hari di mana Ayra tiba-tiba mengajaknya menikah. Lalu semua kejadian yang begitu cepat, hingga kini mereka berbagi ruangan sebagai sepasang suami istri. Arsal mengulurkan tangannya untuk menyentuh rambut Ayra. Namun cukup lama tangan itu menggantung, akhirnya ia urungkan.

Rasa benci itu ternyata masih mengakar kuat di hati Arsal. Walaupun tanpa sadar, sudut hatinya masih mencintai gadis itu.

Terpopuler

Comments

Siti Septianai

Siti Septianai

up nya lebih sering dong ka

2025-03-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!