Arsal memarkirkan mobilnya di area rumah sakit dengan tenang. Sementara Ayra tidak hentinya berdoa memohon kesembuhan untuk ayahnya, meskipun detak jantung Ayra sudah berdegup kencang sejak perjalanan tadi. Begitu mesin dimatikan, Ayra langsung melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu tanpa menunggu aba-aba.
Arsal hanya menghela napas pelan, sebelum mengikuti langkah Ayra yang berjalan cepat menuju lobi rumah sakit.
Begitu mereka tiba di depan ruang rawat inap, sosok Laras langsung terlihat menunggu di depan pintu. Wajah wanita itu tampak lega begitu melihat Ayra, tetapi garis-garis kecemasan jelas masih membayang di wajahnya.
"Umma…" Ayra langsung memeluk ibunya erat.
"Alhamdulillah, kamu datang, Nak." Laras mengusap punggung Ayra lembut, meskipun suaranya terdengar lelah. Matanya kemudian melirik Arsal yang berdiri beberapa langkah di belakang Ayra, dengan sikap tenang seperti biasa.
"Kamu datang bersama Arsal?" tanya Umma ragu, meskipun suaranya terdengar lembut.
Ayra menegang seketika, tetapi Arsal dengan tenang melangkah maju. Ia menundukkan sedikit kepalanya dengan sopan.
Ayra menegang seketika, tetapi Arsal dengan tenang melangkah maju. Ia menundukkan sedikit kepalanya dengan sopan. Ia lalu menangkupkan kedua tangannya ketika berhadapan dengan Laras.
Laras tersenyum kecil meskipun matanya tampak sayu. "Terima kasih sudah mengantar Ayra, Nak."
"Sudah seharusnya melakukan itu, Tante, " Jawab Arsal singkat, namun suaranya terdengar hangat.
"Abi bagaimana kondisinya, Umma?" Tanya Ayra.
"Belum dikatakan membaik, Nak." Laras hanya mengangguk pelan, sebelum memandang Ayra dengan sorot mata lembut namun penuh kekhawatiran. "Karena kalian sudah datang berdua, Abi ingin bicara sama kalian berdua… katanya penting."
Ayra menatap ibunya dengan bingung. "Umma, kenapa Abi mau bicara berdua? Abi pasti baik-baik saja, kan?"
Laras hanya tersenyum tipis, seolah ingin menenangkan, tetapi tidak memberikan jawaban pasti.
Ayra menelan ludah, sebelum melangkah masuk ke dalam kamar rawat dengan Arsal di belakangnya.
Di dalam, Rizal terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, namun matanya masih bersinar penuh wibawa. Begitu melihat Ayra, senyuman tipis terukir di bibirnya.
"Almahyra...." Suaranya lirih, tapi tetap terdengar hangat.
Ayra segera mendekat dan menggenggam tangan Abi dengan hati-hati. "Abi, Ayra datang. Abi pasti sehat lagi, kan?"
Rizal tersenyum tipis. "Insya Allah…." Lirihnya.
Ayra menggeleng cepat, menahan air mata yang mulai menggenang. "Ayra yakin, Ayra pasti sembuh."
"Kamu datang bersama Arsal?" Tanya Rizal menatap sosok lain di samping Ayra.
Semenjak Arsal yang pernah datang ke rumahnya, Arsal memang sudah dikenal kedua orang tua Ayra.
"Iya, Pak. Ini saya." Kata Arsal mendekat.
Senyum tipis muncul di wajah lelah Rizal. Ia lalu menatap Ayra dan Arsal bergantian dengan tatapan penuh makna. "Ayra… Abi ingin kamu menikah hari ini juga."
Dunia seakan berhenti sejenak. Ayra membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"A-apa?" suaranya bergetar.
Rizal mengeratkan genggamannya di tangan Ayra, meskipun lemah. "Abi punya firasat… usia Abi tidak akan lama lagi. Abi ingin melihat kamu menikah sebelum Abi pergi."
Ayra menggeleng cepat, air mata mulai menetes di pipinya. "Abi, jangan bicara seperti itu… Abi pasti sehat lagi. Kami bisa menikah kapan saja… nanti saja, kalau Abi sudah sehat."
"Tidak, Nak… Abi ingin melihatmu menjadi istri sebelum Abi pergi."
Ayra menunduk, bibirnya gemetar menahan isak. Ia ingin membantah, tetapi tidak sanggup.
"Bagaimana Nak Arsal? Apakah permintaan ini membebanimu?" Tanya Rizal menatap Arsal.
Arsal terdiam. Mata tajamnya menatap sosok berwibawa yang kini tampak tak berdaya di hadapannya. Dalam hening yang menyesakkan itu, suara berat Arsal akhirnya terdengar. Menjawab permintaan yang penuh dengan tanggung jawab itu.
"Baik, Pak. Saya bersedia."
Ayra langsung menoleh dengan mata membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Senyum lega muncul di wajah lemah itu. "Terima kasih, Nak Arsal."
Namun sebelum semuanya menjadi keputusan final, Arsal melanjutkan, suaranya tetap tenang tapi penuh ketegasan.
"Sebelum itu, saya ingin meminta izin pada ibu saya terlebih dahulu."
"Iya, silahkan." Jawab Rizal lirih.
Ayra menatap Arsal dengan campuran syok, marah, dan kebingungan. Namun, pria itu tetap dengan ekspresinya yang dingin dan tak terbaca. Ayra hanya menatap punggung lelaki itu saat Arsal keluar ruangan untuk menelpon seseorang yang diduga Ayra adalah ibunya.
Sementara Rizal ditemani Laras, Ayra mendekati Arsal sesaat setelah ia selesai menelpon.
"Kenapa anda mengiyakan permintaan abi saya, Pak?" Tanya Ayra.
Arsal menoleh. Lelaki itu menghela napas dan mematahkan tangan ke saku celananya. Matanya menatap sekilas pada Ayra.
"Cepat atau lambat kita juga akan menikah."
"Anda bisa menolaknya. Sampai sekarang pun saya masih belum yakin untuk menikah dengan anda. Maaf jika sebelumnya saya pernah mengajak anda menikah."
Arsal tersenyum samar. "Saya melakukan ini untuk abi kamu. Saya sudah melamar kamu. Ada janji yang harus saya tunaikan kepada orang tua kamu. Kamu tenang saja, saya tidak akan menuntut kamu untuk melakukan hal yang kamu tidak suka ketika nanti kamu menjadi istri saya. Yang penting sekarang adalah kondisi abi kamu." Ujar Arsal dingin lalu masuk kembali ke ruangan Rizal.
Sebelum ia benar-benar masuk, matanya menatap Ayra yang tampak frustasi.
...****************...
Semua terjadi begitu cepat. Hanya dalam hitungan jam, kini Ayra dan Arsal siap dinikahkan. Ayra yang masih memakai gamis hitam yang tadi ia pakai kini duduk di samping ibunya. Sementara Arsal, masih dengan pakaian dan jas yang sama dengan ia pakai tadi kini duduk berhadapan Rizal.
Di ruangan yang tak begitu luas itu, pernikahan mereka akan dilangsungkan dengan sederhana. Kedua orang tua Arsal juga sudah datang bersama seorang ustadz, yang akan bertindak sebagai saksi dari pihak Arsal. Sementara dari pihak Ayra, Omnya juga sudah hadir.
Di ranjang rumah sakit, Abi Ayra berusaha menegakkan tubuhnya dengan sisa tenaga yang ia miliki. Napasnya terdengar berat, tetapi matanya tetap menatap putrinya dengan penuh cinta.
Arsal duduk bersila di hadapan Abi, wajahnya tetap setenang biasanya. Di hadapannya, seorang penghulu bersiap memandu jalannya ijab kabul.
Setelah salam dan doa pembuka, Rizal menarik napas panjang. Tangannya menjabat tangan Arsal. Hingga ijab qabul itu selesai diucapkan dengan penuh ketegasan dan mengundang haru dari semua yang hadir.
Hingga akhirnya saksi dan penghulu serempak mengucapkan, "Sah."
Ayra menggigit bibirnya, menunduk dalam-dalam saat air mata yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh. Ia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Laras pun menuntun Ayra menghampiri Arsal.
Sementara itu, Arsal tetap tenang. Setelah Ayra duduk di sampingnya, dengan lembut, ia mengambil tangan Ayra yang gemetar, sebelum menyematkan cincin ke jari manisnya.
Giliran Ayra. Dengan tangan yang masih sedikit bergetar, ia menyematkan cincin di jari Arsal, meskipun kepalanya masih tertunduk. Ia kemudian mencium dengan khidmat tangan Arsal.
Arsal langsung menyentuh pucuk kepala Ayra dan membacakan doa. Setelah itu, Arsal melakukan sesuatu yang membuat Ayra menahan napas. Dengan tenang, pria itu meraih dagu Ayra, membuatnya mendongak, sebelum ia menunduk dan mengecup kening wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.
Sentuhan itu hanya berlangsung beberapa detik. Namun bagi Ayra, segalanya terasa begitu nyata dan menggetarkan.
"Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khair…" Ucap penghulu, lalu dilanjutkan dengan doa.
Namun kebahagiaan yang singkat itu seketika berubah menjadi kepedihan.
Di ranjangnya, Rizal tiba-tiba menghela napas panjang, sebelum tubuhnya melemah. Matanya menatap Ayra dan Arsal dengan senyum penuh ketenangan.
"Abi?" Suara Ayra bergetar, seolah ada firasat buruk yang tiba-tiba menghantamnya.
Napas Abi semakin berat. "Alhamdulillah… sekarang Abi bisa tenang…" Bisiknya pelan, sebelum matanya mulai tertutup.
"Abi!"
Ayra langsung meraih tangan ayahnya, panik. Namun detik berikutnya, suara mesin monitor detak jantung berbunyi panjang.
"Abi…"
Isakan Ayra memenuhi ruangan, sementara Umma langsung memeluknya erat. Para dokter dan perawat segera masuk untuk memastikan kondisi Abi.
Namun semua sudah terlambat. Rizal sudah pergi setelah menyaksikan putrinya menikah. Lelaki paruh baya tersebut menghembuskan napas terakhirnya dengan wajah yang tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments