Ayra buru-buru masuk ke dalam lift tanpa memperhatikan siapa saja yang ada di dalamnya. Tangannya masih sibuk menggenggam ponsel, sementara matanya terpaku pada layar. Ia tidak peduli dengan keadaan sekitar, apalagi lift ini memang cukup ramai dengan karyawan yang baru saja kembali dari istirahat siang.
Ayra masih fokus men-scroll TikTok. Ia tertawa kecil saat melihat video kucing kaget, lalu dengan santai menggeser ke bawah. Pandangannya berhenti pada sebuah video yang menampilkan pasangan yang sedang bulan madu di Mekkah dan Madinah. Musik latarnya begitu lembut, menambah suasana romantis di dalam video itu.
Ayra tidak menyadari bahwa Arsal ternya berdiri di sampingnya. Tubuhnya yang tinggi dengan mudahnya melihat apa yang Ayra lihat di ponselnya. Arsal menaikkan alisnya. Mata elangnya menangkap jelas bagaimana Ayra menatap video itu cukup lama, bahkan sampai ekspresinya berubah sedikit. Ia tidak tahu apakah itu ekspresi kagum atau Ayra memang sedang membayangkan sesuatu.
Bibir Arsal sedikit terangkat. "Menarik," Gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Sekretarisnya menoleh. "Pak?"
Arsal hanya menggeleng pelan, masih tetap menatap layar ponsel Ayra yang kini menampilkan komentar orang-orang yang membahas betapa indahnya bulan madu di tanah suci.
Ayra, di sisi lain, sama sekali tidak sadar bahwa sejak tadi Arsal mengamatinya. Ia masih asyik scroll, bahkan mulai membaca caption video dengan serius.
Namun, ketika pintu lift terbuka dan orang-orang mulai keluar, tubuh Ayra sedikit terdorong ke samping karena dorongan dari karyawan lain. Ia baru tersadar saat bahunya menyenggol seseorang dan saat ia menoleh, ia langsung membeku.
Itu Arsal. Kini setelah tiga hari pasca ajakan menikahnya pada Arsal, Ayra sangat senang karena lelaki itu tidak masuk ke kantor karena ada pekerjaan di luar kota tiga hari yang lalu. Setidaknya Ayra tidak perlu melihat wajah datar Arsal, apalagi ia masih malu karena pertemuan terakhir mereka yang memalukan.
Tatapan pria itu santai, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Matanya masih menatap ke layar ponsel Ayra. Menyadari hal itu, Ayra langsung mengunci ponselnya dan memeluknya di dada, seperti seseorang yang ketahuan melakukan kesalahan besar.
Ayra langsung keluar dengan tergesa-gesa saat lift terbuka. "Jangan deh, jangan bertemu Arsal lagi." Rutuknya ketika sudah berada jauh dari Arsal.
...****************...
Langit sudah gelap ketika Ayra melangkah keluar dari kantor. Udara malam terasa sedikit menusuk, membuatnya merapatkan outer yang ia kenakan. Sepanjang hari ini ia disibukkan dengan rapat bersama Haikal dan Bima, membahas konsep acara untuk peringatan Hari Anak nanti. Tubuhnya lelah, pikirannya pun masih dipenuhi berbagai detail pekerjaan yang harus ia kerjakan dalam waktu dekat.
Tapi sebenarnya ia lebih lelah karena harus bekerja dengan Bima.
Kini ia berjalan menuju gerbang kantor, bermaksud menunggu taksi. Namun, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapannya. Ayra tidak perlu menunggu kaca jendela turun untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu. Ia mengenali mobil itu milik siapa.
Ayra mendesah pelan. Sejujurnya, setelah rapat tadi, ia hanya ingin pulang dan beristirahat. Tapi kini, kehadiran Bima justru memperpanjang harinya.
Kaca mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah lelaki itu yang tersenyum padanya. “Ayo, aku antar pulang,” Ajaknya.
Ayra menggeleng. “Nggak perlu. Aku bisa naik taksi." Jawab Ayra lalu bermaksud melanjutkan langkahnya.
Namun Bima tetap melajukan mobilnya dengan pelan. "Pulang bareng aku aja, Ay. Udah malam." Ajak lelaki itu lagi.
Ayra berhenti. Matanya menatap Bima dengan malas. "Nggak usah. Aku nggak mau istrimu cemburu. Lagipula aku nggak suka merepotkan suami orang." Jawab Ayra ketus.
Namun, seperti biasa, Bima bukan tipe yang menyerah begitu saja. “Udah malam, nggak baik sendirian. Lagipula, aku juga mau bicara sama kamu.”
Ayra menatapnya dengan ekspresi tak tertarik. “Nggak mau."
Bima masih saja bersikeras, dan Ayra mulai merasa gelisah. Ia tidak ingin berdebat dengannya di tempat umum seperti ini. Namun, sebelum ia bisa berkata lagi, matanya menangkap Arsal keluar dari keluar gedung.
Ayra mungkin gila, atau mungkin juga otaknya terlalu lelah untuk berpikir panjang. Tapi entah kenapa, naluri pertamanya adalah menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari Bima. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tangan dan memanggil nama lelaki itu.
“Pak Arsal!” Serunya lantang.
Arsal yang baru saja melangkah santai langsung menoleh dengan dahi sedikit berkerut. Ayra bahkan tidak menunggu reaksinya. Ia sudah berjalan cepat mendekati lelaki itu, wajahnya menampilkan ekspresi penuh permohonan.
“Saya boleh numpang, Pak?” Tanyanya tanpa basa-basi. "Saya mohon, Pak, sampai pertigaan aja. Nanti saya bisa pulang naik taksi untuk sampai kontrakan."
Arsal menatapnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah mobil Bima yang masih terparkir tak jauh dari mereka. Tatapan matanya tenang, namun jelas menangkap situasi yang terjadi.
"Masuk." Kata Arsal segera masuk ke mobilnya.
Ayra tidak berpikir dua kali. Ia langsung melangkah cepat ke sisi mobil Arsal, membuka pintu, dan masuk tanpa melihat ke belakang.
Sementara itu, Bima hanya bisa menatap dari dalam mobilnya, ekspresinya sulit dibaca.
Arsal pun melangkah santai menuju mobilnya, lalu melirik sekilas ke arah Bima sebelum akhirnya masuk ke dalam. Tanpa membuang waktu, mobil itu melaju menjauh, meninggalkan Bima yang masih terdiam di tempatnya.
Setelah memastikan bahwa mobil Bima tidak lagi di belakang mobil Arsal, Ayra bermaksud menghentikan mobil Arsal. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Kontak ibunya terpampang di layar.
"Assalamu'alaikum, Ma,"
"Wa'alaykumussalam, Ra, kamu apa kabarnya?" Tanya Laras dari seberang.
"Aku baik, Ma. Umma sama Abi gimana?"
"Baik. Apalagi setelah ada yang lamar kamu kemarin."
Ayra langsung menegang. Pikirannya berputar cepat. Lelaki yang datang melamar? Kemarin?
Ayra mengernyit heran. Ia melirik sekilas ke arah Arsal sebelum menjawab. "Melamar? Siapa yang melamar siapa, Ma?" Tanya Ayra pelan, agar Arsal tidak mendengar ucapannya.
Terdengar suara ibunya tertawa. "Kamu ini gimana sih, Ra, itu si Arsal datang kemarin sama mamanya buat ngelamar kamu. Dia bilang kamu udah tahu."
Ayra hampir menjatuhkan ponselnya. Kepalanya langsung menoleh ke arah Arsal, yang masih memasang ekspresi santai seperti tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Umma sampai kaget lho, tiba-tiba ada lelaki yang datang dengan serius ngomong ke Abi dan Umma kalau dia ingin menikahi kamu. Kenapa kamu nggak kasih tahu Umma dulu kalau lagi dekat sama lelaki?"
Mulut Ayra terasa kering. "Umma, Ayra-"
"Malam, Umma. Ayra lagi sama saya." Sapa Arsal tiba-tiba.
Ayra menoleh pada Arsal. Menatap lelaki itu dengan tajam, mulutnya mengisyarakatkan agar Arsal diam. Namun lelaki itu tidak peduli. Senyum miring khas Arsal semakin membuat Ayra jengkel.
"Loh, ada Nak Arsal. Kalian lagi dimana?" Suara Laras tampak terkejut namun juga terdengar riang.
"Ayra numpang pulang, Umma. Udah dulu, ya. Ini masih di jalan. Nanti Ayra telepon Umma lagi dan jelasin semuanya." Ujar Ayra masih menatap Arsal dengan kesal.
"Baiklah. Kalian hati-hati, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Umma." Ayra langsung menutup teleponnya begitu Arsal menjawab salam ibunya.
Ia menoleh ke Arsal dengan ekspresi campuran antara syok, marah, dan frustasi. "Bapak kenapa datang ke rumah saya?"
Arsal menoleh sebentar ke arahnya, dengan wajah datar ia menjawab dengan santai, "Minta izin umma-abi kamu untuk menikahi kamu."
Ayra menghela napasnya. "Saya... Bapak tidak menganggap itu serius, kan?" Tanya Ayra frustasi.
"Saya serius. Sama seriusnya dengan kamu yang tiba-tiba mengajak saya menikah." Jawab Arsal sambil fokus menyetir.
"Tapi saya tidak serius saat itu, Pak. Semuanya terjadi secara tiba-tiba," Ucap Ayra pelan.
"Kamu yang ngajak, kamu juga yang harus bertanggung jawab. Lagipula Ibu saya menyaksikan semuanya saat itu."
Ayra menoleh dengan mata membelalak. "Apa?"
Arsal mengangguk santai. "Kamu harus tahu, beliau sangat antusias dengan itu. Makanya kemarin beliau mengajak saya ke rumah kamu." Jawab Arsal.
Pernyataan Arsal membuat Ayra semakin frustasi. "Kenapa kamu nggak bilang dari tadi sih, Sal?" Tanpa sadar ia sudah berbicara tidak resmi pada Arsal.
"Mau aku-kamu jadi sekarang?" Arsal tersenyum samar, walaupun ia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi pasrah Ayra.
Sementara gadis itu diam tidak menjawab, Arsal tiba-tiba menghentikan mobilnya. Wajah panik Ayra semakin membuat Arsal berusaha menahan dirinya untuk tidak tersenyum.
"Besok malam aku jemput kamu. Kita akan bertemu dengan keluarga besarku."
"Jangan! Jangan bicara seperti itu!Tubuh saya jadi merinding!" Seru Ayra sambil menutup telinganya.
"Kamu pikir saya hantu?" Tanya Arsal menaikan satu alisnya.
"Iya. Anda sangat menyeramkan!"
"Bagaimana kalau kita menikah akhir pekan?"
Tubuh Ayra rasanya langsung lemas. Bisa-bisanya Arsal mengajaknya menikah seperti mengajaknya liburan. Tanpa aba-aba, tanpa pemberitahuan. Lepas dari Bima, hingga ke Arsal. Ayra rasanya keluar kandang buaya masuk ke kandang harimau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments