Setelah menemani Helen makan siang di kafe dekat kantornya dan berakhir dengan pertemuannya dengan Arsal dan putri kecil lelaki itu, Ayra langsung kembali ke kantor. Pekerjaannya lumayan banyak hari ini. Apalagi ditambah dengan tanggung jawabnya untuk menangani konsep cerita Bima untuk acara besar nanti.
Selesai sholat Ashar, Ayra langsung menuju kafe tempat ia akan bertemu dengan penulis baru yang ia tangani. Penulis itu bernama Naira, seorang penulis pemula yang tengah mengerjakan buku anak-anak perdananya.
Namun, begitu Ayra sampai di meja yang telah disepakati, alisnya langsung berkerut. Naira belum datang.
Suasana hatinya semakin buruk hari ini. Paginya ia harus berjumpa lagi dengan mantan tunangannya, siangnya Helen terus-terusan mengungkit masalahnya dengan Arsal di masa lalu, ditambah dengan tatapan Arsal yang dingin padanya sekarang serta tiba-tiba Haikal memberinya tanggung jawab untuk mengurus ilustrasi buku baru Bima yang artinya ia akan sering bertemu lelaki itu dan kini Ayra harus dihadapkan dengan penulis baru yang sangat sering terlambat datang ketika mereka janji temu.
“Jangan bilang dia lupa dengan janji pertemuan ini lagi,” Gumamnya sambil melirik jam tangan.
Lima belas menit. Tiga puluh menit. Hingga dua jam berlalu, Naira masih belum juga muncul. Ayra bahkan sudah menghabiskan dua cangkir kopi selama menunggu.
Ayra sudah nyaris menyerah dan hendak menghubungi Naira ketika akhirnya seseorang tergesa-gesa masuk ke dalam kafe. Seorang gadis dengan rambut sebahu dan ransel besar di punggungnya melambaikan tangan dengan wajah menyesal.
“Mbak Ayra! Maaf banget aku telat!Aku baru selesai bimbingan skripsiku dan di jalan macet banget tadi!”
Ayra mendesah dalam hati, tetapi ia mencoba untuk tidak mempermasalahkan itu. Waktu dua jam yang tadi terbuang bisa menjadi waktu istirahatnya sejenak.
“Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah datang.” Ia menatap Naira yang kini duduk di depannya. “Baik, jadi kita bisa mulai bicara tentang konsep lanjutannya?”
Naira mengangguk antusias. “Iya! Jadi, aku kepikiran buat menambahkan karakter baru. Aku ingin ada seorang anak yang memiliki imajinasi liar dan selalu melihat dunia dengan cara yang berbeda. Jadi, aku ingin ilustrasinya dibuat lebih ekspresif dan penuh warna.”
Ayra mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat poin-poin penting. “Oke, karakter baru ini apakah akan menjadi tokoh utama atau hanya pendukung?”
“Aku ingin dia menjadi tokoh utama baru,” Jawab Naira mantap. “Aku ingin ceritanya berubah, lebih seperti petualangan imajinatif yang bisa membuat anak-anak semakin tertarik.”
Ayra mengangguk, mencoba memahami arah pemikiran penulis baru ini. “Jadi, maksudnya kamu ingin mengubah konsep awal?”
Naira terlihat ragu. “Iya... sebenarnya aku merasa konsep awalnya agak membosankan. Aku ingin sesuatu yang lebih hidup.”
Ayra mengusap pelipisnya. Konsep awal yang sudah ia susun bersama tim kreatif lainnya sudah pas, tetapi jika Naira ingin perubahan besar seperti ini, mereka harus mengulang banyak hal dari awal.
“Perubahan sebesar itu berarti akan ada revisi besar-besaran, baik dari segi naskah, desainnya maupun ilustrasi. Apakah kamu sudah siap dengan konsekuensinya?”
Naira terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Aku siap! Aku ingin yang terbaik untuk buku ini.”
Ayra menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi kita harus memastikan bahwa perubahan ini benar-benar akan membuat cerita lebih baik, dan kamu juga harus siap jika diajak Mbak Ayu dan Mbak Riana memintamu datang ke kantor nanti." Kata Ayra menyebut nama editor dan desainer sampul yang ikut menangani buku Nayra.
Naira tersenyum. “Baik, Mbak. aku siap. Terima kasih, Mbak."
Percakapan mereka terus berlanjut hingga matahari mulai terbenam. Saat Ayra melirik jam, ia sadar waktu sudah mendekati Maghrib.
“Kita cukupkan dulu untuk hari ini. Aku akan membahas ini dengan tim desainer dan editor. Nanti kita diskusi lagi,” Kata Ayra seraya mengemas catatannya.
"Oke, Mbak." Jawab Naira sambil tersenyum.
Setelah berpamitan dengan Naira, Ayra segera menuju parkiran. Namun, baru beberapa langkah keluar dari kafe, kepalanya tiba-tiba terasa berat, lalu berputar.
Ayra mencoba mengingat apa yang ia lupakan hari ini. Iya, ia belum makan apapun sejak tadi siang.
Kakinya terasa begitu lemas, napasnya mulai pendek. Dunia di sekelilingnya tampak semakin gelap. Di antara kesadarannya yang menipis, ia samar-samar mendengar seseorang memanggil namanya.
“Ayra?!”
Namun, sebelum ia sempat melihat siapa yang berseru, tubuhnya benar-benar kehilangan keseimbangan. Segalanya menjadi gelap. Tubuhnya ambruk di jalan menuju parkiran.
Beberapa saat sebelum Ayra pingsan, Arsal baru saja turun dari mobilnya, bermaksud membeli donat favorit Kalya yang dipesan lewat telepon beberapa menit lalu. Langkahnya mantap menuju kafe yang masih cukup ramai meski langit sudah mulai gelap. Namun, langkahnya terhenti begitu saja ketika matanya menangkap sosok yang tak asing.
Ia menyipitkan pandangannya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Seorang gadis dengan langkah gontai, berjalan dengan kepala sedikit tertunduk, seolah menahan sesuatu.
Arsal langsung mengenali sosok itu. Itu Ayra. Bahkan di tengah keramaian, ia masih bisa mengenali bagaimana Ayra berjalan. Tapi kali ini berbeda. Langkahnya begitu lambat, nyaris seperti seseorang yang sedang kehilangan keseimbangan.
Sejenak, Arsal menimbang. Ia enggan menghampiri. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia tak mau masuk lagi ke dalam jebakan perasaannya terhadap gadis itu. Penolakan Ayra tanpa alasan jelas itu membuatnya membenci gadis itu. Anehnya, semakin ia membencinya, semakin pula perasaannya begitu nyata pada Ayra.
Semakin Ayra melangkah, semakin terlihat jelas bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Napasnya tampak berat, tangannya bahkan sesekali terangkat ke kepala, seolah mencoba mengusir rasa pusing.
"Jangan jatuh," Batin Arsal. "Jangan di sini. Jangan sekarang."
Namun, seolah menantang harapannya, Ayra mulai goyah. Tubuhnya condong ke depan, kakinya tak lagi melangkah stabil. Tanpa berpikir lebih lama, Arsal langsung berlari menerjang jarak di antara mereka.
"Ayra!"
Bruk!
Ia berhasil menangkap tubuh Ayra sebelum gadis itu benar-benar membentur tanah. Dada Arsal naik-turun, masih dengan sisa-sisa ketegangan karena hampir terlambat.
"Astaga, Ayra!" Suara Arsal lebih terdengar seperti geraman, campuran antara panik dan kesal. Kenapa selalu saja begini? Kenapa harus dia yang melihatnya dalam keadaan seperti ini?
Arsal mengguncang pelan bahu Ayra, tapi gadis itu tidak merespons. Kepalanya jatuh ke lengannya, napasnya lemah, dan kulitnya terasa lebih dingin dari biasanya.
Tanpa buang waktu, Arsal langsung mengangkat tubuh Ayra dalam gendongannya. Beberapa orang di sekitar sempat melirik, namun tak ada yang cukup berani bertanya. Ia berjalan cepat ke arah mobilnya, membuka pintu penumpang, lalu dengan hati-hati membaringkan Ayra di sana.
Dengan sigap, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Tania, sepupunya yang seorang dokter.
"Gue butuh bantuan lo. Sekarang lo harus ke apartemen gue." Kata Arsal panik.
Terdengar tawa di seberang. "Salam dulu, dong. Lo kenapa sih? Panik banget. Kalya kenapa?"
"Ini bukan Kalya. Pokoknya lo harus ke apartemen gue sekarang."
"Lo bawa siapa sih?"
Arsal menahan emosinya karena sepupunya itu tampak cerewet hari ini. "Temen gue." Jawab Arsal.
"Sekarang lo di apartemen emangnya? Tumben banget lo ngizinin temen datang kesitu."
"Gue masih di kafe dekat area apartemen gue. Pokoknya buruan datang." Arsal langsung memutuskan teleponnya. Kalau tidak begitu, Tania akan semakin banyak bicara.
Setelah menutup teleponnya, Arsal menatap Ayra sekilas. Gadis itu masih belum sadar, wajahnya tampak pucat di bawah cahaya lampu mobil. Arsal mendesah, lalu menyalakan mesin dan melajukan mobilnya.
Takdir memang sialan. Bahkan saat ia berusaha menjauh dan melupakan, takdirnya tetap saja bertemu dengan Ayra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments