Ayra baru saja tiba di kantor ketika salah satu seniornya mendekatinya dengan wajah serius.
"Ayra, bisa ikut rapat sebentar? Kita butuh perwakilan tim ilustrator. Saya masih harus bertemu penulis lain. Tadi departemen kreatif lainnya sudah menuju ruang rapat semua," Katanya tanpa basa-basi.
Ayra sedikit terkejut, tapi ia mengangguk. "Baik, rapat tentang apa?" Tanyanya sambil meletakkan tasnya.
"Event storytelling untuk memperingati Hari Anak Sedunia. Kita akan bekerja sama dengan seorang penulis cerita anak terkenal," Jelas seniornya yang biasa ia panggil Mas Haikal tersebut sambil berjalan cepat keluar ruangan.
Ayra hanya mengangguk paham. Ia tidak terlalu memikirkan siapa penulis itu. Yang penting, ia bisa fokus bekerja dan tidak larut dalam masalah pribadinya.
Saat Ayra melangkah masuk ke ruang rapat, suasana sudah cukup ramai. Tim kreatif dan beberapa eksekutif penerbitan sedang berdiskusi, sementara seorang pria berdiri di depan, berbincang dengan Arsal.
Ayra belum memperhatikan siapa pria itu sampai ia mendengar suara yang sangat dikenalnya. Itu suara Bima. Di sana, di ujung meja, duduk seorang pria yang dulu hampir menjadi suaminya. Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja putih yang lengannya sedikit digulung. Ia berbincang dengan Arsal.
Ayra menelan ludah. Dunia rasanya mengecil. Mengapa ia harus bertemu kembali dengan dua manusia yang sangat ingin Ayra hindari?
Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang. Ia menarik napas dalam, meyakinkan dirinya untuk tetap profesional. Ini hanya pekerjaan. Tidak lebih. Ayra mengambil tempat duduk di sisi meja, berusaha tidak langsung menatap ke arah Bima. Ia beruntung karena perhatiannya bisa dialihkan ke catatan dan tablet di hadapannya.
Sementara itu, Arsal tampak tertarik mendengarkan penjelasan Bima tentang proyek buku anak yang akan segera diterbitkan. Namun, menyadari semua departemen yang akan menangani lansung acara ini, terutama departemen kreatif sudah hadir, akhirnya Arsal meminta perwakilan dari tim produksi yang membuka langsung membuka rapat.
Dilanjutkan dengan Arsal memimpin rapat dengan mengenalkan penulis utama sekaligus yang akan menjadi storyteller acara nanti. Rapat terus berlanjut hingga ke Bima yang mempresentasikan konsep bukunya yang ia tulis dan ia jadikan sebagai cerita utama.
"Jadi, saya ingin cerita ini menyampaikan pesan tentang keberanian dan persahabatan," Bima menjelaskan dengan percaya diri. "Karakter utamanya seorang anak laki-laki yang takut pada kegelapan, tetapi dengan bantuan teman-temannya, ia belajar menghadapi ketakutannya."
Salah satu rekan tim kreatif mengangguk. "Konsepnya menarik. Tapi bagaimana dengan visualisasinya? Apakah Anda memiliki gambaran tertentu?"
Bima tersenyum. "Saya ingin ilustrasi yang hangat dan penuh warna. Harapannya, anak-anak bisa merasa nyaman dan terhubung dengan ceritanya."
Arsal menimpali, "Itu ide yang bagus. Visual sangat penting untuk menarik perhatian anak-anak. Bagaimana Ayra?"
Mendengar namanya disebut, Ayra akhirnya mengangkat kepala. Pandangannya bertemu dengan Bima sejenak sebelum ia segera mengalihkan matanya ke layar presentasi.
"Tentu, saya akan menyesuaikan dengan brief yang Anda berikan,"Ucapnya dengan nada profesional.
Bima mengangguk kecil, ekspresinya sulit ditebak. "Saya yakin ilustratornya bisa menerjemahkan konsep ini dengan baik."
Arsal menatap mereka berdua secara bergantian, menyadari ada sesuatu yang aneh di antara mereka. Ayra tampak sedikit lebih kaku dibanding biasanya. Bima juga, meskipun ia tetap berusaha terlihat santai. Namun tatapannya tampak berbeda dengan Bima yang tadi berbincang dengannya.
Seorang anggota tim kreatif menambahkan, "Mungkin Ayra bisa memberikan masukan soal gaya ilustrasi yang cocok untuk cerita ini?"
Ayra mengangguk, tetap menjaga nada netral. "Kalau kita ingin mendekatkan buku ini ke anak-anak, mungkin kita bisa menggunakan ilustrasi dengan warna-warna cerah dan ekspresi karakter yang lebih dinamis. Kita juga bisa menghindari warna-warna gelap yang terlalu mendominasi, agar kesan cerita tetap ringan dan nyaman."
Bima menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Itu ide yang bagus."
Ayra tidak membalas senyum itu. Ia hanya mencatat sesuatu di bukunya, mengabaikan tatapan Bima yang tampak ingin berbicara lebih jauh.
Sementara itu, Arsal kembali menyilangkan tangan di dadanya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Dari caranya berbicara, Ayra jelas-jelas tidak nyaman. Tapi kenapa?
Arsal menatap Bima dengan lebih teliti. Ia tidak tahu siapa pria ini bagi Ayra, tapi ia punya firasat bahwa kedua orang ini sudah saling mengenal sebelumnya.
Rapat berjalan begitu kondusif. Berbagai masukan dari beberapa departemen juga disampaikan dengan baik. Rapat akhirnya selesai, dan perlahan-lahan para peserta mulai beranjak keluar dari ruangan. Ayra tetap di tempatnya, menyusun kembali catatan dan berkas rapat yang berserakan di meja. Ia ingin memastikan semua dokumen sudah rapi sebelum pergi.
Namun, baru saja ia hendak berdiri, bersiap akan meninggalkan ruang rapat suara yang sudah lama tidak ingin ia dengar lagi menyapanya.
“Ayra, lama tidak bertemu.”
Tangan Ayra sedikit menegang di atas meja. Ia menarik napas dalam, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang sebelum akhirnya mendongak.
Bima berdiri di hadapannya dengan senyum ramah yang dulu mungkin bisa membuat hatinya berdebar. Tapi sekarang? Tidak ada yang tersisa selain luka yang sudah berusaha ia tutupi rapat-rapat.
“Kamu masih sama seperti dulu, selalu fokus dengan pekerjaan,” Ujar Bima ringan, mencoba mencairkan suasana.
Ayra tetap diam. Ia malas menanggapi. Melihat Ayra yang tetap dingin, Bima menghela napas pelan.
“Ayra, aku tahu mungkin tidak mudah untuk kamu memaafkan aku. Tapi aku harap kita masih bicara layaknya seorang teman."
Ayra meletakkan bukunya ke meja dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. “Bisa apa, Bim?” Suaranya datar, tapi matanya menatap tajam.
Bima terlihat sedikit gelagapan sebelum akhirnya mencoba tersenyum. “Aku hanya berharap kita bisa berteman.”
Ayra tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Berteman?” Ia mengulang kata itu seolah mengejek. “Setelah semua yang terjadi, kamu pikir aku masih tertarik untuk berteman denganmu?”
Bima terdiam. Matanya menunjukkan sedikit rasa bersalah, tapi Ayra tidak peduli.
“Dengar, Bima,” Ayra melanjutkan, nadanya lebih tegas. “Aku tidak membencimu. Aku bahkan sudah tidak ingin mengingat apa yang terjadi di antara kita. Tapi itu bukan berarti aku ingin kamu kembali hadir dalam hidupku, bahkan sebagai teman sekalipun."
"Andai aku bisa memutar waktu, aku tidak akan melakukan itu pada Sarah. Dan kita bisa bahagia, Ay."
"Berhenti memanggilku dengan nama itu, Bim. Jangankan berteman, berbicara denganmu saja aku tidak mau."
"Tapi aku masih mencintaimu, Ay.".
Ayra tertawa sinis. "Berhenti mengatakan omong kosong itu, Bim dan berhenti mengganggu hidupku. Kalau kamu mencintaiku, kamu tidak akan berselingkuh hingga menghamili Sarah."
Bima menunduk sesaat, lalu mengangguk pelan. “Maafkan aku, Ay.…”
"Sudahlah, Bim. Berhenti menggangguku. Urus saja istrimu, dia butuh perhatianmu."
Bima menghela napasnya. Ia menunduk. "Aku mengerti..."
“Bagus kalau begitu.” Ayra mengambil kembali buku catatan dan tabletnya lalu segera melangkah pergi, meninggalkan Bima yang masih berdiri di tempatnya.
Saat ia keluar dari ruang rapat, hatinya masih terasa sesak. Namun langkahnya terhenti ketika di depannya berdiri Arsal dengan wajah sinisnya.
"Ya Allah, semoga Pak Arsal tidak mendengar ucapanku dan Bima tadi." Gumam Ayra dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments