BERTEMU KALYA

Udara malam di luar terasa sejuk setelah hujan turun di sore hari. Lampu-lampu kota berpendar di balik kaca besar toko buku, menciptakan suasana yang nyaman dan tenang. Ayra menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma khas kertas dan tinta memenuhi indra penciumannya. Tempat ini selalu menjadi pelariannya ketika ingin menenangkan pikiran.

Sejak siang tadi, Riana dan Helen mengabarkan bahwa mereka tidak bisa menemaninya. Namun itu bukan masalah, karena ia memang lebih sering menyendiri akhir-akhir ini.

Langkahnya ringan menyusuri rak demi rak, jarinya menyentuh beberapa sampul buku dengan lembut. Matanya berbinar ketika menemukan satu buku yang menarik perhatiannya. Ia mengambil buku itu, membaliknya untuk membaca sinopsis di belakang.

"Bagus juga," Gumamnya pelan.

Ayra kemudian berjalan ke sudut yang lebih sepi, berniat mencari buku sketsa untuk keperluan illustrasinya. Suasana di toko buku ini cukup lenggang, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan pilihan mereka masing-masing.

Namun, ketika ia baru saja mengambil satu buku sketsa yang terpajang, sesuatu yang kecil dan tak terduga menarik perhatiannya.

Seorang anak perempuan berdiri di ujung rak, menatapnya dengan ekspresi yang... jutek.

Ayra mengerjapkan mata. Anak itu tampak berusia sekitar empat tahun, mengenakan gaun selutut berwarna krem dengan rambut hitam sebahunya yang dikepang kecil di satu sisi. Matanya bulat, bibirnya sedikit mengerucut, dan alisnya yang mungil tampak sedikit berkerut.

Anak itu berdiri dengan tangan bertolak pinggang, seolah baru saja menangkap seseorang sedang melakukan kesalahan besar.

Ayra melirik ke sekeliling. Tidak ada orang dewasa di dekat anak itu. Siapa yang membiarkan anak sekecil ini sendirian di toko buku?

Pelan-pelan, Ayra menurunkan bukunya dan mendekat beberapa langkah.

"Hei," Sapanya lembut. "Kamu sendirian?"

Alih-alih menjawab, si anak perempuan itu justru semakin menatapnya dengan tatapan penuh penilaian. Seolah Ayra adalah orang yang mencurigakan.

Alih-alih merasa tersinggung. Ayra justru tersenyum melihat anak itu.

"Aku Ayra. Siapa namamu?" Ayra mencoba lagi.

Masih tidak ada jawaban. Hanya tatapannya yang semakin menajam. Anehnya ia justru tersenyum.

Ia terkekeh kecil. "Kamu selalu setajam ini menatap orang asing?" Tanya Ayra dengan wajah tenang.

Anak itu mengangkat dagunya sedikit, tetap dalam mode waspada.

"Siapa yang ngajarin kamu tatapan sejudes ini, hm?" Goda Ayra.

Anak itu akhirnya membuka mulut, tapi bukan untuk menjawab pertanyaannya.

"Kamu siapa?" Tanyanya dengan suara mungilnya yang terdengar sok dewasa.

Ayra mengangkat alis, tersenyum. "Kan tadi aku sudah bilang, namaku Ayra."

Si bocah memiringkan kepala. "Namaku Kalya."

"Senang bertemu denganmu, Kalya," kata Ayra.

Kalya masih memandangnya dengan penuh kehati-hatian. "Kamu orang baik atau orang jahat?"

Ayra nyaris tertawa. "Menurut kamu?" Tanya Ayra dengan wajah pura-pura serius.

Kalya menyipitkan mata, lalu menggeleng pelan. "Belum tahu."

Ayra tidak bisa menahan tawa kali ini. Gadis kecil ini benar-benar unik. Ayra baru saja hendak mengajukan pertanyaan lain ketika suara panik terdengar dari ujung rak.

"Kalya!"

Tubuh mungil di depannya menoleh cepat, begitu pula Ayra. Begitu matanya menangkap sosok yang muncul dari balik rak, otaknya langsung bekerja dengan kecepatan tinggi. Itu Arsal.

Detiknya yang pertama, Ayra membeku. Detik berikutnya, ia sadar bahwa lelaki itu berdiri tidak jauh darinya, napasnya sedikit memburu, jelas-jelas habis berjalan cepat atau mungkin berlari kecil mencari si bocah yang masih berdiri dengan ekspresi datarnya.

Ayra menatap dua orang berbeda usia di depannya dengan penasaran. Namun otaknya menyusun potongan-potongan informasi dalam hitungan detik. Raut wajah dan tatapan anak itu sangat mirip Arsal versi yang sekarang.

Ayra menatap Kalya, lalu kembali ke Arsal. Kemudian ke Kalya lagi. Oh, dia ingin tertawa. Sekarang ia tidak hanya bertemu ayahnya, namun bisa jadi bertemu anaknya juga. Apalagi keduanya sama-sama punya tatapan yang tajam dan raut yang sangat judes.

Arsal berjalan cepat ke arah mereka, sorot matanya gelap dan tajam. Napasnya masih sedikit memburu, jelas habis mencari Kalya di seluruh toko buku. Begitu sampai, ia langsung berjongkok di depan anak itu.

"Kalya, kamu ke mana saja? Papa sudah bilang jangan jauh-jauh."

Kalya tetap bertolak pinggang, menatap ayahnya dengan ekspresi datar khasnya. "Aku tidak jauh. Aku cuma lihat-lihat."

Arsal mengembuskan napas panjang, jelas berusaha menahan kesal. "Kalau mau lihat-lihat, tetap harus bilang dulu. Kamu pikir Papa enggak panik cari kamu?"

Kalya mengerjap pelan, lalu menoleh ke Ayra. "Aku ketemu dia."

Kini perhatian Arsal beralih. Mata gelapnya bertemu dengan mata Ayra yang masih berusaha keras untuk tidak tertawa. Sekilas ia melihat Arsal terdiam, seolah tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini.

Ayra tersenyum tipis. "Hai, Bos. Ketemu lagi kita disini." Ucap Ayra sambil melambaikan tangan.

Arsal hanya menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Nada suaranya terdengar kaku, seperti seseorang yang tidak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap pertemuan tak terduga ini.

Ayra mengangkat bahu santai. "Nyari buku. Ngapain lagi coba?" Jawab Ayra.

Tatapan Arsal tidak berubah. Begitu pula Kalya yang kini melihat mereka berdua bergantian, seolah sedang menilai sesuatu.

"Lalu, kenapa kamu dengan Kalya?" tanya Arsal lagi, suaranya lebih pelan tapi tetap mengandung ketegasan khasnya.

Ayra melirik ke Kalya, lalu tersenyum kecil. "Dia yang mendekatiku duluan. Sepertinya dia tersesat, tapi dia malah sibuk menilaiku seperti seorang detektif."

Kalya langsung memasang wajah cemberut. "Aku bukan detektif."

Ayra tertawa kecil. "Tapi tatapanmu seolah sedang menyelidiki apakah aku ini orang baik atau orang jahat."

Kalya menyipitkan mata, seolah tidak suka dengan pernyataan itu. Tapi sebelum ia bisa bicara lagi, Arsal sudah berdeham kecil, menarik perhatian Ayra kembali padanya.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."

Ayra menautkan alis. "Sama. Tapi aku lebih tidak menyangka kalau kamu ternyata punya anak."

Tatapan Arsal berubah sedikit. Ada sesuatu yang melintas di matanya, entah itu kejengkelan atau sesuatu yang lebih dalam. Tapi ia hanya menjawab singkat, "Instingmu kuat ternyata."

"Tunggu," Kalya tiba-tiba menyela. "Kalian saling kenal?"

Ayra tersenyum tipis. "Tentu saja. Papamu bosku di kantor."

Kalya menatap Ayra, lalu kembali ke Arsal. Kemudian ia berbisik pelan, tapi cukup terdengar di telinga Ayra, "Benar, Pa? Kakak itu berarti orang baik, ya?"

Ayra harus menahan tawanya lagi. Kali ini lebih kuat. Sementara itu, Arsal hanya menghela napas panjang, jelas-jelas tidak ingin memperpanjang percakapan. "Ayo, kita pulang, Kalya."

Kalya masih sempat melirik Ayra sebelum akhirnya mengangguk dan menggenggam tangan ayahnya. Saat Arsal berbalik, Ayra mendengar Kalya berkata pelan, "Aku masih belum yakin dia orang baik atau bukan."

Melihat ekspresi anak itu, Ayra akhirnya tertawa pelan.

"Nggak bapaknya, nggak anaknya, jutek banget." Gumam Ayra.

Ayra benar-benar tertawa kali ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!