Acara lamaran itu berlangsung sederhana, sesuai dengan permintaan Davira. Hanya dihadiri dua keluarga dari masing-masing pihak. Meski begitu, Davira tampak sangat bahagia. Senyumnya tak pernah pudar sejak kedatangan Kavindra dan Zein.
Anak kecil itu, tak kalah bahagianya saat tahu bahwa acara lamaran itu merupakan serangkaian proses agar Davira bisa menjadi ibu baginya. Memekik girang hingga melompat Zein lakukan sebagai wujud rasa senangnya.
Sementara Kavindra, tampak berbeda dengan setelan batik ala bapak-bapak desa, namun, tetap membuatnya menawan saat dipandang. Davira juga tampil dengan batik senada dengan Kavindra. Keduanya, terlihat sangat cocok dan serasi.
"Untuk acara pernikahannya bagaimana, Bu?" tanya Karina pada Rika. Rencananya, usai acara lamaran ini, Karina mengkehendaki agar segera dilangsungkan acara pernikahannya.
Rika mengulas senyum dengan sopan. "Soal itu, keputusannya saya serahkan saja kepada Bu Karina. Tapi jika boleh, saya ingin mengadakan pernikahan Davira di rumah ini," kata Rika dengan wajah sedikit tertunduk.
"Ah, baik kalau begitu. Saya akan pakai jasa wedding organization saja, ya, Bu. Untuk konsep pernikahannya sesuai dengan keinginan Davira saja. Biaya pernikahannya, biar Kavindra yang tanggung semuanya."
Rika hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Hatinya begitu bahagia saat melihat Davira dan Kavindra bersama, dengan Zein di antara mereka, membuat sepasang kekasih itu tampak seperti keluarga bahagia.
"Saya sangat senang sekali karena anak saya akhirnya bisa menemukan anak ibu di waktu yang tepat," ucap Karina. Pandangannya sama seperti Rika, tertuju ke depan, memandang kedua anak mereka dengan haru.
"Saya juga sangat bersyukur, karena akhirnya Davira menemukan seseorang yang tepat untuk mendampinginya, Bu. Semoga keduanya selalu berbahagia."
"Kak Kavindra udah cocok banget jadi Bapak, aku jadi terharu melihatnya," kata Ravindra di sela-sela ucapan kedua ibu itu.
Karina mendelik, "Kakakmu memang sudah jadi seorang Bapak. Kamu lihat itu buntutnya, sama persis," celetuk Karina yang sontak mengundang gelak tawa putra bungsunya.
"Iya, juga, ya. Tapi mereka cocok banget, Ma. Duh, aku jadi kepingin juga." Ravindra mendapat cubitan halus di lengannya setelah mengatakan hal itu.
"Bantu kakakmu urus perusahaan dulu, baru menikah. Jangan genit-genit kamu, Nak. Cari uang dulu yang banyak baru menikahi anak orang!" seru Karina dengan tegas.
Ravindra hanya mengangguk pasrah. "Iya, Ma, iya. Ravindra juga tahu ih, anak orang mau dikasih makan apa kalau Ravindra miskin," celetuknya yang langsung mengundang gelengan kepala sang ibu.
Rika, yang tak sengaja menangkap momen itu pun ikut terkekeh bahagia. Sepertinya ia bisa merasa lega sekarang, karena putrinya mendapatkan keluarga yang bisa menyayanginya sepenuh hati.
Acara hari itu berlangsung bahagia. Setelah acara lamaran selesai, kedua keluarga sepakat untuk makan bersama. Zein yang paling antusias untuk ikut serta. Anak itu sudah duduk di dekat Davira, menjadi sekat untuk Kavindra mendekati calon istrinya.
"Zein, itu tempat papa. Zein sama uncle dulu sana," bisiknya pada anak kecil itu. Merasa iri karena sejak tadi, Zein selalu menempel pada Davira seperti sebuah lem.
Zein mendongak, menatap sang ayah dengan mata memicing. "Gak mau, Zein mau di sini. Papa aja yang duduknya dekat uncle," kata Zein dengan lucunya.
Kavindra terpaksa mengalah lagi demi anak kecil itu, di sebelah Zein, Davira terkekeh geli. Acara makan bersama itu berlangsung riuh, sesekali diselingi dengan candaan Zein pada ayah ataupun pamannya.
Tak berselang lama dari itu, kasak-kusuk dan keributan terdengar dari luar. Seseorang berteriak-teriak memanggil nama Davira, menuntutnya untuk keluar dengan makian-makian yang mengiringi.
Davira terperangah saat mendengar suara itu, pun dengan Rika. Mereka tahu pasti siapa gerangan yang telah membuat keributan di luar itu. Zein yang ketakutan, memeluk Davira dengan erat.
Karina dan Ravindra sontak menoleh, bertanya-tanya dengan apa yang terjadi di luar. Berbeda dengan Kavindra, pria itu berdiri tegap, kemudian melangkah ke luar dengan berani. Apapun yang terjadi, tak akan ia biarkan pria itu merusak hari pentingnya.
"Kau! Siapa kau? Sedang apa kau berada di rumahku?" tanya Agus dengan berkacak pinggang, tatapannya menantang Kavindra dengan tanpa rasa takut. "Jangan-jangan kau itu calon suaminya Davira, apa benar?"
Kavindra menatap sosok lusuh di hadapannya dengan tatapan iba bercampur kesal juga heran. "Benar, saya Kavindra, calon suami Davira," kata Kavindra dengan tegas.
Sementara yang lain tetap berada di dalam sesuai permintaan Davira, perempuan itu tergopoh keluar menyusul Kavindra. Hatinya berdebar takut dengan apa yang akan dilakukan dua pria itu. Jangan sampai keluarga mereka mengundang cemoohan tetangga lagi.
"Heh! Berani kau menikahi anakku? Berani membayar berapa kau? Sepertinya kau orang berada, mahar yang kau berikan pasti besar, kan?" ujar Agus dengan tak tahu malunya.
Kavindra masih tetap berdiri tenang. Memindai dengan baik pria tua nan lusuh di hadapannya yang ia tebak adalah ayah kandung Davira. Perempuan itu pernah menceritakan perihal ayahnya yang seorang penjudi dan mabuk-mabukan.
"Bapak! Buat apa ke sini lagi? Pergi! Jangan ganggu kami lagi!" seru Davira merasa marah sekaligus malu. Ditatapnya pria yang ia panggil bapak dengan wajah memerah.
Kavindra menarik Davira pelan, "Biar aku saja yang urus, berdiri di belakangku." Seperti yang telah dikatakannya pada sang ibu, Kavindra mencoba menunaikan perkataannya dengan melindungi Davira.
"Berani kamu usir bapakmu sendiri? Anak kurang ajar! Sini kamu! Biar aku pukul! Anak gak tahu diri!" teriak Agus kencang, mengundang perhatian dari beberapa tetangga yang sedari tadi menonton.
"Harap jaga bicara Anda, Pak." Kavindra memandang Agus dengan sorot mata tajam dan penuh determinasi. Postur tubuhnya yang tinggi tegap dengan tatapan menantang, membuat Agus sedikit ketakutan.
"Jangan sok di sini, kau hanya orang asing! Berani apa kau, hah?" tantang Agus lagi dengan berkacak pinggang. "Ah, sudahlah! Tidak usah berdebat denganku. Cepat, cepat, berikan aku uang, kau pasti kaya kan?"
Tanpa tahu malu, Agus mengulurkan tangannya, meminta uang dari besannya sendiri tanpa tahu malu. Tetangga pun banyak yang menggelengkan kepala dengan sikap Agus itu.
Kavindra mengeluarkan dompetnya yang terlihat tebal. Mengambil beberapa lembar uang berwarna biru dan menunjukkannya di depan Agus. Membuat pria tua itu langsung membelalakkan mata.
"Akan saya berikan uang ini," kata Kavindra dengan tegas. "Tapi, saya punya satu syarat yang harus Anda penuhi."
Tanpa pikir panjang, Agus menganggukkan kepala, apapun akan ia lakukan demi beberapa lembar uang berwarna biru itu. Pikirannya sudah dipenuhi dengan seberapa banyak jud* yang akan ia menangkan dengan uang sebanyak itu.
Dari dalam rumah, Karina dan Ravindra masih menonton apa yang akan dilakukan Kavindra untuk membalas pria tak tahu malu itu, sementara Rika tertunduk malu dengan tingkah suaminya. Sedangkan Zein terlihat ingin menghampiri Davira, namun tangannya dicekal oleh Ravindra.
"Apa? Apa syaratnya? Cepat katakan!" Agus tampak tak sabar. Matanya berkilat saat melihat lembaran uang itu.
"Syaratnya adalah … "
•••
— Lanjut part dua, ya, hihi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Selina Navy
sama selina aja nnt ya 🤣🤣🤣
2025-03-05
1
🦆͜͡⍣⃝ꉣꉣᵘᵐᵐᵘᏦ͢ᮉ᳟🤎𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Syarat adalah jangan menyakiti Davira dan calon mertua nya lagi
2025-03-04
1
Hana Roichati
Buat pesasaran kak, lanjut lets go 😀😀
2025-03-04
1