“Bagaimana? Apa hasilnya? Apa kata Davira? Dia menerima lamarannya, kan?” tanya beruntun Karina saat mendapati Kavindra memasuki rumah dengan wajah yang tersenyum lebar.
“Ah, tidak perlu dijawab, dari raut wajahmu saja, Mama sudah bisa menebaknya,” katanya kemudian.
Kavindra terkekeh, “Alhamdulillah Davira menerimanya, tapi Kavindra harus kasih tahu satu hal ini sama Mama.”
Karina menatap Kavindra serius. “Apa dia punya syarat tertentu? Apa itu, Nak? Cepat kasih tahu Mama, pasti akan langsung Mama wujudkan keinginan Davira.”
“Bukan, Ma. Jangan bicarakan soal seserahan dan lain-lainnya itu, sebaiknya kita duduk dulu, nanti Kavindra jelaskan secara rinci, ya. Di mana Zein?”
“Sedang keluar bersama Ravindra,” jawab Karina kemudian memanggil seorang pelayan untuk membuatkan mereka teh hangat.
“Jadi? Ayo cepat katakan, Mama benar-benar penasaran. Dia betul-betul sudah setuju, kan?” tanyanya lagi seolah tak yakin.
“Iya, Ma, Davira setuju untuk menikah dengan Kavindra. Tapi, Davira pernah menjalani operasi histerektomi,” kata Kavindra santai.
“Apa? Operasi histerektomi? Operasi apa itu? Apa itu operasi berbahaya?” Karina nampak sedikit terkejut.
Kavindra menarik napas panjang sebelum berkata. “Operasi histerektomi adalah operasi pengangkatan rahim, Ma. Jadi, kemungkinan besar, Davira tidak akan pernah bisa mengandung seorang anak.”
Karina membekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan, cukup terkejut dengan penjelasan Kavindra. “Oh, ya ampun, betapa kasihannya Davira.”
“Mama keberatan?” tanya Kavindra.
Salah seorang pelayan datang mengantarkan teh hangat untuk mereka, menjeda percakapan mereka untuk sejenak. Pelayan itu meletakan dua cangkir teh di meja lalu langsung perg setelah Karina memberinya isyarat.
“Apa? Keberatan untuk apa? Mama justru merasa kasihan pada perempuan malang itu, Nak. Kau tidak mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya, kan?”
Kavindra dengan tegas menggeleng, “Aku sama sekali tidak masalah dengan itu, aku bahkan bilang bahwa aku mendukungnya. Tapi, ia menanyakan pendapat Mama.”
“Mama juga tidak masalah. Apa kau berniat untuk menambah momongan lagi setelah menikah? Kalau Mama, sih, sudah merasa cukup dengan Zein.”
“Kavindra juga tidak berniat untuk menambah keturunan. Cukup Zein saja seorang sudah cukup. Kavindra hanya ingin fokus pada kebahagiaan Zein saja sekarang,” jelas Kavindra sambil meneguk teh hangatnya.
“Itu bagus. Menjadi perempuan itu tidak mudah, Nak. Apalagi jika menjadi perempuan seperti Davira. Mama yakin sekali perempuan itu sudah banyak mendapat cemoohan dari tetangga di desanya,” celetuk Karina saat mengingat betapa ibu-ibu di desa itu terihat sangat tidak ramah.
“Iya, Ma, iya. Kavindra juga paham hal itu. Jika Davira bisa menerima status duda Kavindra, maka aku juga akan menerima kekurangannya dan berjanji akan terus mendukungnya. Apapun yang terjadi.”
Karina tampak menganggukan kepala beberapa kali, putra sulungnya itu memang bijaksana seperti ayahnya. “Mama bangga kalau kamu bisa memuliakan istrimu. Semoga Davira adalah istri yang tepat untukmu sekaligus ibu yang baik untuk Zein.”
“Hakikat dari pernikahan adalah saling menerima dan saling memperbaiki, Ma. Kavindra sangat yakin kami bisa melakukannya,” ucap kavindra dengan keyakinan penuh.
Karina tersenyum senang. “Jadi, apakah Mama bisa langsung mempersiapkan acara lamarannya? Mama sangat tidak sabar!” pekik Karina merasa senang dan bersemangat.
“Iya, Ma, bisa. Nanti Kavindra minta kontaknya Bu Rika biar Mama bisa langsung atur persiapannya.”
•••
"Mau ke mana kamu, Mas?" tanya Mai pada
pria di hadapannya yang terlihat sudah rapi hendak pergi. Maisara memperhatikan dengan seksama penampilan Zul.
Namun, beberapa saat menunggu, Zul tak kunjung menjawab. Membuat perempuan muda itu berubah kesal dengan sikap dingin Zul padanya.
"Jawab aku, Mas! Apa kamu mau menemui perempuan itu? Ibu bilang kamu masih saja menanyakan dia. Apa itu benar?"
"Bukan urusanmu, Mai. Ingat, kita sudah berpisah, aku harap kamu jangan ganggu lagi urusanku! Dan jangan datang lagi ke rumahku!" sentak Zul merasa kesal dengan kehadiran Maisara di rumahnya.
"Tapi aku masih mencintai kamu, Mas. Ibu bilang seharusnya kita rujuk saja," sahut Mai, kali ini dengan nada suara yang lebih lembut. Berharap Zul akan luluh dan kembali ke pelukannya lagi.
"Satu bulan lalu, saat aku tanya apakah kamu mencintaiku, apa yang kamu jawab, Mai?" sinis Zul, berbalik menghadap Mai yang tampak elegan dengan dress selutut dan heels merah menyala miliknya.
"A-aku sudah salah, Mas. Kupikir dia mencintaiku tapi ternyata dia hanya memanfaatkan aku. Hanya kamu yang aku cinta, Mas!" ucap Mai dengan mata yang berkaca-kaca.
Namun sayang, semuanya sudah terlambat. Mereka sudah resmi berpisah, kini saatnya Zul untuk menata kembali kehidupannya. Cukup sekali saja ia dikhianati, tak ada lagi kesempatan kedua seperti yang diinginkan Mai.
"Apa artinya kata itu sekarang, Mai? Sudah cukup, pulanglah dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini!" ucap Zul tegas penuh penekan. Setelahnya, ia mengambil kunci mobil dari atas nakas dan berjalan keluar kamar.
Sementara Mai menatap kepergian mantan suaminya itu dengan kesal. "Apa, sih, istimewanya perempuan itu sampai Mas Zul tidak mau berpaling?" gumam Mai dengan tangan terkepal kuat.
•••
Zul memarkir mobilnya tepat di depan rumah Rika. Berkaca dan merapikan penampilannya sedikit agar lebih pantas, Zul membuka pintu mobilnya. Berjalan pelan ke depan teras dan mengetuk pintunya pelan.
Apapun yang terjadi hari ini, ia harus menemukan jawabannya dan bertemu dengan Davira. Setidaknya, ia harus membicarakan kesalahpahaman yang terjadi.
Tak berselang lama, Rika muncul dari balik pintu. Wajahnya tampak terkejut saat melihat orang yang berdiri di depan pintunya adalah pria dari ibu yang telah membatalkan pernikahannya dengan Davira.
"Assalamu'alaikum, Bu. Davira ada?" tanya Zul sopan dengan senyum tertarik ke atas.
Rika menatap Zul dari atas hingga ke bawah, penampilannya rapi dan bersih. Tapi, ada sesuatu hal mengganjal yang membuat Rika menatap pria di hadapannya dengan sinis.
"Wa'alaikumussalam, Davira sedang tidak ada di rumah. Lagipula mau apa lagi kamu ke sini? Memangnya belum cukup kamu dan ibumu mempermalukan kami?" tanyanya agak ketus.
Sikap ketus Rika cukup membuat Zul terkejut. Mempermalukan? Ibunya? Zul semakin yakin bahwa sang ibu telah melakukan sesuatu yang telah menyakiti hati mereka.
"Apa yang sebenarnya sudah ibu saya lakukan? Saya benar-benar tidak tahu, Bu."
Rika melengos, "Pergi saja, Davira sudah akan menikah dengan pria yang lebih baik dari kamu. Jangan ganggu kehidupan putri saya lagi!"
"Ap-apa?" tanya Zul seakan tak percaya dengan fakta yang baru didengarnya itu. "Davira akan menikah?"
Rika tak lagi memedulikan pria itu, ia lekas menutup pintu dengan ingatan yang terasa pilu. Bagaimana bisa pria yang sudah mempermalukan keluarganya tanpa malu justru mendatangi rumahnya lagi?
Sedangkan di balik pintu, Zul bergeming, otaknya tengah mencerna fakta yang baru diterimanya. "Sebenarnya apa yang terjadi? Tidak, tidak, tidak. Aku harus mencari tahu kebenarannya!" gumam Zul, kemudian melangkah pergi dari sana dengan rasa penasaran yang membumbung tinggi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Mungkin saja takdir berbeda,kalian akan punya anak 🤭
2025-03-04
1
Selina Navy
part ini bikin mewek/Cry//Cry/
2025-03-04
1
🦆͜͡⍣⃝ꉣꉣᵘᵐᵐᵘᏦ͢ᮉ᳟🤎𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Kalo penasaran tanya lagi pada ibu mu Zul apa yg telah dia katakan pada Davira
2025-03-03
1